Chereads / Tales of Worst Hero : The Rising Hero / Chapter 2 - Ch. 02 - Latih Tanding

Chapter 2 - Ch. 02 - Latih Tanding

Ada sebuah fasilitas di akademi yang dapat digunakan secara umum dan terkesan khusus. Itu adalah ruang pelatihan.

Dalam ruang pelatihan siapa pun dapat melakukan latih tanding secara solo maupun berkelompok.

Namun pertandingan akan di monitori pada salah satu bagian ruangan untuk menghindari beberapa hal yang tidak diinginkan atau sekadar mendapatkan rekaman hasil pelatihan mereka.

Dengan memperlihatkan kembali hasil latihan mereka, setiap tim dapat meningkatkan kemampuan serta belajar dari kekurangan yang mereka miliki.

Karena itu, Reita dengan Miu akan melakukan pertarungan latihan disana. Ditemani oleh salah seorang dari kelas mereka, Reita dan Miu memulai simulasi.

Masing-masing dari mereka mengeluarkan benda yang seukuran genggaman tangan kemudian mengulurkannya ke depan.

""Change!""

Benda itu kemudian berubah membentuk sebuah senjata. Untuk Reita, dia merubahnya menjadi pedang tipis dua bilah berwarna hitam.

Untuk lawannya, Miu memunculkan gambaran pedang besar dua tangan dengan api yang menyelimutinya.

Sebenarnya senjata yang mereka gunakan berasal dari rekayasa perwujudan sihir mereka. Karena ini latih tanding, maka mereka hanya mempergunakan peralatan simulasi tersebut. Akan berbahaya jika mereka mempergunakan yang sesungguhnya.

"Kau sudah siap? Aku tak akan menahan diriku."

Kata Miu memprovokasi, namun Reita tidak terpengaruh.

"Akan lebih baik jika kita dapat segera mengakhirinya."

Reita tak bisa setengah hati mempertontonkan kekuatannya. Lawannya adalah seorang dengan bakat sihir api sedangkan dirinya hanyalah non-atribut.

"Kalau begitu, aku menyerang lebih dulu."

Miu berlari dengan langkah panjang memposisikan pedangnya di sisi kiri tubuhnya siap berayun.

Reita masih tak bergeming.

Dengan mengangkat pedangnya, Reita mengayunkannya turun menghalau serangan pedang Miu. Reita kemudian menahannya di tempat.

Bertahan beberapa saat, Miu melompat mundur mengambil jarak lalu kembali mengambil inisiatif menyerang.

Keagresifan dalam serangan Miu dengan pedang besarnya membuat Reita sedikit kuwalahan. Dia sering kali terpukul mundur karena perbedaan besar kekuatan mereka.

"Mengagumkan. Sudah sepantasnya mereka menjulukimu Prometeus Child."

"..."

Ekspresi Miu berubah sesaat. Reita menyadarinya karena mereka tepat berada di posisi saling membenturkan pedang masing-masing.

Namun Miu segera mengembalikan raut wajahnya seolah tidak terjadi apa-apa.

"Apakah begitu? Tapi ini hanya sedikit dari seluruh kemampuanku."

"Kau menahan diri?"

Meskipun Reita berkata demikian, dia sebenarnya khawatir dengan posisinya. Reita sudah kalah dalam dominasi penguasaan pertarungan, terlebih dia berniat memprovokasi Miu. Itu terlihat seperti tindakan bunuh diri.

"Aku tak akan kalah dalam adu pedang!"

Miu mengambil langkah panjang dan berhenti mengambil jarak. Ayunan panjang miliknya tertuju pada perut Reita, Reita yang juga melihat celah menggunakannya untuk menyerang Miu dari arah yang berlawanan.

Namun karena perbedaan panjang senjata mereka, Miu terlebih dulu terkena dampak serangannya membuatnya tanpa sadar mengendurkan pertahanannya.

Reita menggunakan kesempatan itu untuk menyerang balik, namun Miu menghalaunya menggunakan pedangnya dengan memposisikannya sebagai tamengnya.

Karena Miu fokus pada bertahan, Reita meningkatkan intensitas serangannya. Saat ini adalah kesempatan emas untuk kemenangannya.

Meskipun begitu, Reita terlalu naif. Tekanan kekuatan Miu meningkat. Prana yang menjadi sumber kekuatan magisnya bermunculan di udara mempersiapkan sihirnya.

"Haaaaaa!!!"

Api meledak di sekitar tubuhnya. Reita terlempar mundur dengan sentakan kuat. Saat dia bangkit dia dapat melihat api menyelimuti seluruh tubuh Miu bahkan membuat mata dan rambutnya menyala.

Api itu mengelilingi tubuhnya layaknya orbit. Warnanya begitu merah menyala dan hanya berada di dekatnya, Reita menyadari perbedaan kekuatan mereka.

'Tapi, tetap saja. Aku merasakan perasaan aneh pada api itu.'

Gumam Reita. Dia merasa ada yang berbeda dari api yang Miu pergunakan dibandingkan sihir api yang pernah dipertontonkan padanya.

Kekuatan sihir seseorang seharusnya mencerminkan sifat penggunanya. Bahkan api yang mewarisi sifat sombong dan amarah juga bisa berarti sebuah keberanian atau memiliki jiwa kepemimpinan yang tinggi.

Namun api Miu tidaklah seperti itu. Dia menyimpulkannya berdasarkan pendapatnya saja. Reita hanya tak yakin jadi dia memilih untuk mengakhirnya.

"Baiklah, aku menyerah. Kemenangan ini milikmu."

Miu yang mendengarnya terheran-heran, namun dia segera tersadar. Apinya padam dan simulasi latihan mereka usai.

"Maaf, aku terlalu berlebihan. Sepertinya aku melukaimu."

Memperhatikan lengan kiri Reita, terdapat luka bakar kecil disana. Reita sama sekali tidak menyadarinya karena sebenarnya dia telah melatih tubuhnya selama ini.

Rasa sakit itu tidak seberapa dibandingkan hidupnya.

"Meskipun ini simulasi, harap jangan terlalu berlebihan. Apalagi terhadap rekanmu."

Gadis yang selama ini menonton di sudut ruangan mendekat. Dia memperhatikan luka bakar Reita dan segera mengobatinya.

Prana muncul tak kala gadis itu memanggil nama sihirnya. Sihir itu menyelimuti luka Reita lalu mengobatinya.

"‹First Heal›!"

Semacam gelembung air menyiram luka Reita membuat rasa sakitnya berkurang. Meski tidak menghilang, namun luka itu akan lebih cepat pudar setelah diberikan sihir.

"Terima kasih, Aelan. Kami sepertinya merepotkanmu."

Reita mungkin tidak begitu memperhatikannya, namun Miu lah yang meminta gadis bernama Aelan itu mengawasi latihan mereka. Dia sendiri sudah memperkirakan Reita akan terluka akibat sihirnya.

"Tak masalah. Lagipula dari yang aku lihat, sepertinya kau sudah melakukan pencegahan dengan melindungi bagian tubuhmu dengan prana. Aku sedikit heran bagaimana kau melakukannya?"

Mendapat komentar seperti itu Miu menjadi ikut penasaran. Awalnya dia terkejut, Reita juga telah mengantisipasi hasil akhir tersebut, meski hasilnya di luar perkiraannya.

"Benarkah itu, Rei?"

"Ah, Ya. Karena aku hanya mampu mengendalikan prana untuk memperkuat diri, itu sudah biasa."

"Bukan begitu. Bahkan jika sebatas mengendalikan prana semua orang juga mampu. Namun yang aku pertanyakan, bagaimana kau bisa menduga arah serangan Miu dan melakukan pertahanan terpusat pada saat bersamaan?"

"..."

Reita terdiam. Dia seperti berusaha mencari kata-kata untuk menjawab pertanyaan gadis berambut biru marun tersebut.

Mengetahui kalau hal tersebut enggan dia bicarakan, Aelan memilih menyerah.

"Apapun itu, sepertinya kau masih belum mahir menggunakannya. Maka aku tak akan bertanya lebih lanjut."

Berpaling kearah Miu, Aelan kemudian berujar.

"Jangan sungkan-sungkan meminta tolong padaku. Sebagai ketua kelas, aku pasti akan membantu sebisaku."

"Terima kasih."

Kedua gadis itu tersenyum beberapa saat hingga Aelan meninggalkan ruang latihan. Miu menghela napas begitu dia sadar.

"Mustahil. Aku masih sulit mengendalikannya."

"Maaf karena aku terlalu memaksamu. Bagaimana kalau kita beristirahat sejenak di luar?"

"Benar juga. Mari pergi."

Mengangguk apalagi setelah rasa penat latihan juga terlalu lama di dalam ruangan, mereka butuh udara segar. Mereka juga harus berganti pakaian. Dari apa yang terlihat, pakaian latihan mereka basah karena keringat.

Udara segar berhembus setelah mereka keluar dari fasilitas pelatihan. Teriknya sinar matahari masih begitu terasa karena mereka keluar tepat di tengah hari.

Hari ini adalah akhir pekan pertama mereka. Meski beberapa diantara mereka memiliki kegiatan masing-masing, mereka lebih mencoba mendekatkan diri dengan berlatih.

"Rei, sebenarnya aku masih penasaran. Bagaimana kau bisa lulus seleksi?"

Mendengar pertanyaan itu, Reita berpikir sejenak. Sebenarnya jika boleh dikatakan Reita juga heran, namun mungkin para penyeleksi memiliki beberapa syarat khusus untuknya.

"Entahlah. Sejak awal akademi memiliki kualifikasi mereka sendiri terhadap calon muridnya. Mungkin mereka juga memilikinya untuk yang tak beratribut."

"Kualifikasi? Seperti apa?"

"Seperti sebelumnya. Kebanyakan adalah bagaimana calon murid mengendalikan prana dan sihir mereka. Aku tidak yakin apakah ada perlakuan khusus terhadapku, tapi aku tetap bertekad untuk memasuki akademi ini."

Dengan menjadi murid sebuah akademi, para calon penyihir memiliki kesempatan untuk mendapatkan pekerjaan atau ilmu yang mereka butuhkan saat dewasa nanti.

Apakah mereka akan menjadi ksatria kerajaan atau mereka akan menjadi seorang pemburu monster, semua itu dapat dengan mudah mereka raih melalui akademi termasuk untuk menjalin koneksi dengan banyak orang.

Karena itu banyak orang berkeinginan untuk masuk akademi termasuk mereka yang tak memiliki atribut sihir. Akan tetapi karena budaya perbedaan kasta, kebanyakan dari mereka yang tak beratribut tak sanggup memasuki akademi yang terkenal. Kebanyakan dari mereka masuk akademi umum.

Pada akhirnya yang membedakan semuanya hanyalah prana seseorang. Mereka penyihir beratribut memiliki prana yang dapat beresonasi dengan elemen alam sedangkan penyihir atribut tidak dapat melakukannya.

Tetapi bukan berarti mereka tidak dapat menggunakan sihir. Penyihir tak beratribut hanya sanggup mengendalikan prana lalu memadatkannya. Kekuatannya sama sekali tidak dapat dibandingkan dengan kemurnian prana yang beresonasi dengan elemen alam.

"Padahal aku sendiri sadar bahwa prana yang dipadatkan tak memiliki kerusakan yang sebaik prana yang telah menyatu dengan elemen alam. Akan tetapi, jika kita dapat memanfaatkannya dengan baik maka keefektifan penggunaan sihir akan lebih baik daripada penyihir atribut yang terkesan cukup boros."

"Eehh... aku memang merasakannya kalau penggunaan prana terlalu boros saat aku menggunakan sihir, tapi untuk tak berartribut aku tak pernah mendengar hal seperti itu."

"Yah, beberapa buku tidak akan membagikan sesuatu yang tidak penting. Mereka hanya membagikan dasarnya, tinggal bagaimana kau mengembangkannya."

"Aku... mengembangkan apiku..."

Miu tertunduk memikirkannya lagi. Seharusnya jika Reita mampu, dirinya juga dapat melakukan sesuatu dengan api miliknya.

Merasa perubahan suasana di sekitar mereka, Reita mencoba mengalihkan pembicaraan mereka.

"Meski begitu, sebelumnya aku melihatmu bertarung. Rasanya kau seperti berusaha menahan diri untuk menggunakan sihir. Apa aku benar?"

Dari pertanyaan Reita, Miu berhenti melangkah. Dia terdiam sesaat lalu tersenyum tanpa alasan pada Reita saat lelaki itu memandangnya dengan tanya.

Sesaat Reita memikirkan apa yang dilakukan gadis itu, namun melalui pandangan matanya Reita segera menyadarinya.

"Hentikan. Aku tak suka melihatmu memaksakan dirimu."

Terbungkam, Miu memiliki tatapan mata yang sayu. Reita tak mengetahui apa yang terjadi, tapi dia tau ini melibatkan perasaan gadis itu.

"Maaf, apa aku menyinggung sesuatu?"

"Eum* Tidak ada. Maaf, tapi aku akan kembali lebih dulu." (*menggeleng)

Tanpa mengucapkan sepatah kata lagi, Miu meninggalkan tempat itu dengan berlari, tujuannya adalah asrama akademi.

"Gadis itu..."

Sesuatu pasti terjadi padanya. Reita tak bisa hanya diam memandang punggung gadis itu menjauh.

Melihatnya seperti itu hati Reita tergerak untuk membantunya.

"Tapi tetap saja bagaimana caraku untuk membantunya?"

Tanpa sadar Reita menghela napas panjang.

★★★

Malam menjelang waktu tidur mereka, Reita berpikir dirinya akan tertidur. Namun memandang ranjang di seberang miliknya, dia mengurungkan niatnya.

"Aku tau kau bangun. Setiap malam aku tau kau selalu meninggalkan tempat tidurmu."

Itulah yang Reita rasakan selama ini.

Sejak pertama bertemu dengan Miu, gadis itu menghampirinya dan mengatakan akan menjadi patnernya. Karena begitu tiba-tiba Reita tak bisa melakukan apapun selain berkata iya.

Karena tak ingin begitu banyak berurusan dengannya Reita selalu tertidur lebih dulu. Namun setelah Miu resmi menjadi patnernya, terkadang tiap malam Reita merasakan suara berasal dari seberangnya. Reita yakin Miu terbangun saat itu untuk melakukan sesuatu.

"..."

Bahkan saat ini Reita sedikit cemas karena Miu justru mengabaikannya. Reita mulai tersadar akan posisinya.

"Tak apa-apa jika kau tak ingin membicarakannya. Sebagai patnermu aku hanya berusaha untuk membantu. Dan... aku sadar, aku ini orang baru untukmu. Sudah sepantasnya kau mencurigaiku."

Reita ingat dia bukan siapa-siapa selain patner. Ada kemungkinan setelah lulus mereka akan menjadi sebatas teman satu angkatan.

Menyimpan rahasia sudah sepantasnya dimiliki seseorang. Entah itu hal kecil atau bukan, seseorang tetap tidak ingin orang lain mengetahuinya.

Berharap hubungan mereka tidak memburuk karena ini, Reita akan segera tidur sebelum akhirnya dia mendengar Miu bersuara.

Suara yang begitu mungil dan lirih. Jika saja saat itu bukan malam yang tenang, mungkin Reita tak akan dapat mendengarnya.

"Andaikan... aku memberitahukanmu... kau tak akan meninggalkan sisiku kan?"

Tak yakin apa yang didengarnya, Reita bangkit menarik kursi lalu duduk tak jauh dari ranjang Miu.

"Untuk apa aku meninggalkanmu. Justru jika ada kau lah yang meninggalkan aku. Lagipula aku non-atribut."

"Rei tidaklah lemah. Kau masih memiliki kekuatan untuk tetap berdiri meski kau tak berdaya."

"Kenapa kau mengatakan hal itu?"

Miu bangkit dari posisi tidurnya, namun wajahnya masih enggan berpaling padanya.

"Karena aku... sangat ingin menjadi sepertimu, Rei."