Bara memandangi tubuhnya yang sedang bertelanjang dada di depan cermin. Ada jejak kebiruan pada bagian perutnya akibat pukulan yang diterimanya kemarin. Bara kembali mengompres bagian yang kebiruan tersebut menggunakan kantung berisi air hangat. Setelah nyerinya sedikit berkurang, Bara kembali berpakaian dan bersiap berangkat ke kantor. Sebelum berangkat, Bara berpamitan pada Pak Haryo yang sedang menyantap sarapannya sambil membaca berita pada iPad-nya.
Semalam ketika Bara tiba di apartemennya, Bara mendapati Pak Haryo sudah berada di dalam apartemennya. Dengan tenang, Pak Haryo menanyakan tentang keributan yang melibatkan Bara tadi sore. Bara menjelaskan seluruh peristiwa yang dialaminya kepada Pak Haryo.
"Kamu ngga apa-apa?" tanya Pak Haryo ketika Bara selesai bercerita. Pak haryo memperhatikan bara yang sedari tadi terus memegangi perutnya.
"Ngga apa-apa, Eyang."
"Katanya dia sempat mukul kamu, di sebelah mana dia mukul kamu?"
"Oh itu," Bara tidak melanjutkan kata-katanya.
Bara terus memegangi perutnya yang terasa nyeri. "Cuma pukulan ringan aja," lanjut Bara.
"Saya ngga pernah terima kalau ada orang berani menyakiti keluarga saya, saya akan pastikan orang tersebut dapat hukuman yang setimpal," ucap Pak Haryo tegas.
Bara terdiam mendengar perkataan Pak Haryo. Baru sekali ini Bara merasakan aura Pak Haryo yang berbeda dari biasanya. Meskipun terlihat tenang, ucapan Pak Haryo penuh penekanan dan bernada mengancam.
"Saya sudah bikin laporannya," ucap Bara.
"Saya sudah menghubungi Rudolf, kamu tidak bisa bertindak sebagai Ranu kalau kamu mau orang itu mendapat hukuman."
Bara termangu memikirkan kata-kata Pak Haryo dan. Benar apa yang dikatakan Pak Haryo, jika dia melapor sebagai Ranu, laporannya belum tentu akan ditindaklanjuti. Bisa saja berkas laporannya hanya akan berakhir sebagai kertas pembungkus gorengan yang biasa dijajakan di pinggir jalan.
"Besok akan saya perbaiki laporannya," ujar Bara. Mengingat dia menuliskan laporan tersebut atas nama Ranu.
"Tidak perlu. Laporan tersebut sudah diurus Rudolf, semua bukti pendukung sudah diberikan dalam berkas laporannya dan sudah diserahkan ke kepolisian."
Bara melongo mendengar ucapan Pak Haryo. Dalam waktu yang singkat Pak Haryo sudah mendapatkan bukti yang diperlukan. Betapa menakjubkannya pengaruh seorang Tubagus Haryo Pradana. Bahkan saat ini Bara merasa sangat terintimidasi dengan Pak Haryo. Ternyata dibalik pembawaannya yang tenang, Pak Haryo bisa berubah menjadi serigala pemburu yang siap menerkam buruannya.
***
Bara tiba di kantor dan memulai pekerjaannya seperti biasa. Lewat tengah hari, Bara mulai merasakan sesuatu yang tidak biasa pada tubuhnya.
"Ran, lu ngga apa-apa?" tanya Arga yang melihat Bara seperti sedang menahan sakit.
"Ngga apa-apa, Bang," jawab Bara berusaha menyembunyikan rasa sakitnya.
"Tapi, muka lu pucat banget Ran."
"Cuma ngga enak badan aja, Bang."
"Ya udah istirahat aja dulu."
"Iya, Bang."
Bara kemudian duduk di meja makan yang ada di pantry dan menenggelamkan kepalanya di atas meja. Jam pulang kantor masih beberapa jam lagi dan dia masih harus melakukan pekerjaannya yang lain.
"Lu mau gue anterin pulang ngga?" Arga menawarkan diri untuk mengantar Bara pulang ketika mereka berdua sudah menyelesaikan pekerjaannya.
"Ngga usah, Bang. Gue masih bisa pulang sendiri." Bara menolak tawaran Arga secara halus.
"Yakin, lu ngga apa-apa?"
"Iya."
Bara dan Arga akhirnya berpisah di lobi gedung, Arga segera berjalan menuju tempat parkir motor. Sementara Bara berpura-pura berjalan menuju gerbang keluar pejalan kaki. Begitu hampir sampai di gerbang khusus pejalan kaki, Bara kembali menoleh untuk memastikan Arga sudah tidak ada di area tersebut.
Setelah memastikannya, Bara segera berbalik arah dan menuju tempat parkir mobil. Bara berjalan tertatih menuju tempat mobilnya terparkir. Supirnya yang melihat Bara tidak seperti biasanya, segera keluar dari mobil dan membantu Bara berjalan.
"Mas Bara, ngga apa-apa Mas?" tanya Supir Bara yang khawatir dengan keadaannya.
"Ngga apa-apa, Pak. Cuma ngga enak badan aja," jawab Bara.
Supirnya bergegas membukakan pintu penumpang begitu mereka sampai di mobil, Bara segera masuk dan menyandarkan kepalanya yang sekarang mulai terasa pening.
"Agak ngebut aja, Pak. Saya mau cepat-cepat istirahat," ujar bara pada supir pribadinya.
"Baik, Mas."
Bara tidak menyadari ada dua pasang mata yang mengikutinya. Yang pertama, Arga. Arga yang khawatir dengan keadaan Bara, memutuskan untuk kembali menemui Bara dan hendak memaksa untuk mengantarnya pulang. Arga terkejut begitu berbalik, Bara sudah tidak ada di sekitar area lobi padahal Arga belum berjalan terlalu jauh. Namun ketika berusaha mencari sosok Bara, Arga menemukan sosok Bara yang berjalan menuju parkiran mobil yang berada di basement gedung. Arga yang penasaran pun akhirnya memutuskan untuk mengikutinya.
Yang kedua adalah Damar, secara tidak sengaja mobilnya terparkir tidak jauh dari mobil milik Bara. Begitu akan menyalakan mesin mobilnya, Damar melihat sosok yang ia kenal sebagai Ranu berjalan di area parkir tersebut, tidak berapa lama muncul seorang pria yang kemudian membantunya berjalan dan tidak lama kemudian mereka masuk ke dalam sebuah mobil Mercedes Benz berwarna hitam. Damar semakin yakin bahwa Ranu adalah Bara, sepupunya. Damar yang tadinya berniat untuk mampir ke apartemen Kimmy, akhirnya mengurungkan niatnya dan memutuskan untuk mengikuti Bara.
Sementara itu, Arga yang terkejut, bersembunyi ketika mobil yang ditumpangi Bara melewatinya. Arga bertanya-tanya dalam hati siapa sebenarnya Ranu yang dia kenal selama ini. Setelah selesai dengan lamunannya, Arga memutuskan untuk bergegas mengambil motornya dan mencoba mengikuti mobil yang ditumpangi Bara. Mengingat arus lalu lintas di depan gedung tempat mereka bekerja yang cukup padat, Arga yakin dia dapat menyusul mobil yang ditumpangi Bara.
***
Bara segera turun dari mobilnya begitu tiba di lobi gedung apartemennya. Bara bergegas menuju unit apartemennya. Setelah masuk ke dalam apartemennya, Bara melorot duduk bersandar pada pintu. Karena tidak tahan dengan nyeri yang sedari tadi dia tahan, Bara akhirnya merebahkan tubuhnya dan meringkuk di lantai. Keringat dingin mulai membasahi tubuhnya. Sambil memandangi ruang apartemennya yang masih gelap dan hanya disinari cahaya lampu malam hari yang menembus masuk melalui jendela besar apartemennya, Bara kemudian memejamkan matanya.
Kimmy yang baru saja selesai melakukan pemotretan yang lokasinya tidak jauh dari apartemen Bara, memutuskan untuk mampir ke apartemen Bara. Kimmy sudah menyiapkan dua loyang pizza beserta camilan yang dia bawa ke apartemen Bara. Berhubung besok adalah akhir pekan, Kimmy berniat untuk mengobrol semalam suntuk dengan Bara. Kimmy berjalan dengan ceria menuju apartemen Bara.
Begitu tiba di depan unit apartemen Bara, Kimmy tidak langsung memasukkan kode akses yang dia miliki, dirinya memilih untuk menekan bel karena ingin mengejutkan Bara. Kimmy berulang kali menekan bel, namun Bara tidak kunjung membukakan pintu apartemennya.
"Apa dia belum pulang, ya?" batin Kimmy.
Akhirnya kimmy memutuskan untuk masuk sendiri. Kimmy merasa seperti ada sesuatu yang mengganjal di balik pintu ketika dia mencoba untuk membuka pintu apartemen Bara, dengan susah payah Kimmy mendorong pintu apartemen Bara. Begitu melangkah masuk, Kimmy tersandung sesuatu dibalik pintu dan terjatuh.
"Duh, ini apaan sih," gerutu Kimmy.
Kimmy segera bangkit berdiri dan menyalakan lampu. Begitu lampu menyala, Kimmy terkejut melihat sesuatu yang tadi menghalangi di balik pintu ternyata adalah tubuh Bara yang sedang meringkuk di lantai. Kimmy segera menghampiri Bara.
"Bara, Bara," Kimmy mencoba membangunkan Bara.
Bara tidak merespon Kimmy yang memanggil namanya sambil mengguncang tubuhnya.
Kimmy mengeluarkan ponselnya dan hendak menelpon Pak Haryo. Namun tiba-tiba tangan Bara menarik lengan Kimmy. Bara bangkit perlahan.
"Tolong ambilin pereda nyeri di kamar gue," pinta Bara dengan peluh yang membasahi wajahnya.
Kimmy segera bergegas ke kamar Bara dan kembali dengan membawakan obat pereda nyeri yang diminta Bara dan segelas air putih. Bara segera meminum obatnya dan terdiam sejenak menunggu reaksi obatnya bekerja.
"lu ngga apa-apa?" tanya Kimmy.
Bara hanya menjawab pertanyaan Kimmy dengan tersenyum sambil meringis menahan sakit.
"Gue serius nanya, Bara?" Kimmy kembali bertanya.
"Gue ngga apa-apa," Bara mencoba bangun dari duduknya.
"Bantuin dong." Bara mengulurkan tangannya pada Kimmy. Meminta tolong agar Kimmy membantunya untuk bangkit. Kimmy bangkit berdiri dan menarik lengan bara. Bara akhirnya bangkit berdiri meskipun sambil misuh-misuh menahan sakit.
"Kalau lu ngga kenapa-napa, kenapa lu sampai minum pereda nyeri segala?" Kimmy bertanya dengan jengkel pada Bara.
"Gue mau ganti baju dulu." Bara mengabaikan pertanyaan Kimmy dan berjalan menuju kamarnya sambil terus memegangi perutnya yang terasa nyeri.
Kimmy mengikuti Bara yang berjalan ke kamarnya. Kimmy menahan pintu kamar Bara, begitu Bara akan menutupnya.
"Let me see," ucap kimmy tegas. Kimmy yakin ada yang tidak beres dengan Bara.
"Gue ngga kenapa-napa," Bara kembali berdalih.
"Lu mau buka baju lu sendiri atau--"
"Atau apa?" tantang Bara.
"Atau gue yang lepasin baju lu."
Bara tahu pasti, Kimmy tidak pernah main-main dengan ucapannya. Akhirnya dengan berat hati, Bara melepaskan pakaian yang dikenakannya.
"My God, Bara," ucap Kimmy ketika melihat area kebiruan pada perut Bara.
"Cuma memar biasa, nanti juga hilang," sahut Bara.
"Ini bukan cuma memar biasa, Bara," ujar Kimmy ketika memperhatikan area kebiruan pada perut Bara.
"Kita kerumah sakit sekarang."
"Udahlah, Kim. Ini udah malem, gue mau istirahat."
"Ngga, pokoknya kita harus ke rumah sakit," paksa Kimmy.
"Besok pagi aja, kepala gue udah pusing banget mau istirahat," Bara kembali beralasan.
"Lu istirahat di rumah sakit, paham?" ucap Kimmy tegas.
Kimmy bergegas menarik lengan Bara dan berjalan menuju pintu apartemennya, Bara bahkan belum sempat memakai kembali pakaiannya.
Kimmy meraih gagang pintu apartemen Bara dan membukanya. Pada saat yg bersamaan, Bara menghempaskan tangan Kimmy yang menggenggam lengannya erat-erat. Menyadari Kimmy yang berdiri terpaku di depan pintu, Bara segera berbalik dan berjalan kembali menuju kamarnya. Sementara Kimmy terkejut dengan seseorang yang dilihatnya sudah berdiri dibalik pintu.
"Damar?" ucap Kimmy tercekat melihat Damar sudah berada di depan apartemen Bara.
"Surprise!" seru Damar.
"How?"
"Takdir mungkin," sahut Damar santai.
Belum selesai keterkejutan Kimmy dengan kemunculan Damar di depan apartemen Bara, Kimmy kembali dikejutkan dengan suara sesuatu yang menghantam lantai.
"Bara." Kimmy segera berbalik dan meninggalkan Damar yang masih berdiri ditempatnya.
Damar yang melihat Kimmy panik, segera masuk mengikutinya.
Kimmy mendapati Bara sudah tergeletak di lantai. Kimmy membalikkan tubuh Bara yang tergeletak di lantai dan menepuk-nepuk pipi Bara untuk menyadarkannya. Wajah Bara pucat dan keringat dingin membasahi keningnya. Kali ini bara benar-benar tidak menjawab panggilannya.
"Kita harus bawa dia ke rumah sakit," Kimmy menatap Damar.
Damar diam di tempatnya melihat Kimmy yang meminta bantuan padanya. Inilah pertama kalinya setelah sekian lama, kimmy menatapnya dengan tatapan yang berbeda.
"Mas Damar," Kimmy membentak Damar yang terdiam.
"Barusan lu manggil gue apa?" ucap Damar terkejut dengan panggilan yang baru saja disebut Kimmy. Sudah lama damar tidak mendengar Kimmy memanggilnya dengan panggilan Mas.
"Ayo cepat, kita harus nolongin Bara."
Damar melihat Kimmy yang memohon pertolongan padanya.
Kejadian ini seperti deja vu bagi Damar. Damar mengingat samar-samar peristiwa yang persis sama dengan peristiwa saat ini ketika mereka bertiga masih kecil. Kala itu Kimmy kecil berlari-lari sambil menangis dan meminta tolong pada Damar untuk membantu Bara yang terjatuh saat mereka sedang bermain bersama.
"Mas Damar!" Kimmy kembali memanggil nama Damar.
Damar tersadar dari lamunannya sendiri dan segera menghampirinya.
"Telpon supir lu, suruh dia siap-siap di lobi," Damar menyuruh Kimmy untuk segera menelpon Supir pribadinya.
"Tapi gue udah suruh dia pulang," sahut Kimmy.
Damar memberikan nomor parkir valet mobilnya pada Kimmy.
"Lu ke bawah, siapin mobil gue, biar gue yang bawa Bara turun," perintah Damar cepat.
"Oke." Kimmy segera mengambil nomor valet milik Damar dan bergegas turun ke lobi apartemen.
"Bara, lu bisa denger gue?" Damar mencoba menyadarkan bara dengan menepuk-nepuk wajahnya.
Bara tidak bergerak sedikit pun.
Damar melepaskan jasnya dan mencoba mengangkat tubuh Bara.
"Gila, ini anak makannya apaan sih, berat banget," gumam Damar sambil berusaha mengangkat tubuh Bara.
Karena usahanya untuk mengangkat tubuh Bara gagal, Damar akhirnya menelpon room service untuk meminta pertolongan. Tidak berapa lama dua orang room service datang dengan membawa sebuah kursi roda. Mereka langsung menaikkan tubuh Bara ke kursi roda dan membawanya turun.
Kimmy sudah menunggu mereka di area lobi. Kimmy segera membukakan pintu mobil Damar begitu melihat Damar muncul sambil mendorong Bara di kursi roda. Mereka membaringkan Bara di kursi penumpang, Damar segera duduk di kursi pengemudi dan Kimmy duduk di sebelahnya.
Damar mengemudikan mobilnya secepat mungkin ke rumah sakit milik keluarga mereka.
"Gue jadi inget masa lalu," gumam Damar ketika mereka berhenti di lampu merah.
"Masa lalu yang mana?" tanya Kimmy.
"Masa ketika kita bertiga masih main sama-sama," jawab damar.
Bara yang tidak sadarkan diri di kursi penumpang di belakang mereka, sayup-sayup mendengar percakapan antara Damar dan Kimmy.
"Kejadian itu benar-benar ngerubah keluarga kita, bahkan gue sama lu jadi kaya orang asing," ujar Damar.
Damar melirik bara yang terbaring di kursi belakang mobilnya.
"Lu mau kita balik kaya dulu lagi?" Kimmy kembali bertanya pada Damar.
"Bukannya keluarga memang harusnya seperti itu," ucap Damar sambil menatap lembut Kimmy. Kimmy membalas tatapan Damar. Kimmy seperti menemukan kembali sosok kakaknya yang hilang selama ini. Lampu lalu lintas berubah hijau dan damar kembali memacu kendaraannya.
***
Don't forget to follow my Instagram Account pearl_amethys and my Spotify Account pearlamethys untuk playlist musik yang saya putar selama menulis Bara.
Karya asli hanya tersedia di Platform Webnovel.