Dengan sigap Earl langsung berjalan cepat memeriksa pagar dan sekitar rumahnya. Tapi tidak ada satu pun orang disekitar rumahnya. Earl sampai memastikan ke samping rumahnya dan masih aman. Setelah berkeliling rumah, Earl tidak menemukan apapun yang mencurigakan.
Ia lantas kembali ke depan pintu dan memasukkan kuncinya. Earl membuka pintunya perlahan dan masuk ke dalam dengan waspada. Jika saja ada seseorang yang menyelinap masuk ke dalam rumahnya, Earl mungkin akan berolahraga malam ini dengan menghajar si penyelinap.
Earl menyalakan lampu dan masih dengan tingkat kewaspadaan tinggi saat mengintip ruang tengah. Tapi yang membuat Earl heran, tidak ada apa-apa di ruang tengahnya. Earl menyelidiki semua tata letak barangnya, bahkan sudut ruangannya sampai pada guci antik milik ayahnya yang juga sama amannya, tidak tersentuh.
Takut kecolongan lagi seperti Arthur yang memasang kamera pengintai. Sungguh sialan. Earl benci sekali mengingatnya lantaran memorinya langsung terputar kejadian mengenaskannya.
Baru saja Earl melangkah beberapa langkah, ia merasa tidak ada yang aneh di ruang tamunya, Earl langsung tegang seketika saat matanya melihat sosok bayangan duduk di sofa berwarna cream miliknya.
Tentu saja dengan refleks yang bagus, Earl mengambil vas bunga di atas meja nakas dan dengan cepat melemparkan vas itu pada sosok bayangan itu.
PRAANKK!
Earl lalu berlari memasuki ruang tamu seraya menyalakan lampu. Tapi yang dilihatnya malah pria berengsek yang dengan nyamannya duduk di sofa.
"Kau memasuki rumah sendiri seperti memasuki kandang musuh saja, Earl." Pria itu terkekeh kecil. Earl lantas mengambil bantal sofa di dekat kakinya dan melemparnya ke kepala Arthur. Arthur tentu saja menepisnya dengan mudah.
"Sialan kau Arthur! Kau memang tidak pernah punya sopan santun! Dari mana kau masuk? Dari lubang toilet? Keluar!" Earl mengomel tidak karuan.
Ia menarik tangan Arthur agar berdiri dan keluar dari rumahnya. Hampir saja ia mati kaget karena sosok pria yang mengenakan kaos hitam dan celana jeans hitam juga duduk di sofa lalu berkata tiba-tiba.
Tentu saja Earl jantungan. Earl di dalam misi biasa menunggu dan masih bisa mendengar musuh mendekat dari langkah kaki. Sedangkan Arthur? Duduk di sana tanpa suara jelas Earl terperanjat dan refleks.
Earl lalu meringis meratapi vas bunganya yang hancur berkeping-keping di atas lantai.
"Ck! Ini vas bunga favoritku, sialan!" Ujarnya sambil menatap vas bunga naas itu. Vas bunga berukuran tiga puluh senti miliknya yang berwarna putih bening dengan kristal yang menghiasi seperti sulur daun. Itu vas bunga mahal! Earl ingin menangis rasanya.
"Ganti rugi!" Bentaknya kemudian dan menunjuk Arthur dengan tatapan garang. Arthur tampak menikmati saja disana dan tetap duduk menatap Earl dengan tatapan lain. Matanya gencar sekali menatap penampilan Earl dari atas ke bawah dengan seksama. Bahkan Arthur sampai mengelus dagunya karena terpana.
"Kau sendiri yang memecahkannya, kenapa aku yang harus ganti rugi, hm?" Earl memutar matanya malas dan tetap mengadahkan tangan menunggu uang kompensasi dari Arthur.
"Baiklah, baiklah. Ini." Arthur berdiri tiba-tiba dan menarik tubuh Earl yang langsung terjatuh menimpa tubuhnya.
Earl yang masih dalam mode singa lapar pun langsung dengan sigap menyerang. Ada gerakan heboh saat Arthur menyelaraskan gerak refleks Earl ketika wanita itu memberontak hebat di dalam pelukannya.
Arthur hanya menarik tangan Earl yang berusaha bangun dan menghindar. Tapi Earl malah menarik kuat tangannya hingga terjadi aksi saling tarik tidak jelas. Karena Arthur bersikeras, Earl mendorong Arthur dengan sengaja mengendorkan tarikannya.
Tapi karena Arthur juga sama liciknya, ia terdorong ke belakang dan dengan iseng Arthur kembali menarik tubuh Earl.
Brukk!
"Baiklah, kau yang berkuasa sayang." Arthur berkata seolah-olah pasrah saja ditindih oleh Earl.
Arthur terjatuh di atas karpet tebal tepat di samping meja dengan Earl yang berwajah merah karena marah di atas tubuhnya. Oh sungguh pemandangan yang indah bagi Arthur.
"Brengsek! Kau memang tidak pernah tidak melakukan pelecehan setiap kali kau menemuiku. Tidakkah tukang cabul sepertimu mencari wanita lain saja?" Earl memaki berusaha melepaskan pelukan Arthur. Earl mendesis pertanda akan mengamuk yang ditanggapi Arthur sambil tersenyum menjengkelkan.
"Aku suka melecehkanmu, Earl. Kau terlalu cantik dan seksi, aku pria normal, Okay? Tentu saja aku tidak tahan jika tidak mencabulimu." Earl mengatupkan mulutnya kalah. Memang Arthur pria berengsek tukang cabul. Batin Earl emosi.
"Aku sangat lelah. Seharian ini aku sudah melakukan banyak hal yang menegangkan. Sebaiknya kau pergi dan jangan lupa untuk membayar kompensasi vas bungaku." Jawab Earl dengan lesu.
Tetapi Arthur malah menarik kepala Earl agar wanita itu tidur di atas dadanya saja. Sambil tertawa kecil dan mengelus punggung Earl lembut. Tubuhnya menentang perkataannya sendiri dan Earl kalah dengan pergulatan di dalam otaknya.
"Istirahatlah. Jangan terlalu sibuk kerja, Earl. Kau harus sedikitnya menjadi penurut dan belajar masak di rumah. Bagaimana kau bisa jadi istriku yang bisa memanjakanku nanti." Earl hampir menggigit keras kulit Arthur Tapi ia langsung memberikan hadiah cubitan yang lumayan untuk membuat Arthur menggeliat kesakitan.
"Persetan denganmu Arthur! Aku ngantuk."
Arthur pun langsung menarik Earl sedikit ke atas dan membiarkan Earl menghirup aroma lehernya. Tidak ada hal lain yang mereka lakukan selain menikmati dan membiarkan waktu berlalu. Earl disana masih tersadar tentu saja. Entah bagaimana ceritanya ketika Earl sama sekali tidak berontak saat Arthur memeluknya dan mengelus punggungnya lembut. Seperti Arthur meninabobokan Earl dengan penuh kasih sayang.
Nafasnya, aroma tubuhnya, detak jantungnya. Membuat Earl seakan-akan mampu mendengar alunan irama yang tenang hingga membuatnya mengantuk dan semakin mengantuk. Detak dari detik jam dinding sebagai satu-satunya yang senantiasa ricuh di ruangan yang tenang itu.
Namun, ketika setengah tertidur, Earl mampu merasakan dengan baik saat Arthur memiringkan tubuhnya dan meletakkan dengan hati-hati kepala Earl di atas karpet tebal itu. Mata Earl setengah terbuka saat itu dan mendapati bibir Arthur yang menciumnya sebentar dan beralih pada dahi Earl.
Earl pun memejamkan matanya dan terlelap menjelajah dunia mimpi.
"Selamat tidur, Earl."
Arthur merebahkan diri, menyamping sambil menatap Earl. Malaikatnya hari ini berdandan dengan menggunakan lipstik berwarna marun yang benar-benar kontras dengan kulitnya yang putih pucat. Tentu saja Arthur tergoda dengan bibir itu. Walaupun make up itu hanya sebuah olesan lipstik, entah mengapa Earl bisa sangat menggoda iman.
Di raihnya dengan lembut tangan Earl dan melingkarkannya pada pinggangnya. Kemudian Arthur mengaitkan kakinya, menindih kaki Earl dengan kaki kanannya. Menjadikannya guling dan memeluk Earl begitu nyaman.
Perfume sialan ini benar-benar membuat Arthur hampir tidak bisa terkendali. Beruntung kau sedang tidur kali ini Earl, Arthur mungkin akan melakukan hal gila jika kau masih merespon tingkah Arthur.
Arthur menyibak pelan anak rambut di telinga Earl. Mengekspos ceruk leher putih Earl yang menggoda. Arthur tersenyum kecut. Ingin rasanya ia menyerang leher itu, tetapi tidak. Arthur tidak akan membangunkan tidur nyenyak Earl sekalipun rumah Earl runtuh.
Tangannya menjelajah pipi Earl dan mendengar irama nafas Earl yang begitu menenangkannya tanpa sadar sampai Arthur memejamkan mata. Mereka tertidur berdua di atas karpet tebal sambil berpelukan seperti teletubis.
Di alam mimpi, berharap Arthur bertemu dengan Earl. Walaupun kenyataan pahit itu tidak juga terealisasikan di alam mimpi. Arthur yang malang...
-Mansion Parker-
"Ayah? Jadi berangkat tidak? Ini sudah sangat siang."
Steve menatap anaknya dengan tatapan lembut dan mengelus puncak kepalanya. Jimmy tampak cemberut sejak pagi karena menunggu neneknya datang ke Mansion. Mereka berencana bermain bersama di taman bermain. Dan siang nanti Jimmy sudah punya jadwal berkunjung ke panti asuhan.
"Sebentar lagi nenek tiba. Kita tidak boleh meninggalkan nenek sendirian di rumah." Ucap Steve berjongkok dan merapikan pakaian yang Jimmy kenakan. Sedangkan Jimmy semakin cemberut setiap menitnya.
Tiba-tiba, seorang pelayan memasuki ruang tamu.
"Tuan, Nyonya Parker sudah tiba." Ucap pelayan itu datang melapor.
Seketika Jimmy turun dari kursi dan berjalan dengan marah keluar rumah. Tapi tatapannya langsung berubah menjadi benci ketika melihat Rose disana.