Bara pergi mengunjungi tempat praktek seorang Psikiater yang direkomendasikan oleh Dokter Seno. Tempat praktek dokter tersebut berada di kawasan Menteng. Suasana asri begitu kental terasa karena banyak pohon-pohon tinggi disekitar klinik tersebut. Bangunan kliniknya sendiri merupakan rumah dengan gaya kolonial yang sangat menyatu dengan lingkungan sekitarnya. Bara masuk kedalam klinik tersebut dan segera menuju bagian informasi. Seorang petugas wanita menyambut dengan ramah.
"Saya mau bertemu Dokter Adjie," ujar Bara pada petugas wanita yang menyambutnya.
"Sebelumnya sudah telpon?" tanyanya ramah.
"Sudah."
"Sebentar saya cek terlebih dahulu, dengan siapa namanya?"
"Bara."
Petugas tersebut kemudian mengetikkan sesuatu pada komputernya.
"Oh ya, Bara Aditya Pradana, betul?" ujar petugas wanita itu setelah menemukan nama bara pada daftar pasien Dokter Adjie.
"Iya."
"Kalau begitu silahkan diisi dulu formulirnya," petugas itu menyerahkan formulir data diri pasien untuk diisi oleh bara.
"Pembayarannya mandiri atau asuransi?" tanyanya kembali.
"Mandiri," jawab bara sambil mengisi formulir yang diberikan.
Tidak berapa lama, bara mengembalikan formulir tersebut pada petugas yang melayaninya. Petugas selanjutnya mengisikan data pribadi yang sudah bara isi didalam formulir kedalam data pasien. Tidak berapa lama petugas itu memberikan sebuah kartu pasien pada bara.
"Selanjutnya bisa langsung ke bagian pembayaran, setelah itu nanti akan memperoleh nomor antrian lagi," terang petugas wanita tersebut.
"Oke, terima kasih," bara menerima kartu pasien dan tagihan yang harus dibayarkan pada bagian kasir.
Bara melihat nominal yang tertera pada tagihannya.
"Mahal juga biaya konsultasinya," batin Bara.
Bara segera membayarkan tagihannya pada bagian kasir. Setelah membayarnya, Bara segera menuju ruang tunggu tempat Dokter Adjie praktek. Hanya ada satu orang yang juga terlihat sedang menunggu di ruang tunggu tersebut. Ruang tunggunya sangat nyaman dengan sofa-sofa empuk yang ditata sedemikan rupa. Diruang tunggu itu juga disediakan televisi dan mesin penjual minuman otomatis. Bara mendekati mesin penjual minuman itu dan memasukkan uang lembaran sepuluh ribu untuk membeli minuman dingin. Setelah mendapat minuman yang dia inginkan, bara duduk diruang tunggu sambil menikmati minumannya dan menunggu giliran dirinya untuk dipanggil. Sesekali bara memainkan ponselnya untuk mengusir rasa jenuh ketika sedang menunggu gilirannya. Bara iseng mengirim pesan pada Raya.
"Sibuk Ray?" tulis Bara.
Tidak berapa lama, Raya membalas pesan yang dikirimkan oleh Bara.
"Ya lumayan, kalau ngga ada kerjaan nanti dibilang makan gaji buta."
"Nanti lu pulang tenggo?"
"Kayanya sih gue mau tenggo, bosen lembur terus, kenapa emangnya?"
"Makan diluar yuk," Bara mengirimkan pesan ajakan makan pada Raya.
Perlu beberapa saat sampai akhirnya Raya membalas pesan ajakan makan dari Bara, "Oke, dimana?"
"Terserah lu aja, nanti gue jemput," balas Bara.
"Sipp," balas Raya disertai dengan emoticon berbentuk acungan jempol.
Tanpa sadar senyum Bara terkembang. Selepas konsultasi dirinya akan bertemu dengan Raya. Bara menoleh ke kanan dan ke kirinya. Tidak ada siapa pun diruang tunggu, hanya Bara seorang diri. Orang sebelum Bara sudah masuk kedalam ruang konsultasi Dokter Adjie.
Sambil menunggu, Bara berusaha untuk memetakan masalahnya yang akan ia ceritakan Dokter Adjie. Ketika sedang mencoba untuk memetakan masalah pribadinya, jantung Bara tiba-tiba berdegup kencang dan seperti ada kupu-kupu yang menggelitik perutnya. Sebuah perasaan aneh yang biasa dialami ketika akan berbicara dihadapan banyak orang.
"Kenapa malah jadi deg-degan begini," batin Bara.
Bara merasa detak jantungnya berdegup begitu kencang. Bahkan terasa memenuhi ruang tunggu tempatnya sedang duduk sekarang. Bara mencoba menenangkan dirinya dengan mengatur napasnya. Tidak lama kemudian, orang yang masuk kedalam ruang Dokter Adjie sebelumnya, keluar dari ruangan Dokter Adjie. Aliran adrenalin mengalir deras ditubuh Bara ketika secara mengejutkan Dokter Adjie juga ikut keluar dari ruangannya dan duduk menghampiri Bara.
"Kamu pasti Bara?" sapa Dokter Adjie.
"Iya," jawab Bara tergagap.
"Kamu pasti sedang berpikir bagaimana saya bisa tahu kamu itu Bara,"
Bara mengangguk.
Dokter Adjie memandangi sekeliling ruang tunggunya.
"Coba kamu lihat sekeliling kamu," Dokter Adjie meminta Bara untuk memperhatikan sekelilingnya.
Bara menurutinya dan memandang sekelilingnya.
"Tidak ada siapa pun selain kamu dan saya disini, jadi bisa saya simpulkan kamu adalah Bara," ujar Dokter Adjie.
Bara terdiam sejenak mendengarkan penjelasan Dokter Adjie.
"Astaga," Bara menepuk keningnya.
"Saya kaget Dokter bisa langsung mengenali saya, saya pikir Dokter punya indera ke-enam," ujar Bara.
Dokter Adjie tertawa mendengar ucapan Bara.
"Saya cuma punya pengetahuan yang saya pelajari bertahun-tahun," ujar Dokter Adjie.
Bara tertawa malu karena penilaiannya pada Dokter Adjie.
"Jadi, sekarang sudah siap untuk cerita pada saya?" tanya Dokter Adjie pada Bara.
"Siap Dok," jawab Bara yakin.
"Bagus kalau begitu, tadi saya lihat kamu seperti orang tegang, makanya saya mencoba untuk mencairkan suasana."
Ternyata apa yang dilakukan oleh Dokter Adjie adalah untuk mencairkan suasana antara dirinya dan Bara.
"Ini pertama kalinya saya konsultasi dengan Psikolog, saya jadi sedikit nervous," terang Bara.
"Kita mau tetap disini atau masuk ke ruangan saya?" tanya Dokter Adjie.
"Di ruang dokter saja," Bara khawatir ada orang lain yang bisa saja ikut menguping pembicaraannya dengan Dokter Adjie.
"Baiklah kalau begitu, mari kita keruangan saya."
Dokter Adjie bangkit berdiri dan berjalan menuju ruangannya. Bara mengikuti Dokter Adjie untuk masuk kedalam ruang prakteknya. Ruang praktek Dokter Adjie didominasi dengan warna cream yang hangat untuk menciptakan kesan hangat pada pasien-pasiennya. Pada bagian tengah ruang prakteknya terdapat sofa recliner berwarna putih yang bisa disesuaikan sandarannya.
"Santai saja, silahkan duduk," Dokter Adjie mempersilahkan Bara untuk duduk di sofa recliner tersebut.
"Mas Bara bisa sesuaikan sandarannya senyaman mungkin," Dokter Adjie meminta Bara untuk membuat dirinya senyaman mungkin.
Bara duduk di sofa tersebut dan memencet tombol untuk menyesuaikan kenyamanannya.
Kini Bara sudah bersiap untuk menceritakan masalah yang dihadapinya. Dokter Adjie sudah bersiap duduk disofanya yang menghadap kearah Bara.
"Kali ini saya hanya akan mendengarkan cerita Mas Bara, setelah saya sudah dengar semuanya, baru kita akan mendiskusikan treatment apa yang akan saya berikan," ujar Dokter Adjie.
"Saya bingung mulai darimana Dok," ungkap Bara.
"Mulai saja dari hal yang paling Mas Bara pikirkan saat ini."
"Belakangan ini saya selalu bermimpi tentang kecelakaan yang bahkan saya tidak bisa mengingatnya dengan jelas," ucap Bara.
Dokter Adjie mengangguk pelan sambil mencatat ucapan Bara.
Bara terdiam sejenak, kemudian mulai menceritakan mimpi-mimpi yang belakangan ini kerap kali mengganggunya. Mimpi yang selalu membuatnya merasa seperti tercekik sampai kehabisan napas. Dokter Adjie mendengarkan cerita Bara dengan seksama sambil sesekali mencatatnya.
"Belum lama ini saya kembali mengalami serangan panik," ungkap Bara.
"Apa yang memicunya?" tanya Dokter Adjie.
"Kembang api," Bara tertawa miris mengingat suara kembang api bisa membuatnya sangat ketakutan.
"Hanya dengan satu letusan kembang api cukup membuat saya kehabisan napas," ucap Bara sambil menerawang mengingat reaksi yang terjadi pada dirinya ketika mendengar suara letusan kembang api.
Bara menundukkan kepalanya. Tangannya menopang keningnya. Bara kemudian kembali menegakkan kepalanya.
"Menurut yang saya baca, serangan panik terjadi sebagai salah satu mekanisme pertahanan alam bawah sadar kita setelah mengalami kejadian traumatis, apa benar begitu Dok?" tanya Bara pada Dokter Adjie dengan tatapan serius.
"Kurang lebih seperti itu, anggaplah Mas Bara sendiri yang membangun tembok pertahanan itu, Mas Bara bisa saja menghancurkan tembok itu sekarang, akan tetapi selalu ada konsekuensi dari setiap keputusan yang kita buat, bisa saja Mas Bara akan lebih terluka dibanding sebelumnya, apa Mas Bara masih mau menghancurkan tembok pertahanan itu?" Dokter Adjie bertanya balik pada Bara.
Bara memikirkan masak-masak pertanyaan yang diajukan Dokter Adjie.
"Saya akan menghancurkan tembok itu apa pun resikonya," ucap Bara yakin.
Dokter Adjie menilai kesungguhan Bara untuk kembali berhadapan dengan kenangan pahit yang sudah terkubur jauh didalam pikirannya.
"Saya tidak bisa terus bersembunyi dibalik tembok itu," lanjut Bara.
"Baiklah kalau memang Mas Bara sudah merasa yakin, minggu depan kita bisa mulai pengobatannya, untuk hari ini saya rasa cukup," Ucap Dokter Adjie.
"Kita ngga langsung mulai pengobatannya hari ini Dok?" tanya Bara.
"Tidak perlu terburu-buru, sesuatu yang dilakukan secara terburu-buru tidak akan membawa hasil yang baik," ujar Dokter Adjie.
Bara menghela napas, "Sebenarnya saya juga belum terlalu siap jika kita langsung memulai pengobatannya hari ini," ujarnya.
"Saya sudah menduganya," Dokter Adjie tersenyum lembut pada Bara.
Bara duduk tegak di kursinya, "Jadi untuk saat ini sudah selesai Dok?" tanyanya.
Dokter Adjie mengangguk dan berdiri dari tempat duduknya. Bara ikut berdiri dari kursinya.
"Sampai jumpa minggu depan," ujar Dokter Adjie sambil mengulurkan tangannya untuk berjabat tangan.
Bara menyambut jabat Dokter Adjie, "Terima kasih, Dok."
"Hati-hati dijalan," Dokter Adjie melepaskan jabat tangannya.
"Saya permisi Dok," Bara pamit undur diri.
Dokter Adjie kembali mengangguk.
Bara berjalan keluar dari ruangan Dokter Adjie. Bara melirik jam tangannya, dia masih punya banyak waktu sebelum menjemput Raya. Bara memutuskan untuk kembali terlebih dahulu ke apartemennya untuk berganti pakaian sebelum nanti sore menjemput Raya. Perutnya kembali terasa seperti dipenuhi kupu-kupu ketika membayangkan dirinya akan melewati makan malam bersama Raya.
****
Jam lima tepat, Raya segera meninggalkan meja kerjanya. Raya bergegas pergi menuju halte yang berada tidak jauh dari gedung MG Group untuk menunggu Bara. Dari kejauhan, supir pribadi Bara yang pernah menjemput Raya mengenalinya dan membunyikan klakson untuk memberi tanda pada Raya yang sedang berdiri di halte. Raya menoleh ketika mendengar suara klakson mobil yang sedang mendekat kearahnya. Raya tersenyum begitu melihat supir pribadi Bara yang waktu itu menjemputnya tersenyum dari dalam mobil. Supir pribadi Bara segera berhenti di depan halte tempat Raya menunggu. Supir pribadi Bara menurunkan kaca mobil dan menyapa Raya. Raya balas menyapanya dan kemudian masuk kedalam mobil. Raya duduk dikursi penumpang yang berada disebelah supir pribadi Bara. Raya belum menyadari bahwa Bara sudah berada didalam mobil tersebut. Bara sengaja menunduk agar Raya tidak melihat dirinya yang sedang duduk dikursi belakang.
"Baranya ngga ikut Pak?" tanya Raya pada supir pribadi Bara.
Supir pribadi Bara menunjuk kearah kursi belakang.
Raya menengok ke kursi belakang. Secara mengejutkan Bara kembali menegakkan badannya dan tersenyum pada Raya.
"Kejutan!"
Raya terkejut, "Ngagetin orang aja, kalau gue kena serangan jantung gimana?"
"Pasti tadi sedih ya, gue ngga ikutan jemput?" goda Bara.
"Pede banget."
Raya kembali duduk dengan menyilangkan kedua tangan didepan dadanya. Hatinya berbunga-bunga karena Bara ikut menjemputnya. Tanpa sadar pipi Raya merona.
"Pasti senang kan, kali ini gue ikut jemput," kepala Bara menyeruak diantara kursi pengemudi dan kursi penumpang. Jarak wajahnya dan wajah Raya menjadi sangat dekat. Raya bahkan bisa merasakan napas Bara didekat telinganya.
"Apa sih," Raya mendorong kepala Bara agar menjauh dari wajahnya.
"Duduk yang bener, si Bapak nanti jadi kagok."
Bara memundurkan badannya dan kembali duduk di kursinya. Raya kembali menengok ke belakang dan melihat Bara yang sudah duduk kembali.
"Lu mau makan apa?" tanyanya.
"Apa aja, gue ikut lu aja," jawab Bara sambil tersenyum lebar.
Raya kembali menoleh kedepan.
"Kita ke jalan Sabang ya Pak," ujar Raya pada supir pribadi Bara.
"Siap!"
Supir pribadi Bara kemudian mengarahkan kendaraannya menuju jalan Sabang.
Tiba di jalan Sabang, mereka menuju warung nasi goreng yang cukup terkenal disana.
"Nasi goreng satu Pak, pedas ya," ujar Raya pada pegawai kedai nasi goreng yang berdiri didekat pintu masuk.
"Eh, lu makan apa?" Raya kemudian teringat pada Bara yang berdiri disebelahnya.
"Samain aja," jawab Bara.
"Nasi gorengnya jadi dua Pak," Raya mengkoreksi pesanannya pada penjaga kedai nasi goreng tersebut.
"Loh, supir lu ngga ikutan makan?" tanya Raya yang menyadari supir pribadi Bara tidak ikut turun bersama mereka.
"Dia mau makan yang lain katanya, tadi udah gue kasih uang buat makan," jawab Bara.
"Oh, yaudah kita cari tempat duduk dulu."
Raya melangkah masuk kedalam kedai nasi goreng itu dan mencari tempat duduk yang kosong. Datang ke kedai ini setelah jam kerja memang sangat ramai, akhirnya mereka menemukan tempat duduk kosong ditengah-tengah kedai.
Seorang pegawai kedai tersebut kembali mendatangi mereka, "Sudah pesan mbak?" tanyanya.
"Sudah, tadi pesan didepan," jawab Raya.
"Eh tapi belum pesan minum, es teh tawar dua ya mas," lanjut Raya.
"Es teh tawar dua," Pegawai itu kembali mengulang pesanan Raya.
"Iya," ucap Raya.
"Oke, ditunggu ya mbak."
Pegawai itu segera pergi meninggalkan meja mereka dan memberitahukan pesanan mereka pada bagian pembuat minuman.
"Jadi gimana studi kasusnya? Udah lu kirim kan?" Raya memulai obrolan dengan membahas studi kasus yang harus dikerjakan Bara.
"Kok lu tahu gue lagi ngerjain studi kasus?"
"Ya tahu lah, gue gitu loh."
"Paling juga lu dapat gosip dari bagian HRD," ujar Bara.
"Lu udah terkenal dikantor."
Bara menutupi wajahnya.
"Kenapa muka lu ditutupin begitu?"
Bara membuka sedikit tangan yang menutupi wajahnya, "Takut ada yang ngenalin gue, katanya gue terkenal."
"Idih."
Bara membuka tangannya dan tersenyum lebar.
Sambil menunggu pesanan mereka datang, Bara dan Raya mengobrol ringan sambil memperhatikan orang-orang yang lalu lalang disekitar mereka. Raya terkejut begitu Bara menceritakan bahwa dirinya tidak mempunyai ijazah SMA.
"Serius lu ngga punya ijazah SMA?" tanya Raya tidak percaya.
"Serius, dulu buat makan aja susah, apalagi buat sekolah,"
"Kalau sekarang lu bahkan ngga bisa ngitung nol di rekening lu, ya?" goda Raya.
"Apa sih," Bara tersipu.
Tidak berapa lama pesanan makanan dan minuman mereka datang. Raya langsung memakannya dengan lahap. Bara juga ikut menyuapkan satu sendok penuh nasi goreng kedalam mulutnya. Baru satu sendok, Bara sudah mengeluarkan suara berdesis karena kepedasan. Rasa pedas nasi goreng yang begitu menggigit sampai membuat hidung Bara berair.
"Kenapa?" tanya Raya yang melihat wajah Bara yang memerah dan dipenuhi keringat.
"Pedas banget ray," jawab Bara sambil mendesah karena kepedasan.
"Lu ngga bisa makan pedas?"
Raya menahan tawanya melihat ekspresi Bara yang sedang kepedasan.
"Bisa, tapi ya ngga sepedas ini, kalau ini gue ngga sanggup."
"Mau gue pesanin lagi yang ngga terlalu pedas?" tanya Raya.
Bara mengangguk sambil meminum minumannya.
Raya melambaikan tangannya untuk memanggil pegawai kedai yang sedang berdiri didekat tempat pembayaran. Pegawai tersebut langsung mendatangi mereka.
"Pesan nasi goreng satu lagi mas, ngga pedas ya mas," Raya memesan kembali nasi goreng untuk Bara.
Bara mengelap keringat yang membasahi keningnya dengan tissue yang tersedia diatas meja dan menandaskan minumannya. Bara kemudian menjulurkan lidahnya yang terasa panas karena kepedasan. Raya kembali melanjutkan makannya sementara Bara menunggu kembali pesanannya. Bara memperhatikan Raya yang sedang makan dengan lahapnya.
"Pelan-pelan Bu makannya, nanti keselek," ujar Bara sambil tersenyum.
****
Bang Ojal mendatangi rumah Pak Angga untuk. menyerahkan hasil penyelidikannya perihal orang-orang yang dekat dengan Bara.
"Semuanya ada disitu," ucap Bang Ojal sambil meletakkan amplop coklat di meja Pak Angga.
Pak Angga mengambil amplop tersebut dan membuka isinya.
"Cuma dua orang?" tanya Pak Angga.
"Sejauh ini, cuma dua orang ini yang sering Bara temui, yang satu pemilik warung kopi, yang satunya lagi sepertinya pegawai dikantor," terang Bang Ojal.
"Pegawai MG?"
Bang Ojal mengangguk.
"Kira-kira kita harus mulai dari yang mana ya,"
Pak Angga mengamati foto keduanya.
"Apa saya perlu selidiki mereka lebih jauh lagi?" tanya Bang Ojal.
Pak Angga mengangguk setuju.
"Saya tertarik dengan pegawai kantor yang Bara temui, kamu selidiki dia lebih jauh,"
"Baik Pak."
"Jadi kamu sudah punya peliharaan rupanya," ucap Pak angga dingin sambil mengamati foto Bara bersama seorang pegawai wanita MG Group.
Bang Ojal bergidik melihat ekspresi muka Pak Angga yang seperti akan menelan pegawai tersebut bulat-bulat.
"Kalau bukan karena Pak tua, ngga bakalan mau gue kerja sama orang macam begini," batin Bang Ojal.
"Kamu sudah siap untuk berburu kan?" tanya Pak Angga tiba-tiba.
"Maksud bapak?"
"Saya sudah tentukan hewan buruan saya selanjutnya," Pak Angga menunjuk foto pegawai wanita yang sedang bersama Bara.
Bang Ojal mengangguk mendengar ucapan Pak Angga.
Bang Ojal melirik foto pegawai wanita tersebut.
"Semoga Bara bisa melindungi kamu," batinnya.
****