Tales of Worst Hero : The Rising Hero

🇮🇩Ay_Syifanul
  • --
    chs / week
  • --
    NOT RATINGS
  • 24.2k
    Views
Synopsis

Ch. 00 - Permulaan

Bagian 1

Berdirilah seorang bocah di hadapan nenek tua yang duduk dengan memamerkan beberapa gigi-giginya yang telah hilang. Di hadapan nenek tua itu terdapat pernak-pernik berjejer rapi dengan sebuah bola bening layaknya mutiara ada di pusatnya.

"Anak muda, ramalan seperti apa yang ingin kau ketahui?"

Ramalan adalah sesuatu yang absurd dan tidak pasti, karena itu kebanyakan orang beranggapan ramalan hanyalah sebuah mainan anak kecil yang digunakan untuk mengatur atau menakut-nakuti seseorang dengan tujuan tertentu.

Meski begitu, bocah tadi cukup tertarik dengan ramalan nenek tua tersebut. Setelah mendapatkan persetujuan orang tua yang bersamanya, bocah itu kemudian berujar.

"Apakah aku bisa menjadi pendekar pedang yang hebat seperti Ayah?"

Dengan penuh semangat bocah itu berujar. Mendapati seorang pelanggan yang bersemangat dengan hal berbau mistis membuat nenek tua itu tertawa pelan.

"Baiklah anak muda, perhatikan dan dengarkan dengan baik-baik."

Nenek tua itu membawa kedua tangannya yang kurus itu untuk memutari bola bening di hadapannya. Bibirnya seperti tengah mengucapkan sesuatu dengan nada yang rendah.

Bola itu tampak bereaksi pada ucapan nenek tua itu dan sedikit dari dalamnya memancarkan kilauan cahaya yang indah.

"Wahai anak muda. Seseorang hidup karena mereka terus bermimpi. Impian yang mereka miliki akan berkilau dengan cahaya masing-masing. Anak muda, meski cahaya milikmu redup, namun kilauannya berbeda dari yang lain. Hal itu membuat orang di sekitarmu iri padamu. Meski kau nantinya akan melalui banyak cobaan, cukup percayalah pada dirimu... percayalah pada keteguhan hatimu."

"Keteguhan hatiku?"

"Benar. Ada kalanya kau kehilangan arah, kehilangan segalanya. Namun percayalah, hatimu akan dapat menggerakkan hati orang-orang di sekitarmu."

Mata anak kecil itu berbinar. Meski dengan kata-kata yang tidak dimengertinya, namun perkataan nenek tua itu terdengar mengagumkan.

"Anak muda, hadapilah kegelapan dalam dirimu. Dengan begitu suatu saat, kau pasti akan menggapai apa yang kau inginkan."

Kata-kata nenek tua peramal itu belum cukup dapat dimengertinya, namun orang tuanya menjelasnya dengan singkat bahwa dirinya juga akan dapat menjadi pendekar pedang dengan latihan yang giat.

Mendengar itu, bocah tadi tersenyum gembira. Saat mereka akan meninggalkan tempat itu bocah tadi bisa mendengar nenek tua itu kembali berujar.

"Tapakilah jalan yang engkau percayai, anak muda. Temukanlah juga alasanmu untuk bertarung."

Karena tidak dimengertinya, bocah itu hanya mendengarkan seraya meninggalkan tempat tersebut.

★★★

Bagian 2

Kobaran api telah menghanguskan segalanya. Tak ada lagi tempat untuk berlindung darinya. Api itu seakan berusaha melahap apa pun yang ada di sekelilingnya.

Sejauh mata memandang hanya ada asap dan api. Jeritan minta tolong yang menggema di langit malam memekakkan telinga gadis itu.

Dalam balutan penyesalan, gadis itu melangkah dengan susah payah seraya memikul beban di pundaknya seorang diri. Bersama dengannya, seorang anak kecil yang jatuh pingsan di atas punggungnya.

Wajah mereka terbalut oleh pekatnya asap hitam yang menyesakkan pernafasan mereka yang hampir membuat pingsan gadis itu seperti anak kecil yang digendongnya.

Namun kakinya tak berhenti melangkah mencoba mencari pertolongan.

"Maafkan aku... maafkan aku... maafkan aku..."

Air matanya mengalir jatuh membasahi kedua pipinya. Hatinya seakan disayat oleh bilah pedang yang tajam dikarenakan apa yang telah diperbuatnya.

Kakinya yang tak lagi sanggup bertahan mulai gemetar. Tubuh kecilnya kemudian ambruk dengan anak kecil itu bersamanya.

Sontak gadis itu memeluk dengan erat tubuh anak kecil itu yang mulai terasa dingin.

"Maafkan aku... maaf..."

Yang tersisa darinya hanya penyesalan. Permintaan maaf mengisi malam yang semakin larut yang seakan-akan berusaha membawa kesadarannya pergi.

Api yang melahap seisi kota itu menjadi hal terakhir yang ada dalam ingatannya.

★★★

Bagian 3

Pemandangan mengerikan yang ada di hadapan gadis itu membuat lututnya kehilangan tenaga yang tanpa sadar membuatnya jatuh terkulai.

Bercak merah darah mewarnai kejadian tragis yang menimpa keluarganya. Tubuh mereka tergeletak di tanah tak bernyawa dengan memandang ke arahnya.

Tangannya dengan gemetar berusaha membangunkan mereka, namun apa dayanya... tak ada satu pun dari mereka merespon sentuhan tangan mungilnya.

Gadis itu terus berupaya menahan dirinya, namun karena tak kuasa air matanya mengalir membasahi pipinya.

Tak ada lagi yang tersisa baginya. Mereka semua tewas demi dirinya. Mereka semua... ayah, ibu, dan adik laki-lakinya yang kini meninggalkannya seorang diri.

"Hiks. Andai saja... aku lebih kuat lagi... semua ini..."

Gadis itu memeluk erat salah satu tubuh tak bernyawa tersebut berusaha mengurai kesedihannya.

Darah terlukis di pakaiannya, bau amis yang cukup menyengat menyelimuti mereka. Dia masih ingin menghabiskan waktu bersama mereka sedikit lebih lama.

"Reva..."

Padahal ini merupakan hari ulang tahunnya dan dia akhirnya mendapat hadiah dari adik laki-lakinya yang sangat berharga baginya. Namun jangankan berbahagia, dia justru mendapatkan kenyataan pahit yang tak akan terlupakan sepanjang hidupnya.

★★★

Bagian 4

Petang hari saat langit mulai bersinar dengan cahaya oranye, seorang gadis kecil melangkah mengikuti pria dihadapannya dengan tatapan kosong yang menatap jalan setapak.

Tak ada yang diperbuatnya bahkan tak satu kata pun terucap dari bibirnya. Tatapannya enggan terangkat karena merasakan tatapan di sekitarnya seperti sedang mencemoohnya.

Gadis itu tak melawan. Pakaiannya saja hanyalah sesuatu yang terbuat dari kain bekas dan kotor.

Namun kepalanya mendongak tanpa sadar saat telinganya tanpa sengaja menangkap suara rintihan tak jauh darinya.

Kepalanya mengikuti asal suara. Di sana terdapat seorang anak kecil yang baru saja terjatuh setelah dirinya berlarian tanpa memperhatikan sekitar. Dia hampir menangis jika saja orang tuanya tak datang untuk menghiburnya.

Suasana hangat di sekeliling anak kecil itu membuatnya iri. Hati kecilinya mengharapkan hal yang serupa terjadi padanya, namun kenyataan begitu berat untuk diterimanya.

Pria dihadapannya menyerukan sesuatu dengan menarik benda di pergelangan tangannya memperdengarkan suara gemerincing logam yang saling bertumbukkan.

"Hoy, cepatlah. Dasar budak!"

Kehidupannya, kebebasannya, kebahagiaannya, dan haknya. Segalanya telah hilang dari hidupnya.

Saat ini tak ada siapapun, atau apapun yang dapat membebaskannya dari penderitaannya tersebut.

★★★

Bagian 5

"Tapi Ayahanda, aku..."

"Kembali ke kamarmu! Aku ingin kau berhenti bermain-main dan kembali belajar."

"Tapi Ibunda tak pernah..."

"Ibumu sudah mati! Cukup turuti perintahku dan jangan melawan atau kau lebih baik angkat kaki dari mansion ini."

Petang hari itu, keributan memenuhi seluruh mansion tersebut. Di sana terdapat seorang gadis yang bungkam tak kala mendengar hal yang sangat paling tidak ingin didengarnya dari sang ayah.

Benar. Setelah kematian ibu kandungnya, ayahnya menjadi begitu keras padanya dan berulang kali menekankan padanya untuk terus belajar dan belajar.

Sebagai anak satu-satunya di keluarga tersebut, gadis itu sadar akan posisinya, namun perlakuan yang begitu keterlaluan itu tak dapat diterimanya.

Namun ayahnya tak akan pernah bermain dengan kata-katanya. Dia bahkan tak ragu mengungkapkan kematian istrinya pada anaknya sendiri. Jika gadis itu menentangnya, dia tak akan tau apa yang akan terjadi padanya.

Merasa kesal pada ayahnya, gadis itu meninggalkan ruang kerja ayahnya dengan membanting pintu kencang.

Gadis itu memasuki kamarnya lalu terduduk dengan bertekuk lutut memeluknya seraya menenggelamkan kepala di antaranya.

Bibirnya tanpa sadar bergumam.

"Ibunda... selamatkan aku!"

★★★

Bagian 6

"Kakak... seseorang akan menyelamatkan kita kan?"

"Aku tak tau, tapi bertahanlah. Aku yakin semua ini akan segera berakhir."

Hanya gelap gulita. Tanpa cahaya yang menerangi mereka, kedua gadis yang ada di sana hanya sanggup berpelukan satu sama lain saling mengurai rasa cemas mereka.

"Aku ingin pulang..."

"Kita akan pulang. Itu pasti."

Sang kakak berusaha menenangkan adiknya yang gemetar semakin kuat. Dia mulai sangat ketakutan.

"Aku tak ingin mati!"

"Tenang. Tak akan ada yang mati disini, Kakakmu ini pasti akan melindungimu."

Di dalam kesunyian dan gelapnya tempat tersebut kedua gadis itu berusaha untuk tetap terjaga bahkan hingga malam menjelang begitu larut.

★★★

Bagian 7

"Semua ini salah Ayah! Karena Ayah..."

Seruan seorang gadis kepada sang ayah cukup mengejutkan sekitar mereka. Kekesalah gadis itu meluap hingga suaranya berubah menjadi serak.

"Dengarkan dulu anakku, Ayah bukan bermaksud..."

"Pembohong! Ayah pembohong! Aku tak mempercayaimu lagi! Jadi tinggalkan aku sendirian!"

Gadis yang terduduk di ranjangnya dengan memunggungi ayah yang sangat disayanginya itu menjadi begitu kesal dan berharap dapat mengusir pergi ayahnya dari kamarnya.

Merasa gadis itu butuh waktu, sang ayah pergi meninggalkannya. Bayangan pria itu menghilang diikuti suara pintu yang perlahan tertutup. Beberapa saat kemudian air mata gadis itu tumpah.

"Ibu..."