Keesokan harinya, Bara pergi bersama Pak Haryo menuju kantor Rudolf, pengacara yang ditunjuk Pak Haryo untuk mengurus aset peninggalan orang tua Bara. Pak Haryo tidak memberitahu Bara bahwa kedatangan mereka ke kantor Rudolf untuk melakukan serah terima kepemilikan aset dari orang tua Bara menjadi milik Bara.
Dalam perjalanan Pak Haryo membahas keributan yang sempat terjadi ketika test kedua berlangsung. Pada malam sebelumnya, Pak Haryo sudah menerima laporan tentang keributan yang terjadi pada saat test kedua akan dilangsungkan. Namun dia mengurungkan niatnya untuk bertanya lebih lanjut pada Bara, dirinya melihat Bara sudah tampak lelah ketika sampai di rumah.
"Saya dengar kemarin sempat ada keributan sebelum test kedua dimulai," Pak Haryo memulai pembicaraan untuk membahas keributan di ruang test kemarin.
"Sedikit," sahut Bara.
"Kamu kenal sama orang yang bikin keributan?" Tanya Pak Haryo.
"Ngga, saya cuma ketemu dia sekali di toilet."
"Kalian sempat kenalan?"
"Sempat ngobrol sedikit, gara-gara ngobrol sedikit kita malah jadi hampir ribut di kamar mandi."
Pak Haryo mengerutkan keningnya ketika mendengar Bara hampir terlibat keributan.
"Sekarang kamu punya hobi bikin keributan rupanya," sindir Pak Haryo.
"Bukan saya yang mulai, dia yang ngga terima sama omongan saya."
"Memangnya kamu ngomong apa sama dia?"
"Saya cuma bilang, dia ngga yakin sama kemampuannya sendiri, sampai-sampai keikutsertaan saya di test jadi dipermasalahin sama dia. Saya ngga nyangka kalau dia bakal sampai bikin keributan di ruang test."
"Tapi kamu ngga kasih tahu ke dia kalau kamu itu siapa, kan?"
"Awalnya saya ngga ngasih tahu, tapi sebelum saya keluar dari kamar mandi secara ngga langsung saya kasih tahu siapa saya," aku Bara.
"Saya akui dia punya nyali yang bagus." Pak haryo mengakui nyali pemuda yang berani membuat keributan di ruang test.
Pak Haryo kemudian terdiam sejenak.
"Bara,, saya tiba-tiba kepikiran sesuatu," seru Pak Haryo.
Bara menoleh heran pada Pak Haryo.
"Seandainya kamu ikut test itu sebagai peserta biasa, apa kamu berani buat keributan seperti dia?"
Bara berpikir sejenak. "seberani apa pun saya, saya ngga bakal bikin keributan di tempat test saya melamar kerja. Saya bisa kehilangan kesempatan saya buat diterima, kecuali--" Bara terdiam dan memikirkan masak-masak apa yang hendak ia katakan.
"Kecuali?" Pak Haryo memancing Bara untuk melanjutkan ucapannya.
"Kecuali saya punya orang dalam yang cukup berpengaruh dan bisa menjamin saya untuk tetap diterima." Bara menyelesaikan ucapannya.
Pak Haryo mengangguk setuju setelah mendengar ucapan Bara.
"Itu juga yang saya pikirkan barusan, kalau begitu saya akan segera minta orang untuk menyelidiki latar belakangnya, saya tidak akan biarkan dia diterima di perusahaan," ucap Pak Haryo yakin.
Bara berpikir sejenak.
"Biarin aja dia diterima," ujar Bara.
"Maksud kamu, kita harus membiarkan biang onar seperti itu bergabung di perusahaan?"
"Kita harus tahu kan, siapa orang di belakang dia sampai dia berani berulah seperti itu." Bara menaikkan salah satu alisnya sambil menatap Pak Haryo yakin.
Pak Haryo menepuk bahu Bara. Ia setuju dengan apa yang dipikirkan Bara.
"Saya cuma perlu sedikit bantuan dari Eyang."
"Bantuan apa yang kamu perlukan?"
"Kalau memang orang itu dijamin oleh seseorang, saya mau Eyang juga menjamin saya," pinta Bara. "kalau perlu, tempatkan kami berdua di tempat yang sama, supaya saya bisa lebih mudah mengetahui motifnya dan siapa yang ada dibelakangnya." Bara melanjutkan kata-katanya.
"Cuma itu yang kamu perlukan?"
Bara mengangguk.
"Baiklah, saya akan atur itu."
Bara menggangguk dan tersenyum kemudian mengalihkan pandangannya pada jalanan di luar. Di dalam hatinya Bara merasa permainan yang sesungguhnya akan dimulai. Orang-orang dibalik misteri kecelakaan orang tuanya dan orang-orang yang sangat ingin menyingkirkannya pasti saat ini sedang menyusun strategi untuk kembali menyingkirkannya. Bara menguatkan hatinya bahwa dia akan melakukan apa pun untuk membuktikan pada orang-orang itu bahwa kali ini dirinya tidak akan dengan mudah untuk dikalahkan.
Pak Haryo menoleh ke arah Bara yang sedang melihat keluar jendela mobil. "Perlahan kamu mulai menunjukkan siapa kamu sebenarnya, tunjukkan pada mereka bahwa kamu lawan yang tangguh," batinnya.
----
Tanpa terasa mobil yang mereka tumpangi sudah tiba di halaman kantor Rudolf. Bara melihat sekeliling kantor Rudolf begitu keluar dari mobil. Kantor Rudolf berupa rumah besar bergaya minimalis dengan sedikit sentuhan nuansa ala bali.
"Ini kantornya, rumahnya dia tepat di seberang." Pak Haryo mencoba memberi penjelasan pada Bara.
Bara mengalihkan perhatiannya pada rumah bergaya klasik tepat di seberang kantor tersebut.
"Ayo kita masuk," ajak Pak Haryo.
Bara mengikuti Pak Haryo untuk masuk ke dalam kantor Rudolf.
"Selamat pagi, Pak." Seorang Resepsionis menyapa Pak Haryo dengan ramah.
Pak Haryo membalasnya dengan tersenyum ramah.
"Rudolf sudah di kantor atau masih di rumah?" Tanya Pak Haryo.
"Bapak sudah ditunggu, mari pak," jawab Resepsionis itu ramah kemudian membimbing Pak Haryo untuk ke ruangan Rudolf. Bara kembali mengekor dibelakang Pak Haryo.
Begitu Resepsionis tersebut membuka pintu ruangan Rudolf, Rudolf langsung menyambut Pak Haryo. Rudolf menyalami Pak Haryo, kemudian bergantian menyalami Bara.
"Gimana Mas Bara? sudah siap?" Tanya Rudolf ketika menyalami Bara.
Bara bingung dengan maksud pertanyaan Rudolf. "Siap apa, pak?"
"Siap menjadi incaran gadis-gadis," jawab Rudolf sembari tertawa.
"Dia sudah punya pacar." Pak Haryo menimpali dengan santai.
"Wah, saya pikir masih jomblo." Rudolf kembali tertawa.
"Sudah, sudah, nanti saja bahas pacarnya. Semuanya sudah siap, kan?" Tanya Pak Haryo.
"Mari, kita duduk dulu, saya ambilkan berkasnya," ucap Rudolf.
Pak Haryo dan Bara segera duduk di sofa yang ada di ruangan Rudolf, sementara Rudolf tampak mengambil sebuah map kulit berwarna hitam dari meja kerjanya. Rudolf kemudian membawa map tersebut ke hadapan Pak Haryo dan Bara.
"Saat ini seluruh aset peninggalan orang tua Mas Bara, sudah beralih kepemilikan atas nama Mas Bara." Rudolf membuka map kulit hitam yang ia bawa di hadapan Pak Haryo dan Bara.
Pada bagian depan map tertulis surat keputusan pengadilan tentang hak ahli waris. Berikutnya rudolf menunjukkan bukti legalitas pengalihan kepemilikan aset-aset tersebut yang sudah disetujui oleh notaris dan pengadilan.
Bara tidak bisa berkata-kata ketika melihat sertifikat-sertifikat kepemilikan yang sedang ditunjukkan rudolf padanya.
"Anggap ini hadiah ulang tahun dari orang tuamu, gunakan sebaik-baiknya," ucap Pak Haryo.
"Hah, ulang tahun?" Tanya Bara keheranan.
"Ya, hari ini ulang tahun kamu."
Bara semakin terkejut ketika mengetahui bahwa hari ini adalah hari ulang tahunnya. Selama ini dirinya menganggap bahwa ulang tahunnya adalah tanggal satu januari karena istri Pak Ardan selalu membuatkan kue spesial untuknya setiap tanggal satu januari. Bara tidak menyangka bahwa hari ini adalah tanggal ulang tahunnya. Bara melihat tanggal pada jam tangannya yang menunjukkan tanggal dua desember.
"Selamat ulang tahun Mas Bara. Boleh dong saya minta ditraktir," canda Rudolf.
Bara hanya tertawa kikuk mendengar candaan rudolf. Dirinya masih terkejut dengan kenyataan tentang hari ulang tahunnya.
****
Sementara itu di kantor, seperti yang biasa dilakukan Pak Angga sebelum mengecek pekerjaannya yang lain, Pak Angga terlebih dahulu membaca laporan saham perusahaan. Betapa terkejutnya dia ketika melihat nama Mahesa dan Rania sudah menghilang dari daftar pemilik saham dan berganti menjadi nama Bara. Nama Bara begitu menyita perhatiannya karena porsi saham yang dimiliki Bara cukup besar karena merupakan penggabungan dari saham milik kedua orang tuanya.
"Sial!" Pak Angga menutup layar komputer tangannya dengan kencang.
"Itu artinya dia memiliki suara dalam pemilihan CEO yang baru," batin Pak Angga.
Pak Angga mengeluarkan ponselnya dan segera menghubungi Damar.
"Damar, kalau kamu ada waktu, nanti siang Eyang mau bicara," ujarnya ketika Damar menjawab panggilan telponnya.
"Oh begitu, kalau begitu Eyang tunggu kamu nanti malam di rumah. Ada yang perlu kita bicarakan." Pak angga segera mematikan telponnya.
"Sepertinya permainan ini akan semakin sulit." Pak Angga memainkan jarinya pada tetikus komputer tangannya.
"Kita lihat saja, sejauh mana kamu bisa mempertahankan semuanya." Pak angga memandangi nama Bara pada layar monitornya dengan tatapan dingin.
****
Selesai dari kantor Rudolf, Pak Haryo mengajak Bara untuk melihat rumah peninggalan kedua orang tuanya. Rumah peninggalan orang tuanya berada di kawasan Kemang. Rumahnya tidak terlalu besar namun tampak asri. Sebelum memasuki rumah, dari pintu gerbang mereka harus melalui jalan yang di kanan kirinya diapit oleh taman gantung. Rumah utamanya sendiri sedikit mengingatkan Bara dengan rumah milik Pak Haryo, namun dalam versi yang sedikit lebih kecil. Seorang Asisten rumah tangga yang sudah kelihatan sepuh menyambut mereka berdua.
"Akhirnya Mas Bara mampir ke sini, saya senang sekali waktu dengar Mas sudah kembali," sapanya penuh haru sambil menggenggam lengan Bara.
Bara hanya bisa tersenyum canggung.
"Mari masuk Mas," ajak Asisten rumah tangga tersebut sambil menggandeng Bara untuk masuk ke dalam rumah.
Bara menatap Pak Haryo yang berada di sampingnya. Pak Haryo memberikan isyarat agar Bara mengikuti Asisten rumah tangga itu.
"Simbok berusaha menjaga rumah ini tetap sama seperti dulu," terang Asisten rumah tangganya.
Bara menatap sekeliling bagian dalam rumah peninggalan orang tuanya. Pandangan Bara tertuju pada salah satu tembok terdapat kumpulan foto-foto yang dibingkai cantik.
"Simbok permisi dulu, mungkin Mas Bara mau berkeliling dulu,"
Bara mengangguk sambil tersenyum pada Simbok, Simbok kemudian pergi meninggalkan Pak Haryo dan Bara. Bara menghampiri tembok yang penuh dengan bingkai foto untuk melihat foto-foto tersebut dari dekat. Pak Haryo mengikuti Bara. Ternyata itu adalah foto-foto dirinya dan kedua orang tuanya. Bara memandangi foto-foto itu satu persatu. Semakin ia memandangi foto-foto tersebut kepalanya tiba-tiba menjadi pening. Kilatan-kilatan bayangan masa lalu muncul di kepalanya. Bara memejamkan matanya. Kepalanya semakin terasa berat. Bara segera mencari sandaran untuk berpegangan.
Dengan sigap Pak Haryo memegangi lengan Bara. "Kamu baik-baik saja?"
Bara mengganguk sambil tetap memejamkan matanya.
"Kamu yakin?" Pak Haryo kembali bertanya.
Bara mulai membuka matanya dan menengadah melihat ke atas kemudian menoleh ke arah Pak Haryo.
"Saya ngga apa-apa," jawab Bara pelan.
"Saya boleh lihat-lihat ke atas?" Tanya Bara.
"Tentu saja boleh. Ini, kan, rumah kamu," jawab Pak Haryo.
"Kalau gitu saya ke atas dulu."
Bara kemudian berjalan menaiki tangga menuju lantai dua rumahnya. Sementara Pak Haryo berjalan menuju ruang keluarga. Setibanya di ruang keluarga, Pak Haryo langsung menghubungi Kimmy.
"Gimana persiapannya, Kim?" Tanya Pak Haryo ketika Kimmy menjawab telponnya.
"Kamu harus membuatnya semirip mungkin dengan perayaan ulang tahun Bara yang terakhir."
"Eyang percayakan sama kamu."
Pak Haryo kemudian mematikan sambungan telponnya dengan Kimmy.
Simbok kembali dengan membawa baki berisi dua cangkir minuman.
"Saya sengaja buatkan minuman kesukaan Mas Bara waktu kecil, semoga ingatannya bisa segera pulih," ujar Simbok ketika menyorongkan minuman pada Pak Haryo.
"Terima kasih, kamu sudah menjaga rumah ini dengan baik," sahut Pak Haryo.
"Memang itu sudah tugas saya, Pak."
Bara kembali setelah berkeliling di lantai dua rumah orang tuanya dan segera bergabung bersama Pak Haryo dan Simbok yang merawat rumah orang tuanya.
"Silahkan diminum, Mas. Dulu Mas Bara suka sekali minum ini," seru Simbok seraya menyorongkan cangkir berisi minuman untuk Bara.
Bara mengambil cangkirnya dan langsung meminumnya.
"Gimana, Mas Bara masih suka sama minuman ini?" Tanya Simbok yang tidak sabar menunggu reaksi bara.
"Rasanya familiar," komentar Bara.
"Mulu, Mas sama Ibu kalau lagi berdua selalu minum teh chamomile," terang Simbok.
Bara kembali menyesap teh chamomile miliknya.
"Kita ngga lama-lama di sini, cuma mampir sebentar," sela pak haryo.
"Kenapa cuma sebentar, toh, Pak. Padahal saya pengen cerita-cerita sama Mas Bara."
"Nanti, kapan-kapan saya ke sini lagi Mbok," sahut Bara cepat.
"Kalau Mas Bara sudah ngomong begitu, Simbok bisa apa. Simbok tunggu kedatangannya lagi dirumah ini," ucap Simbok pasrah.
"Iya, Mbok. Pasti saya akan ke sini lagi," ujar Bara.
"Yasudah kalau begitu, kita langsung pergi lagi." Pak haryo bangkit berdiri.
Simbok dan Bara pun ikut berdiri. Simbok kemudian mengantar keduanya sampai masuk ke dalam mobil. Bara menurunkan kaca jendelanya dan tersenyum pada Simbok sambil melambaikan tangannya. Setelah mobil yang mereka tumpangi keluar dari pekarangan rumah orang tuanya, Bara segera merebahkan kepalanya pada sandaran kursi. Bara sebenarnya ingin lebih lama tinggal, namun sakit kepalanya semakin menjadi setelah dia berkeliling di lantai dua rumah tersebut.
"Kita langsung kerumah saja, Pak," perintah Pak Haryo pada supirnya. Pak haryo membiarkan Bara terpejam di sebelahnya. Mampir ke rumah peninggalan orang tua Bara merupakan bagian dari rencana Pak Haryo untuk membantu Bara mengembalikan ingatannya yang hilang. Melihat dari sikap Bara, Pak Haryo menebak sepertinya Bara mengingat sesuatu ketika berada di rumah tersebut.
****
Setibanya di rumah Pak Haryo, Kimmy menyambut Bara dengan membawa sebuah cake coklat sambil menyanyikan lagu happy birthday.
"Happy birthday, Bara!" Seru Kimmy antusias. "cepat tiup lilinnya." Kimmy menyuruh Bara untuk segera meniup lilin ulang tahunnya.
"Jangan lupa make a wish dulu." Kimmy melanjutkan.
Bara memejamkan matanya sejenak, kemudian kembali membukanya dan segera meniup lilin ulang tahunnya. Setelah Bara meniup lilin ulang tahunnya, Kimmy menyerahkan kue tersebut kepada salah seorang Asisten rumah tangga untuk selanjutnya dibawa menuju tempat makan yang sudah ditata dipinggir kolam renang.
Kimmy segera memeluk Bara erat.
"Akhirnya tahun ini kita bisa merayakan ulang tahun lu," bisik kimmy di telinga Bara.
"Thanks, Kim." Bara balas memeluk Kimmy.
Bara dan Kimmy kemudian melepaskan pelukannya. Bara beralih memeluk Pak Haryo. "Terima kasih, Eyang." Bara mengingat usaha yang dilakukan pak haryo selama ini untuk menemukan dirinya. Pak haryo membalasnya dengan menepuk-nepuk punggung bara.
"Udah-udah, sekarang bukan waktunya buat sedih-sedihan," goda Kimmy.
Pak Haryo dan Bara segera melepaskan pelukannya.
"Yuk kita makan, gue udah laper nih." Kimmy segera menggandeng Pak Haryo dan Bara menuju meja makan yang sudah ditata dipinggir kolam renang.
Melihat meja makan yang sudah ditata sedemikian rupa, membuat Bara seperti pernah melihat hal yang sama sebelumnya. Mereka bertiga duduk di meja makan yang sudah disiapkan.
"Kaya deja vu," ucap Bara pelan.
"Bukan deja vu, gue sengaja bikin ini semirip mungkin dengan acara makan-makan ulang tahun lu yang terakhir," terang Kimmy.
"Sudah, jangan kebanyakan mikir, mikirnya nanti saja setelah makan," sela Pak Haryo.
Mereka bertiga akhirnya menikmati makan malam sambil mengobrol ringan. Pak Haryo dan Kimmy bergantian bercerita tentang momen-momen saat perayaan ulang tahun Bara sebelum-sebelumnya.
"Oh ya, masih ada satu lagi kejutan," ujar Kimmy kembali antusias.
"Kayanya hari ini gue udah dapat banyak banget kejutan, kejutan apa lagi?" Tanya Bara.
"Ini." Kimmy menepuk tangannya. Dan bertepatan dengan itu sebuah kembang api meledak di udara.
Tubuh bara seketika menegang ketika mendengar suara ledakan kembang api. Tanpa sadar Bara menjatuhkan sendoknya. Kimmy dan Pak Haryo antusias melihat keindahan kembang api di udara. Sementara Bara mulai merasa dadanya semakin sesak tiap kali kembang api itu meledak di udara.
"Kamu dulu suka sekali melihat kembang api, makanya setiap kamu ulang tahun, pasti ada kembang api," terang Pak Haryo sambil tersenyum dan menoleh pada Bara. Senyum Pak Haryo langsung pudar ketika melihat ekspresi Bara yang seperti orang ketakutan.
"Kimmy, suruh mereka matikan," perintah Pak Haryo.
"Ini lagi seru Eyang," sahut Kimmy tanpa menoleh pada Pak Haryo dan Bara.
"Saya bilang cepat matikan," teriak Pak Haryo.
"Bara juga suka, kenapa harus dimatikan?" Kimmy menoleh dan melihat Pak Haryo yang sedang memegangi Bara yang terlihat sedang kesulitan bernapas. Kimmy segera meraih ponselnya dan segera meminta orang suruhannya untuk berhenti menembakkan kembang api ke udara.
Bara terengah-engah dan mencoba fokus untuk mengatur napasnya ketika sudah tidak terdengar lagi suara ledakan kembang api. Setelah berhasil mengendalikan dirinya, Bara langsung beranjak dari meja makan dan segera menuju kamarnya tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Kimmy berusaha menyusul Bara, namun Pak Haryo segera menahannya.
"Biarkan dia tenang dulu," ujar Pak Haryo.
Kimmy menuruti kata-kata pak haryo.
Hari ini benar-benar penuh kejutan bagi Bara. Namun kejutannya yang terakhir membuatnya harus merasakan kembali pengalaman yang sangat menakutkan dalam hidupnya.
****