"Earl? Tumben sekali. Kopi?" tegur senior Earl.
"Tidak, terima kasih. Lambungku terasa perih saat ini. Aku melewatkan makan siang, sedangkan pagi tadi aku hanya kebagian satu potong sandwich," David tertawa.
"Hahaha. Seperti itulah Earl. Kuota manusia yang hadir di hari terakhir gladi resik meningkat melebihi batas. Aku hanya kebagian makan siang. Masih ada keberuntunganku sedikit," kekeh David. Earl pun menghela nafasnya.
"Bagaimana dengan misimu? Ku pikir tugas kalian jauh lebih buruk dan menyedihkan ketimbang diriku yang hanya mengawasi keselamatan Presiden setiap harinya," David pun menyesap kopinya. Earl pun menggelengkan kepalanya sangat frustasi.
"Hanya aku yang bisa melakukannya. Aku masih punya 98 kartu keberuntungan saat ini," puji Earl pada dirinya sendiri. David pun tertawa lagi.
"Ya, tidak ada manusia yang akan hidup dengan luka kecelakaan seperti itu. Kau pengecualian karena memiliki tiket express untuk mendepak malaikat maut pergi dari sisimu. Hahaha,"
"Aku beruntung, Ok? Bukan cukup beruntung," mereka pun berjalan keluar area pembersihan. Beberapa petugas area langsung mengamankan lokasi acara besok.
"Aku dengar beberapa orang membahas tentang intel saat ini. Ada apa dengan intel?" Earl mengangkat bahunya tidak peduli.
"Mereka hanya berusaha mengorek misiku. Timku harus berurusan dengan intel negara asing untuk informasi misiku. Mereka tidak akan mampu mendapatkan apa yang mereka inginkan. Itu saja," David mengangguk mengerti.
"Aku pernah sesekali melihat mereka di sekitar depan gerbang istana. Benar-benar menakutkan. Setiap hari mengawasi seperti berusaha mencari kesempatan di setiap detiknya. Kau tau? Presiden bahkan menambahkan tiga orang personil disisinya," Earl menaikkan alisnya.
"Dengan orang yang sama?" David mengangguk.
"Aku tidak peduli. Setiap kali kami melakukan pembersihan juga mereka selalu lolos dari jaring," Earl pun mengangguk.
"Presiden sangat berhati-hati. Tingkat kriminalitas meningkat tajam saat ini,"
"Kau benar Earl. Baiklah, aku duluan. Istriku menungguku di rumah," Earl pun mengangguk.
"Jangan mengebut," David pun pergi.
Earl berjalan menuju mobilnya. Ia mencari beberapa restaurant cepat saji terdekat dan menemukan restaurant burger. Memesan dua burger large dan air mineral, Earl menghabiskan makanannya selama perjalanan pulang. Lupakan soal aturan, sesekali Earl melanggar aturan makan sambil berkendara sendiri. Tidak masalah
Keesokan harinya, Earl dengan seragam lengkapnya berpakaian rapi dengan timnya langsung menyebar titik yang sudah dikoordinasikan. Semua berjalan lancar hingga tiba saatnya Earl untuk bergantian tugas. Ketika pesta malam khusus para tamu undangan dan beberapa wartawan yang meliput. Earl dengan gaun birunya menuju meja pemeriksaan.
"Earl, tidak diizinkan membawa senjata api dan senjata tajam ke dalam ruangan. Kau titipkan saja disini," kata petugas itu mengenali Earl.
Earl pun tersenyum kecil, mengeluarkan pisau lipat kecil di balik rambutnya, mengeluarkan pistol yang ia selipkan di pahanya lengkap dengan sarung pistolnya. Seketika para petugas menggelengkan kepala. Melihat seorang wanita memakai gaun dengan anggun, menyelipkan senjata api dan senjata tajam di tubuhnya. Cukup mengerikan jika mereka berpikir mengencani wanita cantik ternyata seperti Earl. Mungkin akhir bagi dirinya.
"Boleh aku masuk?" para petugas pun mengangguk setelah menyimpan barang Earl dan menukarnya dengan kunci loker.
Earl disana hanya sebagai tamu undangan karena kebaikan hati Presiden yang membiarkannya hadir disana dengan penuh hormat. Earl menatap sekitar, begitu banyak orang-orang dengan pakaian dan setelan mewah. Beruntung Earl memiliki gaun berwarna biru tua yang tidak terlalu mencolok, tetapi sangat cocok untuknya.
"Apa yang harus aku lakukan sekarang?" tanya Earl pada dirinya sendiri.
Earl hadir disana tidak tahu harus melakukan apa. Karena ini pertama kalinya hadir di sebuah pesta resmi yang mewah. Ia membawa dirinya menuju meja minuman. Meneguk sampange dan berusaha menghafal wajah-wajah baru di ruangan itu. Dan ketika Earl mengambil gelas keduanya, ia dikejutkan dengan tarikan di roknya. Jimy disana.
"Kak Earl!" Earl begitu kaget dan ia langsung melihat sekitar. Kemana Steve, bagaimana bisa Jimy lolos dari penjagaannya.
"Jimy. Dengan siapa kau kemari?" Earl langsung membawa Jimy ke pinggir di area makanan manis. Jimy disana terlihat sangat senang.
"Earl?" Earl menoleh pada Steve yang berjalan ke arahnya. Sepertinya Steve dan Jimy baru saja tiba.
"Tuan Parker," Earl menunduk hormat. Lagi-lagi Steve tidak suka dengan sikap itu.
"Panggil aku Steve,"
"Saya tidak punya kewenangan melakukan itu," Steve menggelengkan kepalanya.
Ditatapnya Earl dengan seksama. Gaun biru selututnya benar-benar pas ditubuhnya. Lace gaun yang menutupi leher hingga lengannya sangat kontras dengan warna kulitnya yang putih pucat. Auranya nampak keluar dengan alami, seperti bongkahan kerang yang melindungi mutiara di dalam tubuhnya.
Earl, dengan sanggul sederhana membalut indah rambut coklat gelombangnya. Jepit rambut perak yang menahan helai demi helai anak rambut yang lolos di dahinya. Menghiasi lekuk rahangnya yang tegas nan lembut. Tak lupa dengan makeup tipisnya. Steve tidak bisa menahan bibirnya untuk tersenyum mengagumi keindahan Earl.
"Aku tidak tahu, jika kau akan cocok mengenakan gaun," puji Steve tidak bermaksud menyindir. Earl tersenyum kecil.
"Rekan saya akan mati tertawa karena melihat saya memakai gaun,"ucap Earl santun.
"Tidak, kau cantik Earl. Hanya saja kau sering menampiknya," Steve memandang Earl dengan tatapan teduhnya. Earl hanya tertunduk. Tidak tahu harus memberikan respon seperti apa.
Ketika mereka cukup lama mengobrol, Steve dan Jimy pergi untuk menyapa Presiden dan memberikan ucapan selamat pada ibu negera. Earl melangkah ke area balkon dengan segelas anggur. Earl tidak pernah tahu jika pesta semembosankan ini ketika tidak membawa partner.
Tangannya menggoyang-goyangkan anggurnya menatap bosan pada langit malam. Dan saat tiba-tiba Earl menjadi siaga setelah ia tiba-tiba merasakan sebuah tatapan di belakang tubuhnya. Earl langsung terperanjat kaget, di lemparnya gelas anggur itu pada seseorang itu sebelum Earl mendesis tajam.
"Arthur..."
Anggur itu hanya berakhir di tembok ketika Arthur berkelit dengan gesit.
"Aku siap menjadi pasangan kencanmu di pesta ini, Earl," ucap Arthur sinting.
Ia dengan cepat berusaha mendekati Earl, namun kalah cepat ketika Earl melompat ke atas pagar dan memberikan tendangan memutar disana. Arthur terpukul mundur, ia merasakan kedua siku tangannya nyeri saat betapa kuatnya tendangan Earl tadi.
Namun tidak ada kesempatan lain lagi ketika Earl hendak lompat turun dari balkon, Arthur menarik tubuh Earl ke belakang dan membuat Earl jatuh ke pelukannya.
"KA-"
Arthur langsung membungkam mulut Earl. Membawanya ke pojok balkon dan menekan tubuh Earl disana. Arthur mencium Earl dengan ganas. Tidak memberi kesempatan bagi Earl untuk berteriak bahkan memberontak, Arthur mengangkat Earl untuk duduk di atas pagar dengan tetap mempertahankan ciuman mereka.
Earl merasa pusing sedikit memikirkan apakah otak Arthur bekerka dengan baik saat ini?
.
.
.
To be continued