Chereads / Menikah tapi benci / Chapter 23 - Gelap

Chapter 23 - Gelap

PLAK!!!

Sebuah tamparan keras mendarat di pipi Dimas begitu mereka tiba di rumah. Pratama sama sekali tidak perduli dengan luka lebam yang sudah ada di wajah Dimas sebelumnya.

"Mengantarkannya sampai rumah? Pandai sekali kamu berbohong!" Ucap Pratama geram, sejak di perjalanan ia ingin sekali menghajar Dimas atas apa yang sudah Dimas lakukan pada Laura.

"Kenapa kalian begitu perduli padanya? Dia itu hanyalah wanita palsu! Mami dan papi lihat sendiri kan jika dia sendiri bahkan membohongi kakaknya dengan karangan konyol!" Ucap Dimas yang sama sekali tidak terlihat menyesal atas apa yang sudah ia lakukan kepada Laura.

"Dia melakukannya untuk melindungi wajah kami karena tindakan kamu yang membiarkannya pulang sendirian disaat kondisinya masih belum pulih sepenuhnya."

"Dia sendiri yang ingin pulang, pi! Kenapa harus aku yang repot? Aku sudah lelah berada didekatnya selama di rumah sakit jadi bagaimana bisa kalian mengharapkan aku mengangtarkannya pulang ke rumah orangtuanya yang sangat jauh itu?"

"Mami tidak mengerti… " Dita berkata dengan suara tertahan, ia kemudian melangkah mendekati Dimas dan menyentuh tangannya. "Kenapa kamu menjadi seperti ini, nak?"

"Apa yang salah dengan diriku, mi? Aku tidak melakukan kesalahan apapun, hanya saja kalian telah dibutakan oleh kepalsuan Laura!"

"Kamu yang telah dibutakan oleh kebencian mu, Dimas! Hati mu gelap!"

Air mata Dimas menetes tidak terbendung saat mendengar ayahnya mengatakan hal yang langsung membuat hatinya hancur.

"Apa kalian lebih menyangi Laura sekarang? Apa dia terlihat lebih baik dari ku sekarang?"

Pratama dan Dita hanya diam tidak menanggapi, perlahan Dimas mulai menarik tangannya dari genggaman tangan Dita dan melangkah mundur.

"Kenapa kalian tidak bunuh saja aku jika aku memang tidak berarti bagi kalian?"

Melihat kekecewaan yang terpancar di raut mata Dimas membuat Dita menangis menyesal, "Kamu hanya tidak mengerti… Mami menyanyangimu dan tidak pernah berkurang sedikitpun."

"Lalu mengapa kalian selalu begitu marah padaku jika itu mengenai Laura?"

"Bahkan jika Laura adalah orang asing, perlakuanmu kepadanya memang salah. Apa kamu tidak sadar jika kamu sudah mempermainkannya selama ini?"

"Tidak, mi… Dia pantas mendapatkan semua itu. Dia hanya memanfatkan kebaikan kalian selama ini, aku hanya membalasnya dengan…"

"Dengan cara membawanya terbang tinggi, cukup tinggi hingga kamu bisa melepaskannya dan membiarkannya terjatuh dan hancur?" Ucap Pratama, ia menekan nada suaranya agar Dimas mengerti.

"Dimas, tindakanmu kali ini sudah di lewat batas. Ibumu berhutang nyawa padanya, setidaknya jika kamu tidak bisa bersikap baik padanya maka jangan sakiti dia."

Air mata Dimas kembali menetes bukan karena perasaan menyesal melainkan karena perasaan sesak yang perlahan-lahan mencekiknya. Sedikitpun ia tidak dapat menerima kenyataan jika kedua orangtuanya menemukan sosok kakaknya yang telah mati di dalam diri Laura. Ia tidak ingin menjadi yang kedua lagi, ia tidak ingin berbagi kasih sayang lagi dan fakta jika Laura memiliki tempat istimewa di hati kedua orangtuanya membuatnya semakin membenci Laura.

"Nikahi Laura, itu akan membuatmu mengenal siapa Laura sebenarnya." Ucap Pratama yang langsung membuat Dimas mengangkat pandangannya dan menatap tidak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya.

"Aku membenci wanita itu, bagaimana bisa papi memintaku untuk menikahinya?"

"Benci? Jika kamu membencinya kenapa kamu menciumnya? Kenapa kamu terus mengikatnya?"

"Seperti yang papi bilang, aku hanya mempermainkannya."

"Aku tidak perduli apapun alasan mu…"

Pratama perlahan melangkah mendekati Dimas dan menatapnya lekat-lekat. "Menikahlah dengan Laura atau kamu akan kehilangan segalanya."

Itu adalah perintah mutlak, Pratama tidak perlu menunggu Dimas membuat alasan untuk menolak karena ia langsung melangkah pergi memasuki kamarnya di ikuti dengan Dita. Meninggalkan Dimas sendirian tanpa memberikannya pilihan untuk memilih jalan hidupnya.

Wisnu menatap wajah Laura yang terlihat lelah, Laura masih belum sadar tapi ia terlihat gelisah. Ingin sekali rasanya ia membangunkan Laura, membangunkannya dari mimpi buruknya tapi ia tidak memiliki keberanian apapun.

"Maafkan aku…" Selain permintaan maaf, tidak ada yang dapat Wisnu katakan. Mulutnya terkunci rapat. Hatinya terasa sesak. Ia dengan sengaja menyelesaikan pekerjaannya agar bia pulang lebih cepat agar ia bisa menghibur Laura yang ia pikir sedang patah hati saat itu tapi ketika ia tiba di rumah, Laura sudah tidak ada disana.

"Maafkan aku… Maafkan aku, Laura!"

Laura terbangun saat merasakan haus, ia membuka kedua matanya dan mencoba untuk duduk tapi posisi Wisnu yang terlelap sambil memegangi tangannya membuat Laura hanya bisa diam berbaring.

Ia kemudian menoleh ke arah jam dinding yang menunjukan pukul empat sore. Cukup lama ia tertidur dan Wisnu pasti merasa tidak nyaman tertidur sambil duduk jadi Laura dengan hati-hati membangunkannya.

"Wisnu…" Panggil Laura pelan namun Wisnu hanya bergumam mengigau.

"Wisnu…." Panggil Laura sekali lagi dan akhirnya berhasil membuat Wisnu terbangun dari tidurnya.

Sambil meluruskan punggungnya yang terasa pegal, Wisnu tersenyum karena melihat Laura sudah sadar.

"Kenapa kamu tidur sambil duduk?" Tanya Laura sedikit memarahi. "Punggungmu akan sakit jika seperti itu."

"Aku baik-baik saja. Aku sudah sering tertidur sambil duduk saat bekerja."

Laura tersenyum sambil membetulkan rambut Wisnu yang sedikit berantakan, ia sangat tahu jika kakaknya ini adalah seorang pekerja keras.

"Apa yang kamu lakukan disini?" Tanya Laura, ia menyentuh wajah Wisnu yang sedikit bengkak karena pukulan Dimas dan Wisnu langsung meringis dan menarik wajahnya menjauh.

"Kamu sengaja menekannya? Dasar nakal!" Wisnu yang gemas hanya bisa mengacak-acak rambut Laura seperti apa yang selalu ingin ia lakukan sejak dulu, sayangnya mereka tidak pernah bisa terlalu dekat karena ayah mereka selalu membatasi hubungan mereka.

"Ayah dan ibu pasti sedang mencarimu, pulanglah…" Ucap Laura yang tahu betul jika Wisnu adalah anak emas, dia yang paling disayangi tapi Wisnu malah menggelengkan kepalanya tanda tidak setuju.

"Aku sudah cukup dewasa untuk bisa menentukan kehidupan ku sendiri."

"Jadi kamu ingin menjadi pemberontak seperti ku?"

Tidak ada jawaban apapun, bukan tanpa alasan tapi itu terdengar konyol saat anak paling patuh menyebut dirinya sebagai pemberontak.

"Aku ingin berada disisi mu mulai sekarang."

Laura tertegun mendengar kalimat itu terucap dari bibir kakaknya yang selalu bersikap dingin kepadanya sejak kecil. Ada perasaan berbeda yang tidak dapat Laura pahami tapi cukup untuk membuatnya merasa sesak.

"Ayah dan ibu akan semakin membenciku jika mereka tahu aku mengambil putra kesayangan mereka."

"Aku akan menjaga mu, aku tidak akan membiarkan mereka menyakitimu lagi, Laura…"

"Tapi aku tidak bisa membiarkan mereka menyakitimu, rasanya sangat sakit kehilangan kasih sayang orangtua… Aku tidak ingin kamu merasakan apa yang selama ini aku rasakan."

"Aku bisa menahannya…"

"Aku tidak pernah bisa terbiasa dengan rasa sakitnya jadi bagaimana kamu bisa?"

Laura kemudian menyentuh tangan Wisnu dan menggenggamnya erat. "Kamu cukup menjadi kakak yang baik saja untuk ku, aku tidak menginginkan lebih."

"Tapi kita…"

"Aku lapar, tadi aku hanya makan bubur. Bagaimana jika membuatkan ku makanan sebelum kamu pulang?"

Wisnu dapat merasakan jika Laura dengan sengaja memotong ucapanya dan mengalihkan pembicaraan, gadis itu bahkan sudah beranjak turun dari atas tempat tidurnya dan bergegas keluar.

"Malam ini saja, ijinkan aku menginap malam ini saja!"

....