"Hey, Rei. Aku selalu penasaran, apa kau memiliki sesuatu yang kau sembunyikan dariku?"
Meski sebagian besar merupakan rasa perasaannya saja, namun Miu memikirkan kemungkinan lain. Pemuda itu meski terlihat tenang, dia itu selalu banyak berpikir dibandingkan orang lain.
Karena itu dia selalu dapat menghindari konflik yang mungkin muncul dikarenakan dirinya adalah tak beratribut.
Itu cukup melegakan baginya, namun bahkan teruntuknya Miu merasa Reita memiliki hal yang mungkin belum bisa dia sampaikan padanya.
"Kenapa kau berpikir seperti itu?"
"Karena kau terlihat sangat menguasai banyak hal lebih dari yang aku tau. Dan aku tak pernah memahami cara berpikirmu."
Dalam perjalanan menuju kelas tambahan, Reita dan Miu berbincang dengan senang riang seolah mereka tidak menghiraukan tatapan aneh dari beberapa murid di sekitar mereka.
Kelas tambahan yang akan mereka ikuti adalah kelas Formasi Sihir. Terdapat 3 kelas tambahan lainnya seperti kelas Bersenjata, kelas Sihir, dan kelas Pemanggilan.
Akan tetapi, jika mereka telah mengikuti satu kelas, mereka tak perlu wajib mengikuti kelas tambahan yang lain.
Selain akademi melatih muridnya dengan pengetahuan dasar dan sihir, mereka juga mengembangkan minat muridnya terhadap sesuatu.
Karena itulah dibuat kelas tambahan.
"Tidak ada yang spesial, percayalah."
"Lalu, kenapa memilih kelas formasi sihir? Aku pikir Rei akan memilih kelas bersenjata."
Miu penasaran karena Reita justru memilih kelas formasi sihir dibandingkan kelas bersenjata yang mungkin dapat mengembangkan keahliannya dalam menggunakan pedang.
"Kelas formasi sihir adalah kelas yang menggunakan kemampuan melukis Magic Circle sebagai media penggunaan sihir. Magic Circle sendiri adalah sebuah rangkaian aktif dengan susunan formasi beberapa formula sihir yang tertulis di dalamnya untuk memanggil sihir."
"Rune yang menggunakan bahasa kuno kan? Aku lumayan terkejut mengetahui rumus sihir ditulis menggunakan bahasa kuno yang bahkan belum terpecahkan hingga saat ini."
"Itu karena bahasa kuno mampu menghasilkan fenomena gaib diluar nalar manusia. Fenomena itu dapat muncul hanya dengan membacanya."
Miu memikirkan apa yang selama ini Reita pikirkan. Meski memakan waktu, namun dari semua penjelasannya Miu bisa menangkap satu poin penting.
Meski akan membutuhkan lebih banyak prana, namun Reita dipastikan dapat menggunakan sihir.
Dengan menutupi kekurangannya, maka Reita tak hanya perlu selalu terfokus pada prana yang dia ciptakan sebagai penguatan atau perlindungan fisik yang umumnya mampu dilakukan semua orang.
"Hey, Rei. Kenapa aku merasa curiga kalau kau sudah merencanakan semua ini?"
"Maksudmu, festa? Yah, ada deh."
Memilih untuk tidak membocorkan informasi, Miu dibuat bungkam. Bagaimana juga menyusun strategi bukan keahliannya.
"Aku menantikan kejutan darimu."
Miu hanya bisa tersenyum menantikan apa yang akan terjadi kedepannya. Melihat itu, Reita tidak seburuk yang dikatakan semua orang.
Mereka yang tidak mengenalnya, hanya mengatakan sesuatu hal buruk yang bahkan tidak pernah terpikirkan oleh Reita sebelumnya.
Contohnya, Reita dapat masuk akademi dengan kecurangan. Padahal Reita adalah orang yang jujur dan dia berhasil lulus karena dia layak.
Juga non-atribut yang lemah saat berhadapan dengan sihir. Memang, terdapat sedikit kebenaran pada pernyataan itu, tapi hasil pertandingan tidak hanya ditentukan oleh kemampuan sihir seseorang.
Inti dari semua ini, adalah karena Reita memang pantas mendapat pandangan istimewa itu.
"Kita sampai."
Tak selang beberapa lama Reita dan Miu tiba pada ruang kelas tambahan formasi sihir. Dia memandangnya sejenak dengan menghirup napas panjang.
"Baiklah, ini dia!"
Pintu terbuka karenanya. Reita yang akan berniat masuk, terdiam karena terdapat sosok gadis berambut hitam legam dengan sedikit warna merah darah padanya melewati sisinya.
Matanya membulat seolah Reita dibuat mengingat sesuatu yang tidak dia ketahui sebelumnya hanya karena melihat gadis itu.
"Rei?"
"A-ah, maaf. Tidak ada apa-apa."
Reita segera melangkah masuk tak menghiraukan tatapan penuh tanya dari Miu. Miu bingung karena sejenak dia bisa melihat tatapan mata pemuda itu saat dirinya terdiam.
Tatapan itu seperti tatapan seseorang tengah merindukan sesuatu.
★★★
"Baiklah, sekarang perkenalkan. Namaku Izza, aku akan menjadi pembimbing kelas formasi sihir tingkat pertama."
Seorang pria dewasa berdiri di depan kelas dengan rata-rata di tangannya terdapat setumpuk kertas kosong.
"Untuk pertama kalinya, aku akan menjelaskan tentang formasi sihir. Seperti yang kalian ketahui, formasi sihir memiliki sebuah rangkaian tertulis yang berasal dari zaman dahulu yang menjadi dasar pondasi dalam pemakaian sihir."
Izza, pria dewasa itu membuka bukunya pada beberapa halaman ke depan dengan menuliskan sesuatu di papan tulis.
"Pada dasarnya, sebuah formasi sihir dibuat untuk membantu mereka yang tak mampu menggunakan sihir dan terkadang dimanfaatkan untuk menciptakan sebuah teknologi sihir. Namun karena rangkaian formasi sihir hanya dapat digunakan sekali pakai dan memakai jumlah prana yang berlebih, banyak orang mulai meninggalkan keahlian itu."
Sesuatu yang digambar Izza adalah empat buah formula sihir tingkat dasar yang sudah cukup dikenal banyak orang.
Izza lalu menunjuknya menggunakan tangannya.
"Lihatlah. Kalian seharusnya tau jika memperhatikan setiap kali kalian menggunakan sihir. Prana akan membentuk sebuah Magic Circle yang akan menarik serta membentuk unsur alam yang kemudian ditembakkan dengan sentakan kuat. Ini adalah bentuk dari Magic Circle itu."
Melihat gambar yang dibuat Izza, beberapa murid sepertinya terkejut. Tidak teruntuk Reita, dia yang tak pernah menggunakan sihir atribut selalu diperlihatkan saat seseorang memanggil sihirnya. Terdapat semacam tulisan yang tidak dimengertinya.
Kemudian Izza meletakkan tangannya dalam posisi terbuka tepat di tengah gambar.
"Yang perlu kalian lakukan hanyalah menyalurkan prana untuk menyalin gambar ini. Dengan begitu sebuah energi baru akan terbentuk dan kalian dapat menggunakannya... seperti ini."
Saat Izza menariknya, diantara tangan dan juga gambar itu muncul sebuah nyala api sedang. Api itu menjulur keluar melalui papan tulis, tertarik mengikuti arah tangan Izza membentuk semacam lidah api.
"Ini adalah ‹Flame›. Karena ini sihir tingkat dasar, bagi kalian yang merupakan atribut api akan dapat dengan mudah memanggilnya tanpa mengucapkan nama sihir."
Api pada tangannya kemudian padam sesaat setelah Izza mengepalkan tangannya.
"Lagipula menyebutkan nama sihir hanyalah untuk mengingatkan kalian pada jenis sihir yang kalian gunakan. Tentu tidak melakukannya juga tidak masalah, namun alangkah baiknya disebutkan untuk mengidentifikasi sihir yang digunakan."
Ada kalanya seorang penyihir memanggil sihir tanpa menyebutkan nama sihirnya, itu dilakukan agar musuh tidak dapat mengkonfirmasi sihir apa yang dipanggilnya.
Namun membutuhkan konsentrasi penuh layaknya kau menggumamkan nama sihir itu dalam batin. Mereka perlu membayangkan secara penuh bentuk sihir dan juga elemen-elemen yang mendukungnya.
"Jadi ini maksud perkataanmu, Rei? Tentang kekuatan hanya dari menggambarkan atau membaca bahasa kuno?"
Miu menanyakannya ditengah penjelasan Izza karena dia sangat penasaran bagaimana tanggapan dari pemuda itu tentang sihir.
"Ya semacam itu. Tidak lebih pengucapan dalam bahasa kita adalah terjemahan dari bahasa kuno. Meski tak sengaja diucapkan, prana akan tetap meresponnya sebagai aktivasi sihir. Namun itu hanya satu langkah aktivasi, masih ada langkah lainnya seperti membayangkan bentuk sihir dan yang terpenting adalah keinginan penggunanya."
"Maksudmu, bahkan jika kita meneriaki nama sihir, namun tidak menginginkannya..."
"Itu tak akan muncul. Yah, dasarnya kau hanya perlu membayangkan sihirmu akan menjadi apa."
Penjelasan Reita lebih mudah Miu pahami. Dia memikirkan apa yang mungkin dimiliki Reita andai kata Reita adalah seorang penyihir atribut.
'Aku yakin dia akan menjadi tak terkalahkan. Dengan semua pengetahuan itu, Rei tak hanya akan menjadi seorang penyihir kerajaan biasa.'
Pikir Miu dengan memandang ke langit kelas tanpa memperhatikan penjelasan Izza.
Sejujurnya, Miu mengikuti Reita bukan karena dia juga tertarik dengan kelas formasi sihir. Dia melakukannya agar dapat lebih banyak mengetahui dan belajar sesuatu darinya
Benar, saat ini Reita adalah guru pribadi Miu. Jika memungkinkan, Miu ingin mengatakannya langsung bahwa dia ingin menjadi muridnya.
Namun memohon dengan memandang wajahnya akan membuat Miu teringat akan hari dimana dia menangis dan memeluk pemuda itu.
Seketika itu mengembalikan rona merah di wajahnya. Miu berpaling agar Reita tidak memperhatikannya.
Namun dia tanpa sengaja menangkap seseorang yang dengan terus terang memandang ke arah mereka. Saat Miu menatapnya, gadis itu segera berpaling ke arah lain.
'Dia... kalau tak salah gadis yang berpapasan dengan Rei di depan kelas.'
Miu menjadi curiga. Bukan hanya Reita yang menunjukkan keanehan pada gadis itu, namun sebaliknya juga.
'Apakah... Rei memiliki hubungan dengan gadis itu?'
★★★
Pada petang harinya Reita menuju halaman belakang gedung asramanya, tempat dimana dia bertemu Miu saat pertama kali itu sudah menjadi tempat latihan pribadinya.
Kali ini dia berlatih seorang diri, Miu tidak bersamanya karena Reita memang tidak mengatakannya.
Terkadang berlatih seorang diri membuat Reita lebih mudah berkonsentrasi. Dia selalu lakukan itu tiap hari karena hanya itu yang dapat dia lakukan.
"Aku tak akan merepotkan Miu."
Memang, Reita dapat mengandalkan teknik berpedangnya. Namun pertarungan yang menanti mereka adalah pertarungan sihir.
Dengan tidak menggunakan sihir, Reita secara tidak langsung sudah menambah beban di pundak Miu. Jika Reita bisa mengambil kembali beban itu untuk dipikulnya, dia akan lakukan segalanya.
Memejamkan mata dengan berpegang pada pedang kayu di tangannya, Reita mulai berkonsentrasi.
Aliran prana dalam tubuhnya mulai bergerak menyesuaikan keinginan Reita untuk memperkuat pedang kayu yang dipegangnya.
'Jika sihir dapat dipergunakan untuk memperkuat diri, maka aku juga dapat menerapkannya untuk memperkuat pedangku.'
Pedang adalah bagian dari dirinya. Jika kekuatan sihir dapat digunakan untuk menciptakan perwujudan jiwanya maka Reita seharusnya dapat memperkuatnya juga.
Tidak seperti Miu yang menggunakan apinya, api itu lebih seperti menyelimuti pedang Miu daripada memperkuatnya.
'Jika aku mengalirkan seluruh energiku maka... tidak! Meningkatkan jumlah pengeluaran prana akan menjadi tak efisien, terlebih itu hanya akan merepotkanku.'
Prana akan menjadi tak terkendali setelah dikeluarkan, karena itu dia mencegah hal tersebut dengan mengalirkannya secara perlahan.
Bagaikan air, prana itu mengisi sekeliling pedang kayu memenuhinya. Itu terlihat melalui pedangnya yang bersinar dengan cahaya putih.
Dan seperti air juga yang memenuhi wadahnya, pedang Reita mulai terasa berat. Keringat mulai mengalir jatuh, Reita yang memastikan jumlah pengeluaran prana tak melampaui batas dan juga tidak berceceran, bertahan pada posisinya tanpa bergeming.
"Yosh, sepertinya ini lebih dari cukup."
Merasa pedangnya sudah terisi penuh prana, Reita melepas pendistribusian prana. Bagai sebuah pohon yang kehilangan penopangnya, Reita merasa seperti menjadi orang yang menahan pohon itu agar tak jatuh ke atas tanah.
Mempertahankannya lama, prana mulai menunjukkan perubahan. Prana mulai bergejolak tak terkendali.
Karena terikat pada pedang tanpa teruraikan di udara, prana berusaha untuk melepaskan diri. Siklusnya berubah, Reita tak dapat mengendalikannya jika koneksinya telah terputus.
Tanpa penyuplai, tanpa pengendali, tanpa pembatas, prana mulai menunjukkan reaksi akan meledak.
"Gawat!"
Reita yang tak dapat menahannya, menghantamkan ujung pedangnya pada tanah. Seketika pusaran prana menumpuk disana lalu meledak dengan ledakan sedang.
Memperhatikan ledakan itu, Reita juga mendapati pedang kayunya hancur berkeping-keping. Dia menghela napas mengetahui latihannya harus berakhir hanya karena dia tak memiliki lebih banyak media.
"Tapi aku harus merapikan ini dulu."
Saat Reita akan mengumpulkan pecahan kayu, terdengar suara mendekat.
"Jika kau memiliki kekuatan seperti itu, kenapa tidak kau tunjukkan saja pada mereka yang selalu mengganggumu?"
Suara yang berasal dari seorang gadis itu, muncul melalui jalan dimana Reita selalu melewatinya untuk tiba di tempat tersebut.
"Siapa kau?"
Matahari semakin turun mengurangi ketajaman pandangan mata Reita, dia memandangi gadis dibalik bayang pohon di dekatnya.
Gadis itu memiliki rambut sebahu dengan tinggi mungkin lebih rendah darinya. Perlahan cahaya matahari turun mulai menampakkan wajah gadis itu dalam cahaya senja.
Rambut, telinga, kening, alis, mata, hidung... satu persatu membawa Reita kembali pada ingatannya di masa lalu.
Ingatan mengenai seorang gadis yang telah terlupakan, Reita akhirnya mengetahuinya. Nama gadis yang sebelumnya telah menjadi bagian dari kehidupannya.
"Kau..."
Gadis itu tersenyum dikala akhirnya Reita mengingat siapa dirinya. Manik mata merah darahnya memandangnya dengan tatapan hangat.
"Lama tak bertemu, Eita. Adik bodohku."