Chereads / Tales of Worst Hero : The Rising Hero / Chapter 6 - Ch. 06 - Menggapai Segala Kemungkinan

Chapter 6 - Ch. 06 - Menggapai Segala Kemungkinan

'Tidak. Gawat. Rasanya aku tak bisa berhenti menangis.'

Franiya berusaha menghentikan tangisannya yang tak kunjung usai. Dia merasa kesal pada dirinya sendiri karena keteguhan hatinya runtuh hanya karena mendapat sedikit kebaikan yang Reita tunjukkan.

"Kau jahat. Padahal aku sudah siap untuk dibenci, tapi kenapa..."

"Alasan untuk membenci orang lain adalah karena kau menyayanginya. Kau tak akan sanggup menepis perasaan itu."

"Tapi Miu, aku... aku tak berhak menerima semua kebaikan ini."

"Berhak atau tidaknya bukan kau yang menentukannya, tapi hatimu."

Dengan menegaskan perasaan yang telah Reita ungkapkan, Miu baru saja seperti melihat bayangan dirinya sendiri sama seperti bagaimana Reita menenangkannya saat itu.

"Kak. Aku tau mungkin aku egois karena tak memikirkan perasaanmu, tapi... maukah kau kembali? Aku tak peduli dengan tanggapan orang lain padamu. Aku hanya menginginkanmu Kak."

Untuk kesekian kalinya Reita memohon. Dia menaruh secerah harapan kecil agar Franiya dapat kembali menjadi bagian dalam hidupnya, menjadi orang yang berharga untuknya.

Meski begitu Franiya tertunduk. Dia menghentikan isak tangisnya sesaat untuk berujar.

"Tidak, Eita. Ini bukan seperti aku tak ingin kembali, tapi... aku belum bisa. Masih ada hal yang ingin aku lakukan. Hal yang ingin aku buktikan padamu."

"Kau tak perlu melakukannya sejauh itu, aku..."

"Itu perlu! Sama seperti kau ingin membuktikan pada semua orang. Aku juga. Jadi, aku belum bisa kembali."

Berbalik memandang lurus pada Reita agar dia dapat memahami keinginannya tersebut, Franiya juga berharap Reita tidak menghentikannya.

Melihat tekad yang sama sepertinya, Reita tersenyum seolah dia sadar bahwa akademi ini bukan hanya sekadar panggung untuk membuktikan dirinya, tapi akademi ini juga merupakan panggung semua orang. Semua orang ingin berhasil dan mencapai apa yang mereka ingin raih.

Bahkan untuk non-atribut juga atribut hampa miliknya dan Franiya.

"Kalau begitu berjanjilah. Aku yakin akan tiba saat dimana kita saling mengangkat pedang masing-masing. Saat itu tiba, aku ingin kau melawanku dengan serius, Kak."

Mendengar Reita akhirnya melepaskannya, Franiya akhirnya sanggup tersenyum dengan hangat. Dia tak perlu lagi berusaha bermuka dua di hadapannya dan dia tak perlu lagi menyembunyikan perasaannya yang sesungguhnya.

Karena itu Franiya membalasnya dengan mantap.

"Sadar diri. Kau yang seharusnya serius."

"Aku tak akan menahan diri."

"Kalau begitu aku juga."

Berjabat tangan sebagai bukti janji mereka, Franiya akhirnya dapat meninggalkan tempat itu dengan hati yang ringan.

★★★

Seminggu telah berlalu sejak saat itu. Hubungan Reita pada Franiya cukup membaik ditambah sepertinya Franiya juga tak berusaha menjauhi siapapun yang ingin berkawan dengannya. Meski dia sedikit membatasi dirinya.

Saat ini adalah pembelajaran umum kelas. Alsa selaku guru pembimbing mereka telah masuk dengan menjelaskan materi umum tentang sejarah kerajaan Midland berdiri.

"Seperti yang aku jelaskan sebelumnya. Kerajaan Midland menjalin hubungan baik antar sesama ras juga pada mereka, ras demi-human. Akan tetapi, beberapa bangsawan yang tidak sependapat dengan keputusan raja saat itu berusaha membuat pandangan masyarakat pada demi-human memburuk. Oleh karenanya raja pada masa itu, Raja Weyess membuat hukum baru tentang perlindungan hak hidup dan kebebasan demi-human. Menurut..."

Meski terdengar menarik, namun pelajaran sejarah adalah satu dari sekian banyak pelajaran yang tidak diminati kebanyakan murid. Mereka pikir mempelajari masa lalu adalah perkara membuang waktu.

Padahal ada banyak pembelajaran yang dapat mereka ketahui, namun meski begitu tak ada yang memiliki minat keingintauan kecuali pemuda itu, Reita.

Lelaki itu dengan tenang mendengarkan dan mencatat bagian yang dianggapnya penting. Saat Miu mempertanyakan alasannya, Reita menjawabnya demikian.

"Karena aku tidak dapat mempelajari pengetahuan umum tentang sihir, maka aku mempelajari pengetahuan dasarnya. Dan semua itu bermula dari sejarah."

Katanya yang bahkan tidak membangkitkan minat Miu sepenuhnya. Dia hanya melakukan apa yang menurutnya benar berdasarkan tindakan Reita.

Pelajaran terus berlanjut hingga suara pergantian waktu terdengar. Kelas selanjutnya adalah kelas yang paling mereka nantikan, kelas tambahan.

Reita dan Miu bergegas menuju kelas formasi sihir saat mereka mendengar Alsa yang berada tak jauh dari mereka berujar memanggil.

"Reita. Melihat perkembanganmu di kelas tambahan dari beberapa hari lalu. Izza selaku pembimbing kelas tambahanmu terlihat tertarik secara pribadi denganmu. Dia meminta kau mendatanginya selepas pembelajaran. Aku mengingatkanmu karena terkadang Izza melupakan janjinya karena kesibukan dalam penelitiannya."

"Pak Izza? Ada keperluan apa dengan saya?"

"Aku juga belum tau. Namun aku mungkin bisa menebaknya."

"Lalu?"

"Rahasia."

Alsa tersenyum misterius dihadapan Reita membuatnya tak sanggup untuk tidak menyanggupi ucapannya sebelumnya.

Sejak awal Reita memang tau Izza adalah guru genius yang menyukai penelitian sihir dan berusaha menerapkannya dalam kelas.

Akhir-akhir ini memang Reita melihat perubahan Izza bukan dari cara mengajarnya. Ada kemungkinan dia dapat melihat atau merasakan hal yang sama dengan yang Reita rasakan selama pembelajaran.

Atau mungkin dia sudah menyadarinya kalau Reita lah yang paling memahami pembelajarannya.

Alasan kelas formasi sihir diminati hanyalah agar beberapa murid dapat menggunakan sihir secara instan terlepas dari atribut mereka.

Namun sebenarnya bukan hanya itu. Formasi sihir yang menggunakan susunan dari beberapa formula sihir akan menghasilkan sebuah reaksi baru yang dapat memunculkan fenomena yang bahkan dapat melampaui pengetahuan sihir dasar.

Dan semua pengetahuan itu hanya Reita yang benar-benar menyadarinya.

Tidak heran Izza akan tertarik padanya.

"Sepertinya aku tak bisa mengambil waktu latihanku."

"Aku tau kau bersemangat untuk berlatih, tapi kau juga tak boleh mengabaikan perintah gurumu."

"Aku tau itu."

Setelah mengatakannya Reita dan Miu bergegas menuju ruang kelas untuk mengambil waktu kelas tambahan.

★★★

Selepas pembelajaran...

"Permisi, saya datang karena panggilan Pak Izza."

Reita menghampiri ruang guru yang berada di dekat bangunan kelasnya karena mengingat saran Alsa sebelumnya. Di dalamnya cukup banyak guru yang bekerja di mejanya masing-masing tanpa menghiraukan sapaan Reita.

Matanya sesaat berkeliling untuk mencari keberadaan pembimbing kelas formasi sihir yang sudah cukup dikenalnya. Tak lama berselang Reita menemukan Izza yang masih terduduk di bangkunya menyibukkan diri dengan pekerjaannya.

Tak menunggu lama Reita melenggang masuk menghampirinya. Begitu tiba di hadapannya, tatapan Izza naik dan mendapati murid yang cukup menonjol di kelasnya itu berdiri di hadapannya.

"Oh, Reita kah. Jadi kau datang hari ini."

Menghentikan kesibukannya, Izza kemudian mempersilahkan Reita duduk. Dia berujar dengan nada yang terdengar bersahabat.

"Apakah Alsa yang menyarankanmu kemari? Maaf karena aku baru bisa memanggilmu. Beberapa waktu ini aku disibukkan dengan pekerjaanku."

"Tidak ada masalah. Jika anda ingin saya bisa mendatangi anda kapan pun."

Setelah menjawabnya, Izza mengerutkan kening seolah merasa tak nyaman.

"Kau tak perlu terlalu formal denganku. Aku tidak sedang ingin mengintrogasimu."

"Tapi Pak..."

"Lakukan saja."

"...Baik."

Tidak ingin membantahnya, Reita tertunduk untuk sesaat menghilangkan kegugupannya. Dia mempelajari tata krama berbicara untuk menghindari konflik dengan para bangsawan. Dia terkadang juga menggunakannya untuk menghormati para guru atau seniornya.

Akan tetapi jika pembimbingnya yang satu ini bersikeras terhadapnya, Reita tak memiliki pilihan lain selain menyanggupinya.

"Kalau begitu bagaimana kalau kita mulai pembicaannya. Pertama aku akan mengatakan dengan jujur pandanganku padamu."

Dari gelagatnya, Izza seperti berusaha mengisyaratkan sesuatu, namun Reita belum bisa menangkap apa pun yang disampaikannya.

"Reita. Dari penglihatanku selama kelas tambahan berlansung, diantara seluruh murid satu angkatan dari berbagai kelas yang berbeda hanya kau yang paling memahami semua materi yang aku berikan. Atau bisa aku katakan, kau sudah mempelajarinya jauh sebelum aku menyampaikannya. Itu wajar karena materi yang aku sampaikan sejauh ini hanyalah materi dasar, namun tak cukup banyak murid sepertimu yang berkeinginan untuk mengetahuinya sedini ini."

Memang benar kalau Reita telah mempelajari hampir semua dasar-dasar sihir maupun bertarung, namun sepertinya yang dia lakukan itu cukup menarik perhatian pembimbingnya tersebut.

Berdasarkan sistem penerimaan murid baru terdapat sebuah tes tertulis yang berisi tentang segala materi tentang sihir dan pengetahuan umum. Penilaian tersebut termasuk dalam daftar nilai yang dapat mendongkrak persentase lulus seleksi.

Selain menjadi lulusan terbaik dalam kemampuan sihir, beberapa lulusan juga terkadang berusaha meningkatkan pengetahuannya tentang dunia maupun sihir. Dengan pencapaian itu mereka dapat menjadi seorang peneliti atau pekerjaan lain terlepas dari pertarungan yang dapat merenggut nyawa mereka.

"Meskipun begitu, sebanyak apa pun ilmu yang kau miliki tidak sebanding dengan hasil yang didapat karena kau tidak dapat mempraktekkannya secara langsung. Selama ini kau hanya menaruh kepercayaan pada naluri tajam yang kau rasakan saat menggunakan prana. Aku akui pilihan Kepala Akademi untuk meloloskanmu saat ujian adalah benar, tapi kau butuh lebih dari semua itu."

"Apa Pak Izza bisa memberikan contohnya?"

"Tentu, tapi tidak sekarang. Ini menyangkut dengan masa depanmu. Aku telah mendiskusikan ini dengan pembimbing kelas tambahan lainnya dan mereka sepertinya tertarik untuk melakukannya."

"Apakah itu?"

"Private Trainning. Untuk menutupi segala kekurangan yang kau miliki kami memutuskan untuk merubah kurikulum milikkmu dan menjadikannya sebagai pelatihan pribadi. Keuntungannya kau bisa melewatkan kelas apa pun, tapi kau harus datang berlatih saat dipanggil meski jam pembelajaran telah usai."

"Eh?"

Pelatihan pribadi untuknya. Terdengar menguntungkan, tapi disamping itu ada hal yang membuatnya merasa resah.

"Bukankah itu berarti aku mendapat perhatian khusus?"

Benar. Selama ini Reita berusaha menghindari masalah dengan bersembunyi di balik wajah ketidakpeduliannya. Dia tak ingin pembelaannya justru akan menjadi bumerang karena perbedaan kasta.

Lalu tiba-tiba saja Izza menawarkan untuk memberikannya pelatihan khusus hanya untuknya. Semua itu justru terlihat seperti usaha untuk mengungkapkan kelebihan dan kekurangan miliknya. Jika Reita tak sanggup menahannya, dia akan menjadi bulan-bulanlan murid lainnya. Namun jika dia sanggup melakukannya, itu akan menaikkan pamornya di akademi.

Meski terkadang tidak berjalan ke arah yang baik.

Izza menyadari kecemasan Reita dan berusaha untuk membujuknya dengan benar.

"Benar. Jika kau tidak memiliki progres dalam pembelajaranmu, kau akan tertinggal. Lambat laun kau akan diasingkan lalu terlupakan padahal kau memiliki potensi besar untuk merubahnya."

"Tapi, secepat ini... aku..."

"Justru karena kau masih kelas 1 ini pilihan yang terbaik. Setelah kau naik ke tingkat 2, kami justru tak dapat melakukan sesuatu lagi denganmu. Ini bukan masalah perasaan, tapi melihat posisi kami sebagai guru akademi."

Berdasarkan perkataan Izza, sepertinya dia tak memiliki kesempatan kedua jika dia tak memulainya sejak saat ini. Selain kesibukan mereka, sepertinya ada ketentuan khusus yang mencantumkan tentang perlakuan guru terhadap murid yang tak dapat melewati batas wajar.

Terlebih Reita adalah murid yang paling diperhatikan. Mendapatkan sedikit perlakuan khusus akan membuat namanya juga yang bersangkutan terancam jatuh.

Akan tetapi kesepakatan bersama yang diajukan Izza telah mencakup kepala akademi yang sepertinya menyetujui perubahan kurikulum tersebut.

Sekarang hanya tinggal menunggu respon pemuda tersebut.

Oleh karena itu Reita terdiam cukup lama memikirkan tentang masa depannya. Jujur jika boleh mengakuinya, selama ini dia hanya bergerak mengikuti kemana angin membawanya pergi.

Akan tetapi dia takut terlena dan jatuh pada keputusasaannya yang akan menghanguskan impiannya.

Karena itu dia memutuskannya. Dengan menghela napas ringan, Reita kemudian berujar.

"Baiklah. Jika memang aku harus melakukan itu, aku akan melakukannya."

Mendengar jawaban itu, Izza tersenyum penuh kemenangan. Dia yakin daripada menunggu Reita pasti akan memilih bergerak maju menggapai segala kemungkinan yang ada.

Dan dengan bantuannya kemungkinan itu dapat diraih pemuda tersebut.

"Kalau begitu persiapkan dirimu. Kita akan mulai latihan pukul 7 pagi."