(Sisi Pandang Miu)
Sejak dua hari lalu Rei terlihat aneh. Sepulang dari latihannya saat itu, Rei lebih banyak diam bahkan saat aku bertanya padanya.
Aku pikir Rei sedang memikirkan sesuatu yang belum bisa dia ceritakan padaku.
Rei adalah anak yatim piatu. Hanya sebatas itu aku mengetahui masa lalu Rei. Aku tidak berpikir ada sesuatu yang terlalu membebani pikirannya selain itu.
Terlebih saat kelas formasi sihir, Rei tampak lebih murung menunjukkan dengan jelas bahwa dia bermasalah dengan sesuatu.
Namun kenapa Rei belum mengatakan apapun? Dia seharusnya membicarakannya sepertiku sebelumnya.
"Rei, ada apa? Kau nampak tak baik."
Aku merasa terganggu jika Rei tidak mengatakan apapun. Aku akan membuatnya bicara bahkan jika aku harus memaksanya.
Dari pertanyaanku Rei hanya terdiam. Itu membuktikan bahwa sesuatu memang terjadi.
Semua ini aku lakukan karena aku khawatir padanya. Dia sudah menanggung luka dari tekadnya masuk akademi sihir bergengsi, dan aku tak bisa membiarkannya bertambah lebih dari ini.
Jika semua itu berat untuknya bukankah sudah seharusnya kita memikulnya bersama?
Melihatnya termenung, aku mendapatkan kepercayaan diri untuk memintanya menceritakan masalahnya.
"Mari bicarakan ini di belakang asrama selepas kelas."
Aku sendiri menyadari ini terkesan egois untuknya, namun aku percaya Rei menyadarinya, bahwa aku sangat khawatir padanya.
"Maaf..."
Akhirnya aku mendengar Rei berujar. Terdengar ketidakyakinan dari suaranya, tapi aku yakin Rei akan datang untuk mengatakannya.
Dia sendiri yang mengajariku untuk saling berbagi dan memahami satu sama lain. Karena itulah sistem asrama tim diberlakukan.
Sebentar lagi pagelaran festa akan dimulai. Aku ingin Rei kembali fokus untuk menang.
Aku tau jauh didalam lubuk hatinya, Rei ingin diakui oleh semua orang. Dia ingin keberadaannya dianggap sekurangnya layak berdiri bersama mereka.
Dengan keyakinan dan tekad itu, Rei melangkah. Jika ada yang menghambat jalannya maka itu sudah menjadi tugasku sebagai patner untuk mendukungnya dari belakang.
Rei sudah menyelamatku dari perasaan itu. Kini, aku juga ingin melihat Rei terbebas dari belenggunya.
★★★
"Kau bisa memulainya saat kau sudah siap, Rei."
Sesampainya di belakang asrama, aku bertanya langsung ke inti masalahnya. Aku merasa tak nyaman jika aku harus menghabiskan waktu dengan berbasa-basi.
Jadi disinilah kami berada. Belakang gedung asrama tempatku bertemu Rei pertama kali. Disini juga tempat Rei selalu berlatih tiap sepulang pembelajaran.
Mungkin Rei ingin menjadikannya privasi, namun dia melakukannya tepat di belakang gedung yang mana dapat nampak melalui jendela belakang asrama.
Rei tak mungkin tidak menyadarinya. Dalam hatinya mungkin Rei ingin ada yang melihat kerja kerasnya bahkan saat dirinya tak dapat menggunakan sihir.
"Aku..."
"Hmm?"
"Miu, aku... aku merasa tak enak dengan ini."
Saat Rei memulainya, aku hanya terdiam menunggu seraya berpikir sesuatu yang mungkin dapat membebani pikirannya selama ini.
Bagiku Rei adalah manusia paling sempurna dan aku mengaguminya. Aku ingin menjadi sepertinya.
"Menurutmu, bagaimana rasanya saat kau mengingat sesuatu seharusnya tidak kau lupakan?"
"Aku?"
Saat mendapat pertanyaan itu aku terdiam sejenak. Aku merasa diriku ini sulit untuk melupakan sesuatu karena aku memang tak sanggup melupakannya.
Ingatan adalah sesuatu yang berharga, itulah yang aku sadari. Jika kau kehilangan bagian ingatanmu, itu sama saja kau kehilangan sebagian dari dirimu.
Dalam ingatanku, orang tuaku, Reva, anak panti asuhan, aku tak bisa melupakan mereka karena mereka berharga untukku.
"Aku baru saja mengingatnya. Aku masih memiliki saudara angkat dan saat setelah bencana merenggut kedua orang tua kami... aku kehilangan dia."
"Kau... masih punya keluarga?"
Ini mengejutkanku, meski hanya saudara angkat, namun itu berarti Rei masih memiliki keluarganya.
Namun reaksi yang ditunjukkan Rei saat ini, dia begitu kesal. Apakah mungkin Rei melupakan saudaranya setelah bencana itu dan kini dia merasa bersalah karenanya?
Seketika itu membuatku berpikir.
"Apa... orang itu mendatangimu lalu membencimu?"
Rei menggelengkan kepala sebagai jawaban.
"Tidak. Meski dia tak mempermasalahkannya, tapi bagiku yang sampai melupakannya... keluarga macam apa aku ini!"
Jadi begitu. Perasaan pribadi kah? Rei merasa kalau dirinya bersalah meski orang lain tidak merasa demikian.
Karena orang itu adalah anak angkat, dia pasti merasakan perasaan yang sama seperti Rei saat bencana besar merenggut orang tuanya.
Dan Rei kini menyadarinya. Dia kehilangan saudaranya dan begitu mengkhawatirkannya.
Tanpa sadar aku tersenyum hangat.
"Saat seseorang ingin melupakan sesuatu, justru dia selalu mengingatnya. Dan saat seseorang ingin mengingatnya, dia justru melupakannya. Menurutmu, kenapa itu terjadi?"
Rei mengangkat kepalanya yang sedari tadi tertunduk. Akhirnya aku bisa melihat kelopak matanya yang berwarna biru indah itu.
Aku kemudian berujar sesuatu yang telah ku pelajari.
"Itu mudah. Kau menyimpan terlalu banyak kebaikanmu pada orang lain hingga akhirnya tanpa sadar semua perasaan itu meluap keluar. Kau melupakannya karena kau tak ingin orang lain membalas kebaikkanmu. Sedangkan aku, yang ingin melepas semua penderitaan itu kembali diingatkan oleh apa yang pernah ku lalui, kepingan kecil perasaanku bersama mereka. Perasaan lainnya yang ada dalam diriku mengingat semua itu. Seberapa keras pun aku mencoba perasaan itu akan terus bersamaku."
Rei kau harus tau. Saat seseorang melupakan sesuatu itu tidak selalu dalam artian yang buruk. Ada kalanya seseorang meyakini lebih baik melupakan sesuatu atau dia harus mengingat sesuatu hal yang buruk.
"..."
Mungkin Rei perlu waktu untuk mikirkannya. Jadi aku biarkan dia berpikir dengan tenang. Aku yakin berpikir jernih adalah keahlian Rei.
Beberapa saat kemudian.
"Terima kasih, Miu. Sedikit, aku bisa mengerti semua perkataanmu."
Aku melihat Rei sudah berusaha untuk tersenyum seperti biasa. Dan aku pikir itu akan baik-baik saja selama Rei mau mengerti.
"Sama-sama, Rei. Jika ada sesuatu lebih baik kau mengatakannya padaku."
Rei mengangguk. Aku bisa melihat raut wajahnya kembali seperti sedia kala. Seperti inilah Rei yang aku kenal, Rei yang aku kagumi.
"Lalu, siapa nama saudaramu itu?"
Untuk sesaat Rei memandangiku dengan tanya untuk apa aku bertanya hal semacam itu. Hmm... ini bukan seperti Rei ingin menyembunyikannya lagi kan?
"Dia..."
"Itu aku."
Mendengar suara yang tidak begitu akrab, aku berbalik. Disana berdiri seorang gadis yang... tunggu! Dia gadis yang waktu itu!
Sepertinya aku pernah mendengar namanya. Kalau tidak salah...
"Kau..."
"Franiya Laylia Renya. Aku dari kelas A dan atributku adalah hampa."
"AAH! Kau gadis yang waktu itu!"
Benar. Gadis ini atau Franiya adalah gadis yang berpapasan langsung dengan Rei di depan ruang kelas formasi sihir dan juga diam-diam selalu memandangi Rei sebelum dirinya ketahuan olehku.
Tapi tunggu, dia bilang apa barusan...
"Atributmu... hampa?"
Apa yang aku ketahui adalah dari keempat atribut tempur utama terdapat satu atribut tempur spesial yang berada diluar keempatnya.
Dialah atribut hampa. Kekuatannya bukan hanya sekadar menciptakan kehampaan, namun jauh diluar itu.
Pada kelas pemanggilan dimana kita dapat memanggil 'Pet' dibutuhkan setidaknya pengetahuan tentang sihir ruang yang adalah bagian kecil dari kemampuan khusus atribut hampa.
Terlebih lagi atribut hampa memiliki bentuk yang tidak tetap. Dia bisa mewujudkan apapun melalui kehampaan itu.
Api, bayang-bayang, kegelapan, ruang, ilusi, sihir terlarang. Itu hanya sebagian kecil dari kemampuan yang mungkin dapat melahirkan berbagai macam kemampuan berbeda.
Namun sejauh yang aku tau, pengguna atribut hampa itu terpilih dan selalu memiliki sejarah kelam dalam hidupnya.
"Kau..."
"Miu, dia bukan lah seperti apa yang kau pikirkan."
"Hentikan, Eita. Itu sudah sewajarnya. Atribut hampa selalu didiskriminasi dan diasingkan karena kekuatannya."
Bibirku terkatup rapat. Rei menghentikanku yang akan mengungkapkan sesuatu.
Apakah Rei sudah tau ini sejak awal?
Atribut hampa yang memiliki kekuatan hampir tak tertandingi itu membuat banyak orang beranggapan mereka adalah seorang monster yang menjelma sebagai manusia.
Mereka biasa disebut sebagai pembawa kemalangan, malapetaka, bencana dan sesuatu yang menghancurkan.
Lalu apa hubungannya ini dengan Rei?
"Tapi bagaimana kau dan Rei bisa..."
"Aku adalah anak angkat keluarga Eita. Bahkan aku sendiri tau, tidak lebih mereka hanya kasihan padaku."
Franiya mengatakannya dengan wajah sedihnya.
"Bukan begitu. Kami bukan mengasihanimu. Bahkan aku sendiri sudah menganggapmu sebagai kakak kandungku."
Jadi ini yang selalu dipikirkan Rei. Dia bukan hanya mengatakan tentang saat bagaimana saudaranya menghilang lalu kembali padanya, namun dia sudah memikirkan jauh dari itu.
Kekuatan terkutuknya membuat pengguna atribut hampa mengalami kesendirian akibat ditinggalkan, dikucilkan, dan ditakuti. Namun keluarga Rei memilih untuk tetap menjadikannya keluarga.
Itu terdengar seperti Rei.
"Aku percaya saat ini mereka tidak menyesali apapun. Kau adalah keluarga kami, dan aku ingin kau kembali."
"Tapi aku tidak, Eita. Kemanapun aku pergi, kemalangan akan selalu menimpa orang terdekatku. Aku hanya akan terus menyakiti mereka."
Melihat perdebatan mereka, aku tak tau harus bagaimana. Rei tak pernah menceritakan apapun padaku dan aku juga tak pernah menduga Franiya adalah kakak perempuan Rei.
Franiya sekurangnya adalah bagian kecil keluarga Rei, dan Rei tak ingin kehilangannya. Itu membuatku yang tak memiliki siapapun ini iri.
"Tidak diantara kami terluka karenamu, justru kepergianmu..."
"Aku pergi karena aku tak bisa tinggal, Eita. Aku mengotori tanganku sendiri bahkan pada mereka yang telah baik padaku."
"Apa... maksudmu...?"
Rei dibuat bungkam. Ekspresinya tak karuan seperti dia dihadapkan dengan sesuatu yang besar. Sesuatu yang mungkin tidak ingin dia ketahui.
"Ingatlah, Eita! Hari itu, saat kebakaran besar menghancurkan seluruh kota... Apa warna api itu?"
Suara Franiya merendah. Aku yang hanya mendengarkan tercengang karena baru saja mengetahui kebenaran kalau bencana yang merenggut keluarga Rei adalah kebakaran.
"Warna... api... api..."
Rei! Hey, Rei. Wajahmu berubah pucat. Apa yang terjadi? Apa yang sebenarnya ingin Franiya ungkapkan?
Tentu saja api berwarna merah bukan? Kau sudah melihat itu setiap hari, lalu memangnya ada api... tunggu, jangan katakan...
"Hitam."
Gumaman Rei memberikan kami satu kesimpulan.
Franiya adalah...
"Benar. Malam itu yang telah membunuh kedua orang tuamu... adalah aku."
Tangan Rei terkepal berusaha untuk mengendalikan diri. Bahkan aku yang mendengarnya juga dibuat bungkam terpaku di tempat.
Pernyataan Franiya tidak lebih seperti pengungkapannya. Dia rela menyerahkan dirinya demi mengungkapkan kebenaran yang dia ketahui.
Sebagai sesama wanita aku mengerti rasa sakit menyimpan sebuah rahasia besar bahkan bagi orang yang disayanginya. Franiya melakukannya karena dia peduli pada Rei.
"Kenapa? Jangan bercanda denganku... ini tak lucu."
"Terimalah kenyataannya, Eita. Aku seorang pembunuh. Aku tak bisa melibatkanmu dengan ini. Biarkan... hanya aku yang menanggung dosa ini."
Mengapa semua berakhir seperti ini, bukankah mereka justru tidak menyelesaikan apapun?
Franiya berniat pergi tanpa menghiraukan Rei yang masih bergelut dengan perasaannya.
Apa yang harus aku lakukan untuk mereka? Bukankah aku ini patner Rei. Kenapa aku tidak melakukan apapun?
Dan juga apakah alasan Franiya masuk akademi hanya untuk menemui Rei dan mengatakan semuanya? Apakah tak ada kesempatan kecil untuk mereka kembali seperti dulu.
Kenapa... mereka begitu keras kepala?!
"Tunggu, Franiya!"
Aku mencoba menghentikan langkahnya. Franiya terhenti, tapi dia tidak memandang balik padaku.
"Tunggu dulu. Aku... aku tidak mengerti. Jika kalian begitu peduli satu sama, kenapa kalian tidak kembali seperti dulu saja?"
Kalian bisa kembali dan memilih mengambil jalan yang sama untuk menyelesaikan semuanya. Dan jika diperlukan aku pasti akan mengulurkan tanganku.
Aku tak akan biarkan siapapun merenggut kebahagiaan Rei.
"Kau... Miu. Jadi begitu. Kau memang orang yang baik, Miu. Bahkan jika aku tak datang, Eita pasti akan baik-baik saja denganmu."
"Kenapa? Terlepas dari semua yang terjadi, bukankah kau sendiri berharap untuk kembali. Karena itu kau menemui Rei dan mengatakan semuanya!?"
"Aku akan tegaskan satu hal padamu, Miu. Aku ini iblis. Aku tidak bisa bersama manusia sesuci dirimu atau bahkan Eita."
Iblis. Baru saja aku mendengar dia berujar mengatai dirinya sendiri sebagai iblis.
Meskipun aku tau kenyataannya dan tak bisa menerimanya, aku tak akan pernah berani menyebut orang lain atau diriku sendiri seperti iblis.
Tapi Franiya itu berbeda. Dia mengatakannya karena dia berani menanggung beban itu di pundaknya
Dengan tekad sekuat itu, jika saja dia memilih untuk berusaha berubah... aku yakin...
"Franiya!"
Itu suara Rei. Dia sepertinya sudah cukup banyak berpikir dan menemukan pilihannya. Aku percaya Rei tak akan pernah mengecewakan siapapun.
Jika dia telah putuskan, dia tak akan pernah mengingkarinya.
"Franiya. Aku tau. Meskipun kau adalah dalang dari bencana itu, aku tau bahwa kau juga lah yang telah menyelamatkan hidupku. Aku berutang nyawaku padamu."
"Tapi kekuatanku yang lepas kendali lah yang membunuh mereka. Aku menyelamatkanmu karena kau adalah cahayaku. Jika aku membiarkanmu mati, aku lebih baik bunuh diri."
"Tapi, karena itu. Biarkan aku membalas semuanya. Kebaikan hatimu itu."
Ah. Aku bisa merasakannya. Rei bersinar layaknya cahaya di malam hari. Dia berkilau ditemani sejuta cahaya langit di sekelilingnya.
Perasaan yang menenangkan ini, aku yakin Franiya juga dapat merasakannya.
"Aku... tidak sebaik itu."
"Tidak. Kau juga sama sepertiku. Kita sama-sama menderita, tapi kau memilih untuk tetap menghadapinya. Aku percaya orang baik sepertimu berhak mendapatkan kebahagiaannya."
Saat Rei memilih untuk menghadapinya aku memutuskan untuk ikut mendukungnya. Jika memang ini yang ingin Rei gapai maka aku akan mewujudkannya.
Rei mendekat. Franiya yang mengetahui itu tidak berusaha menjauh. Kemudian aku bisa mendengar Rei berujar.
"Selamat datang kembali, Kak."
Melalui perkataannya yang begitu tulus, aku bisa mendengar suara isak tangis dari gadis itu.
Apa akhirnya Franiya mampu mendapat apa yang sangat diinginkannya lalu bahagia karenanya?
Rei, kau selalu dapat membuatku iri... karena kau bisa sebaik itu pada semua orang.