Raya berulang kali bolak-balik ke pantry untuk memastikan kehadiran Bara.
"Ngapain mbak daritadi mondar-mandir kesini?" Tanya Arga yang memergoki Raya.
"Iseng aja mau jalan-jalan, pegal duduk terus."
"Nyari ranu ya?" Tanya Arga dengan tatapan usil.
"Ngga," jawab Raya sedikit tergugup.
Raya melirik Arga sejenak.
"Arga tahu ngga, ya. Kalau Ranu itu sebenarnya anggota keluarga pradana," pikir Raya.
"Dia kemana sih? udah lama ngga keliatan," seru Raya.
"Loh, Mbak Raya ngga tahu? Dia resign."
"Resign?" Tanya Raya sedikit keheranan.
"Iya." Arga membenarkan ucapannya. "lagian ngapain juga dia lama-lama jadi OB," ujar Arga pelan.
"Lu ngomong apa barusan?"
"Ngga, saya ngga ngomong apa-apa."
"Barusan gue kaya denger lu ngomong sesuatu."
"Perasaan Mbak Raya aja kali."
"Ya udah lah, gue balik dulu."
Raya kemudian meninggalkan pantry dan kembali ke meja kerjanya. Mendengar Bara yang keluar dari perusahaan membuat Raya lesu. Meskipun dia masih mempunyai kesempatan untuk bertemu Bara, namun pertemuan tersebut tidak akan sesering pertemuan mereka di kantor selama ini.
"Woy begong aja lu!" Rekan kerja Raya tiba-tiba datang mengagetkan Raya.
"Apaan sih lu," sahut Raya sedikit kesal.
"Lu udah tahu gosip baru belum?" Rekan kerjanya mencoba memancing rasa penasaran Raya.
"Gosip apaan?"
"Gue dengar-dengar cucunya Pak Haryo bakal ikut test masuk buat magang."
"HAH!" Raya terbelalak mendengar ucapan rekan kerjanya.
"Biasa aja kali kagetnya."
"Lu dapat kabar darimana?"
"Dari temen gue di HRD, tapi ngapain ya dia mau repot-repot ikutan tes segala, padahal kan dia bisa langsung masuk tanpa tes."
"Entahlah," ujar raya sambil mengangkat bahunya. Raya pun keheranan dengan kabar burung yang disampaikan rekan kerjanya.
"Kira-kira kaya apa ya orangnya? kalau dilihat dari penampilan Pak Damar sama Mbak Kimmy, harusya sih dia ganteng atau cantik, semoga aja cowok, kali aja kan bisa jadi jodoh gue." Rekan kerja Raya mulai berandai-andai tentang sosok cucu Pak Haryo.
"Udah jangan kebanyakan berkhayal lu," imbuh Raya sambil tertawa pada rekan kerjanya.
Pikiran Raya melayang pada saat pertama kali bertemu dengan Bara sebagai dirinya sendiri. Raya tidak bisa melepaskan pandangannya dari Bara. Pasti seluruh wanita di kantor akan heboh jika Bara berhasil masuk sebagai pegawai magang.
"Gue kasihan sama yang ikut tes tahun ini, udah saingan sama cucunya yang punya perusahaan, testnya juga katanya bakal beda sama tahun-tahun sebelumnya," terang rekan kerja Raya.
Raya terdiam. Raya memikirkan kata-kata yang diucapkan rekan kerjanya dan mencoba menebak apa yang sebenarnya sedang direncanakan oleh Bara. Bara bisa dengan mudah masuk ke dalam perusahaan namun memilih untuk mengikuti tes masuk. Ditambah lagi tingkat kesulitan testnya akan ditambah.
"Apa gue hubungin dia aja ya?" Ucap Raya pelan.
"Lu mau hubungin siapa?" Tanya rekan kerja Raya yang mendengar ucapannya.
"Teman gue, dia katanya mau ikutan tes magang itu."
"Oh, lu kasih tahu lah, kalau perlu lu bilangin sama teman lu itu, ikut tesnya tahun depan aja soalnya tahun ini bakal ada saingan berat."
"Gitu ya?"
"Iya, ya udah Ray. Gue balik dulu, masih banyak kerjaan." Rekan kerjanya kemudian kembali ke tempat duduknya.
Sementara itu, Raya masih menimbang-nimbang apakah dia harus menghubungi Bara atau tidak.
***
Ponsel Bara bergetar dan membangunkannya yang sedang tertidur di meja kerjanya. Setelah semalaman mempelajari materi yang diberikan kimmy, Bara tidak sengaja tertidur di meja kerjanya. Bara melihat nama yang tertera di ponselnya. Raya menghubunginya. Bara segera mengangkat ponselnya.
"Halo, Ray. k8enapa?" Sahut bara ketika menjawab telpon dari raya.
"Iya, gue diminta buat ikut test itu."
Raya memberitahukan pada Bara perihal kabar yang sedang beredar di kantor tentang dirinya yang akan mengikuti test untuk masuk sebagai Pegawai magang.
"Beberapa hari ngga masuk, tau-tau udah jadi bahan gosip," seru Bara sambil tertawa.
"Oh iya Ray, gimana hasil penelusuran lu?" Bara menanyakan hasil penelusuran Raya tentang data keuangan MG group.
"Eh ngga usah dij awab, nanti aja kita ketemu, lu kapan ada waktu luang?" Bara buru-buru memotong ucapan Raya yang hampir menjelaskan hasil temuannya.
"Oke kalau gitu, besok pulang kerja, gue jemput lu ya?"
"Oke, bye."
Bara menutup sambungan telponnya dengan Raya. Ternyata kabar dirinya yang akan mengikuti test di MG Group sudah beredar. Bara kembali mencari-cari buku yang menjadi bahan pembelajarannya. Ternyata menjadi seorang anggota keluarga Pradana sama sekali tidak mudah. Hal apapun yang menyangkut keluarga Pradana akan dengan mudah sekali menjadi buah bibir di perusahaan.
****
Keesokannya, sepulang kerja Raya sudah menunggu bara di depan lobi gedung MG Group. Sebuah mobil Mercedes Benz hitam mendekat ke arahnya. Kaca mobil tersebut terbuka ketika tiba di depan Raya.
"Mbak Raya, ya?" Tanya pengemudi mobil tersebut kepada Raya.
"iya, Bapak siapa ya?"
Pengemudi tersebut segera turun dari mobil dan membukakan pintu penumpang untuk Raya.
"Silahkan masuk, Mbak. Mas Bara yang minta saya jemput Mbak Raya."
"Oh, saya pikir dia yang bakal jemput saya."
"Loh, Mas Bara belum kasih tahu kalau saya yang jemput?"
Raya menggelengkan kepalanya. Raya kemudian mendapat pesan masuk dari Bara. Setelah membaca pesan dari Bara, Raya kembali bertanya pada Supir yang dikirimkan Bara untuk menjemputnya.
"Benar, Bapak suruhannya Bara?" Tanya Raya dengan suara yang sedikit pelan karena khawatir ada rekan kerjanya yang tidak sengaja lewat.
"Benar, Mbak. Kalau Mbak ngga percaya, silahkan hubungi Mas Bara."
"Saya percaya kok, Pak. Barusan Bara sudah kasih tahu."
"Ya sudah Mbak cepat masuk, lihat di belakang sudah antri." Supir yang dikirimkan Bara menunjuk antrian mobil di belakangnya.
Raya mengalihkan pandangannya dan melihat antrian di belakang mobil yang akan ditumpanginya. Merasa tidak enak karena sudah menyebabkan antrian, Raya segera masuk ke dalam mobil.
"Kalau Mbak Raya capek, tidur dulu saja, Mbak. Perjalanan kita cukup jauh," ujar Supir Pribadi Bara ketika mobil yang mereka tumpangi sudah keluar dari area gedung MG Group.
"Emang kita mau kemana, Pak?" Tanya Raya yang penasaran akan tempat yang sedang mereka tuju.
"Kita ke kediaman Pak Haryo di Bogor, Mbak," jawab Supir Pribadi Bara.
"What? Rumah Pak Haryo? Bogor?" Raya terkejut begitu mendengar kata Bogor dan kediaman Pak Haryo.
"Iya, Mbak. Jadi, Mbak istirahat saja. Saya ngga bakal nyulik Mbak kok," canda Supir Pribadi Bara sambil tertawa.
"Ha, iya Pak." Raya tertawa garing mendengar candaan yang dilontarkan oleh Supir Pribadi Bara.
"Gila apa si Bara bawa gue ke rumah Pak Haryo, mana kucel begini," batin Raya sambil memperhatikan pantulan dirinya di kaca mobil.
"Tapi penasaran juga sih, kira-kira kaya gimana ya rumahnya pak haryo?" Raya mencoba membayangkan rumah yang dimiliki seorang konglomerat seperti Pak Haryo.
Sejauh ini Raya sering melihat bedah rumah artis yang ada pada saluran YouTube. Kebanyakan Raya merasa tidak sreg dengan kediaman para Artis yang tampak mewah di luar namun isinya tidak ubahnya seperti gudang karena terlalu banyak perabotan atau barang-barang yang berserakan disana-sini. Sambil berandai-andai tentang kediaman Pak Haryo, tanpa sadar Raya tertidur di perjalanan.
-----
"Mbak, kita sudah sampai," ujar supir yang menjemput Raya ketika mereka tiba di kediaman Pak Haryo.
Raya perlahan membuka matanya. Perjalanan Jakarta menuju Bogor membuatnya tidak bisa menahan kantuk. Raya akhirnya tertidur dalam perjalanan. Begitu tiba, Raya dihadapkan pada pelataran rumah yang tampak sangat mewah dengan pilar-pilar yang tinggi.
Pengemudi tersebut segera membukakan pintu mobil untuk Raya. Raya kemudian keluar dari dalam mobil sambil berusaha merapikan pakaian yang dikenakannya.
"Ini sih bukan rumah, ini istana," batin Raya sambil memperhatikan sekeliling kediaman Pak Haryo. Bahkan jarak dari gerbang utama sampai ke pelataran rumah cukup jauh. Meskipun hari sudah gelap, Raya masih bisa melihat hamparan taman luas yang mengelilingi pelataran tersebut.
"Hai, Ray!" Bara muncul dari dalam rumah dan langsung menyapa Raya yang sedang tertegun.
Raya kaget mendengar suara Bara dan segera mengalihkan pandangannya. Begitu menoleh, Raya mendapati Bara sudah berdiri di belakangnya. Raya memperhatikan Bara yang hanya mengenakan celana training panjang dan kaos lengan pendek berwarna putih. Tampilan Bara jelas sangat kontras dengan tempat tinggalnya. Jika saja Raya belum mengetahui bahwa Bara ada cucu Pak Haryo, mungkin Raya hanya akan mengira Bara adalah pegawai di rumah tersebut.
"Oh hai," sahut Raya.
"Ayo masuk, lu pasti belum makan, kan?"
"Pak Haryo ada di dalam?" Tanya Raya sambil berbisik.
"Eyang lagi ngga di rumah," jawab Bara.
"Lu sendirian di rumah segede gini?"
"Ngga, banyak pegawai disini," sahut Bara polos.
"Oh iya sih, pasti banyak pegawai disini."
"Ayo masuk."
Bara melangkah masuk ke dalam rumah. Raya mengikuti di belakangnya.
Raya tidak bisa menyembunyikan kekagumannya pada bagian dalam kediaman Pak Haryo. Berulang kali mulut Raya terbuka karena terpesona dengan perabotan yang ada di rumah Pak Haryo.
"Ekspresi gue waktu pertama kali datang ke sini kurang lebih sama kaya ekspresi lu," ucap Bara sambil memandangi Raya yang sedang terkagum-kagum dengan kediaman Pak Haryo. Raya mengatupkan bibirnya lalu menoleh pada Bara dan tersenyum kikuk.
"Gue keliatan norak, ya?" tanya Raya malu-malu.
"Ngga kok." Bara menghentikan ucapannya.
"ngga salah lagi." Lanjut bara. Bara tertawa kecil melihat ekspresi Raya yang berubah kesal.
"Rese lu." Raya memukul lengan Bara. Sementara Bara terkekeh dengan sikap Raya padanya.
****
Seusai makan malam, Bara mengajak Raya untuk membicarakan hasil temuannya di teras dekat kolam renang. Raya memberikan sebuah flashdisk kepada Bara.
"Kayanya memang ada yang ngga beres sama laporan keuangan perusahaan," terang Raya.
"Kenapa lu bisa ngomong gitu?"
"Ya, meskipun gue ngga pinter-pinter banget, tapi setelah gue teliti beberapa laporan tahunan perusahaan, kayanya ada yang janggal."
"Lu masih mau lanjutin penelusuran lu?" tanya Bara.
"Gue sih tergantung lu aja, tapi kayanya gue udah semakin penasaran, rasa penasaran kalau ngga diturutin itu ibarat lu buang air besar tapi ngga tuntas, ngga enak banget rasanya," gurau Raya.
"Harus banget perumpamaannya sama buang air besar?" Tanya Bara keheranan dengan perumpamaan yang dikatakan Raya.
"Ya cuma itu yang kepikiran sama gue," ujar Raya santai.
"Lu sering buang air besar ngga tuntas?" goda Bara.
"Gue kalau buang air besar nunggu kebelet dulu, jadi pasti tuntas." Raya terdiam sejenak setelah mengucapkan kata-katanya.
"Ngomong-ngomong kenapa kita jadi bahas buang air besar gue, ya?" Tanya Raya pada dirinya sendiri setelah menyadari ucapan yang keluar dari mulutnya.
Bara kembali tertawa dengan sikap Raya. Ucapan Raya yang seringkali ceplas-ceplos membuat Bara betah mengobrol dengannya.
"Lu harus lebih hati-hati lagi, Ray." Bara mencoba memperingatkan Raya.
"Tenang aja kalau itu, sih." Raya menimpali ucapan Bara seraya tersenyum pada Bara.
Bara memandangi Raya dengan tatapan yang hampir membuat jantung Raya meledak. Bara menatapnya dengan sangat intens, sampai-sampai Raya menjadi sedikit salah tingkah.
"Ini gue pulang dari sini dianterin lagi, kan?" Tanya Raya untuk memecah kesunyian yang tiba-tiba hadir di antara mereka.
Bara melihat jam tangannya dan jam sudah hampir menunjukkan pukul sebelas malam.
"Kayanya supir gue jam segini udah pulang deh." Bara kembali menggoda raya dengan jawabannya.
"Serius? Terus gue pulang gimana, dong?" Raya sedikit merajuk pada Bara.
"Lu nginep aja di sini, banyak kamar kosong, kok. Lagian besok juga lu libur, kan?" Bara masih menggoda Raya.
"Lu jangan bercanda terus deh, gue lagi serius nih."
"Gampang banget ya bikin lu panik, coba lu liat ekspresi lu barusan." Bara tertawa melihat wajah panik Raya.
Raya merengut pada Bara yang terus mengusilinya.
"Pasti dianterin lah, Ray. Masa gue udah jauh-jauh bawa lu kesini, terus pulangnya gue biarin lu pulang sendiri, lu mau pulang sekarang?"
"Iya, udah malem, pasti gue sampe rumah malem banget," sahut Raya.
"Yaudah, gue kasih tahu Supir gue dulu buat siap-siap."
Bara kemudian masuk ke dalam rumah dan menghubungi Supir Pribadinya melalui pesawat telpon yang ada di dalam rumah. Setelah selesai berbicara di telpon, Bara kembali menghampiri Raya.
"Ayo, Ray! Gue anter ke depan."
Raya segera merapikan barang bawaannya dan mengikuti Bara kembali berjalan ke pelataran rumah. Begitu mereka tiba di pelataran rumah, mobil yang tadi menjemput Raya sudah siap untuk mengantarnya kembali.
"Maaf ya, gue ngga bisa nganter," ucap Bara.
"Ngga apa-apa kok, yang penting ada yang nganter gue pulang," ujar Raya sembari tersenyum.
"Hati-hati dijalan ya, Ray." Bara membukakan pintu penumpang untuk Raya.
"Iya, lu jaga kesehatan, ya. Test magangnya kan sudah sebentar lagi, jangan sampai pas waktunya lu sakit."
Bara mengangguk sambil tersenyum pada Raya.
"Kita jalan sekarang, Mbak?" Tanya Supir Pribadi Bara pada Raya.
"Iya, Pak."
Bara menjauh dari mobil dan melambaikan tangannya pada Bara. Raya membalas lambaian tangan Bara dari dalam mobil. Perlahan mobil yang ditumpangi melaju meninggalkan pelataran kediaman Pak Haryo.
Bara terus memperhatikan mobil yang ditumpangi Raya sampai mobil tersebut keluar dari area kediaman Pak Haryo. Bara menggenggam erat flashdisk yang diberikan raya padanya. Bara segera kembali kekamarnya untuk memeriksa isi flashdisk tersebut.
****
****