Sesaat, Fenger tidak tahu harus pasang mimik terkejut, tak percaya, histeris, acuh tak acuh atau bahkan tertawa. Bola mata abu-abunya semakin lama semakin membesar. Lalu, perlahan tapi pasti, ia mengalihkan wajah bulat telurnya ke arah Hanhe, Aku percaya kau seorang inventor muda yang jenius, tapi, yah... kau tidak sedang melucu atau apa, kan...
Terserah apa katamu. Pokoknya, aku memang telah menciptakan mesin waktu, dan sudah hampir jadi pula!
Stop, Hanhe! Perutku sudah hampir meledak, kata-katamu selanjutnya bisa membuatku benar-benar meletus!
Kali ini giliran Hanhe yang merajuk. Fine! Kau tidak mau percaya, itu urusanmu! Asal kau tahu, mesin waktuku ini cuma kurang control areanya saja. Kalau control areanya sudah jadi, kau pasti akan menyesal karena...
Belum selesai Hanhe berultimaltum, Fenger sudah asyik tertawa terbahak-bahak.
Aduh, aduh, aduuuh, Hanhe, tolong hentikan leluconmu itu. Aku...
MENERTAWAKANKU, BRENGSEK!!! teriak Hanhe kesal. Cowok itu rupanya sudah benar-benar tak tahan dengan sikap temannya yang, bukannya mempercayainya atau paling tidak, tidak menghinanya terang-terangan, namun malah menertawakannya habis-habisan. Lalu, dengan teramat emosi, pemuda itu menggebrak meja dengan energi yang tidak setengah-setengah, cukup dashyat untuk membuat guru pengawas perpustakaan memaki dari jauh, HEI, NAK, TAHU ATURAN TIDAK?! Di sini PERPUSTAKAAN, bukan PASAR!!!
Hanhe terdiam,nampak jelas ia sangat shock ketika mendengar teriakan bombaster sang guru. Seumur hidupnya baru sekali ia ditegur guru, dan kala pertama ia ditegur pun juga tak sekeras ini. Karenanya ia menjadi sangat ketakutan. Tapi jangan langsung mengatakan Hanhe itu seorang penakut, sebab suara guru itu memang keras sekali, bak guntur menggelegar di tengah hujan badai. Sampai-sampai, karena suara guntur tadi seorang siswi yang tengah merasuk ke alam sebuah novel cengeng, langsung terjatuh ke alam nyata, dan saking kagetnya, ia langsung terjatuh betulan.
Sang guru rupanya juga menyadari bahwa suaranya memang sudah melewati ambang batas (atau lebih tepatnya, terpaksa menyadari, setelah mata semua orang yang shock tertuju garang padanya), karenanya ia lantas mendehem-dehem dan pura-pura membaca buku lagi.
Bel berdering. Semua anak, sebagian besar dengan ogah-ogahan, meninggalkan perpustakaan. Begitu juga dengan Hanhe dan Fenger. Mereka segera menuju ke kelas masing-masing.
Eeh... Hanhe, maaf, tadi aku tak bermaksud menyinggungmu, tetapi aku benar-benar beranggapan bahwa sampai kapanpun mesin waktu tak akan pernah bisa dibuat karena hanya merupakan khayalan semata. Aku tak menyangka kau ternyata bisa membuatnya, kata Fenger, nada suaranya terdengar sangat menyesal.
Hanhe tidak menyahut, tidak juga berpaling ke arah Fenger.
Aku sungguh-sungguh minta maaf Hanhe. Aku tidak mengira kau serius.
Masih tetap tidak ada jawaban.
Ehm... aku mengaku salah, deh, Fenger menelan ludah. Melihat bahwa permintaan maafnya masih tidak digubris, Fenger tidak menyerah. Ia tetap berusaha memancing pembicaraan. Eh, ngomong-ngomong, pamanku akan berkunjung ke rumahmu, dan dia sekalian mengajakku ikut. Saat itu, bisakah kau perlihatkan padaku, seperti apa mesin waktumu? Sebisa mungkin Fenger menyelipkan nada membujuk dan nada aku bersalah dalam kata-katanya, mengingat bukan hanya wajah Hanhe yang kekanakan, tapi juga sifatnya.
Nanti sore aku tidak ada di rumah. Aku harus belajar kelompok di rumah Han Fei, akhirnya Hanhe menjawab, walaupun nada suaranya masih terdengar ketus. Tapi kalau kau mau, dan percaya, aku akan membawanya ke sekolah besok.
Betulkah? Kau mau membawanya? Asyik!!! seru Fenger girang, bukan hanya karena ia berhasil berdamai dengan Hanhe, tapi juga karena dapat menyaksikan mesin waktu yang nyata merupakan suatu kebanggan tersendiri.
Asal kau tidak mengolok-olokku seperti tadi, aku bawakan!
Oke, bos! Aku janji!
***
Waktu berjalan lambat sekali, begitu yang dipikirkan Hanhe. Ia sudah ingin sekali pulang ke rumahnya dan mengutak-atik control area mesin waktunya. Tinggal itu saja masalah yang harus dipecahkannya. Dan itu bukan soal mudah, sebab control area ini adalah bagian terpenting sekaligus tersulit dari proyeknya. Di sini, yang dimaksud dengan control area adalah salah satu bagian yang digunakan untuk mengatur tujuan dalam perjalanan ruang waktu. Penyampai pesan dari sang pemakai yang bertugas meneruskan pesan itu kepada time-space navigator, yang juga merupakan salah satu subarea mesin waktu tersebut, untuk diolah lebih lanjut.
Jadi, tanpa bantuan control area, time space navigator tidak akan mampu memahami keinginan pemakainya. Ia malah akan menggunakan keinginannya sendiri, yang memberi kita kemungkinan 0,000001% untuk masuk ke waktu ataupun tempat yang sesuai keinginan kita.
Jadi mana mungkin ia berani mendaftarkan mesin waktu yang berbahaya seperti itu. Manapula kompetisi internasional itu akan diadakan tiga bulan lagi. Memang, masih banyak waktu, tapi memperbaiki control area kan tidak semudah mendapat nilai matematika sepuluh. Ia mengeluh kesal dalam hati, Duuuh... aku... benar-benar harus melakukan sesuatu... secepatnya... sekarang juga! Mumpung aku sedang punya mood yang bagus untuk menyelesaikannya.
Ia melirik jam tangannya sekilas. Brengsek, aku masih harus mengikuti pelajaran membosankan ini setengah jam lagi, gerutunya tak sabar. Tiba-tiba ia merasa pusing sekali. Posisi duduknya mulai merunduk, sementara volume suara sang guru semakin lama terdengar semakin mengecil di telinganya. Pelan-pelan pemandangan sekitarnya mengabur, digantikan dengan pemandangan lain yang tak pernah ia lihat sebelumnya.
Belum pernah ia melihat warna matahari yang semerah ini, nyaris terlihat seperti darah. Dan belum pernah pula ia merasakan pemandangan semenyedihkan ini. Tidak, bukan pemandangannya yang menyedihkan, tapi apa yang ia rasakan sekaranglah yang menyedihkan.
Lho! mengapa ia perlu merasa sedih, tanya sebuah suara dalam hatinya. Tak ada yang perlu di risaukan, tak ada yang perlu dia tangisi.
Tidak! Bantah suara lainnya. Ada yang perlu ia risaukan, itu dia, putri di dalam tandu itu. Tidakkah kau lihat?
Mengikuti suara hatinya, Hanhe mengalihkan pandangan ke arah sebuah tandu besar bertabur emas dan permata, membuatnya tampak amat menyilaukan. Puluhan, atau bahkan ratusan orang, pria dan wanita, mengelilingi tandu itu. Semuanya berpakaian amat santun dan rapi, dan jenis pakaian mereka dan yang juga dia kenakan sekarang membuat dirinya bertanya, di mana ini...
Tidak ada yang menjawab. Rupanya suara hatinya sendiri juga tidak tahu mengapa dirinya serta orang-orang itu harus berpakaian ala zaman dahulu.
Sesaat ia mengira sedang bermimpi. Tapi mengapa semua ini terasa nyata? Amat sangat nyata malah, termasuk pula semua kesedihan yang seakan-akan sibuk mengiris-iris setiap sel tubuhnya, setiap sel DNAnya seolah dipisah-pisahkan satu sama lain, membentuk kekosongan baru dari pikirannya yang, entah kenapa terasa hampa.
Kenapa aku ini?... Kenapa aku harus merasa sesedih ini?
Perlahan, suara hatinya berbisik, putri dalam tandu itu...
Putri? Hanhe semakin bingung. Benarkah ada seorang putri di dalamnya?
Seakan menjawab pertanyaan Hanhe, dari dalam tandu muncul sosok seorang gadis berambut panjang yang disanggul berbentuk kupu-kupu serta memakai jubah mewah gemerlapan. Namun sekalipun seluruh tubuhnya diselimuti emas dan permata, sang gadis tidak tampak bahagia. Ia terlihat sangat murung dan sedih, terlebih lagi ketika ia menoleh pada Hanhe. Pemuda itu kontan merasa tubuhnya disusupi rasa perih yang amat sangat dan juga dialiri arus listrik yang menyengat dalam waktu bersamaan.
Gadis itu, Hanhe ingin berteriak, namun suaranya seakan tersangkut dalam tenggorokan. Tidak mungkin dia!
"Lin Hanhe, kau berani tidur di saat pelajaranku?!?"
Hanhe tersentak. Gelagapan, ia mengerjap-kerjapkan bola matanya yang kontan menangkap bayangan seorang wanita tinggi kurus serta berkacamata, yang tak lain adalah guru bahasanya Bu Guru Zhou, yang juga terkenal sebagai guru paling killer di seluruh sekolah. Hanhe merasakan seluruh tubuhnya gemetaran hebat. "Ma...maafkan saya, Bu... saya hanya..."
"Kau selalu mendapat nilai buruk dalam pelajaran bahasa, dan di setiap pelajaran kerjamu hanya melamun terus... jangan memandangku dengan sorot mata seperti itu, hanya orang bodoh yang tidak tahu kau tidak pernah menyimak pelajaranku!" Bu Guru Zhou menarik nafas, melanjutkan, "Kamu sendiri yang lebih dulu mencari penyakit, maka jangan salahkan saya memberi hukuman ini..."
Tiba-tiba saja Hanhe dapat merasakan bencana yang jauh lebih mengerikan dari Kiamat Bumi akan mencelakainya sebentar lagi.
"Hafalkan seluruh puisi kuno dalam buku ini, dan perdengarkan pada saya di depan kelas besok!"
Shock berat, tanpa sadar Hanhe berteriak,"Jangan,Bu!!!..."