"Hei, aibo."
Aibo. Setahuku itu adalah panggilan seseorang kepada partnernya atau mungkin bisa diartikan sobat dalam bahasa Jepang.
"Apa?" sahutku.
"Sepulang sekolah, kita main PS, yuk," ajak Arkan.
"Boleh."
Terkadang kami main PS berdua di tempat rental selama satu atau dua jam. Tempat yang biasanya kami kunjungi cukup dekat dengan sekolah, jadinya kami sering main pas sepulang sekolah dibanding liburan. Alasan kami sering main di rental itu bukan karena dekat dengan sekolah saja, tapi karena harga satu jamnya murah, yaitu lima ribu untuk PS3 dan dua ribu lima ratus untuk PS2. Selain itu, ada warung di sebelahnya sehingga kita bisa beli cemilan tanpa perlu pergi jauh.
"Mau main apa?" tanya Arkan.
"Lanjutin yang waktu itu aja."
"Oke. Kita main tiga jam, bagaimana?"
"Boleh."
Terakhir kali kami main sekitar satu minggu yang lalu. Kami memainkan game tembak-tembakkan dengan musuhnya adalah zombie. Karena gamenya seru, kami sering main lama, paling cepat dua jam.
Kemudian, terdengar suara bel masuk. Semua teman-teman sekelasku langsung pergi ke tempat duduknya masing-masing, tidak terkecuali Arkan. Setelah menunggu kira-kira lima menitan, datanglah seorang perempuan memakai seragam hijau dengan rok panjang. Beliau adalah guru yang mengajar jam pertama, yaitu pelajaran matematika.
"Beri salam!" perintah ketua kelas.
Kami pun memberi salam 'selamat pagi, bu' bersama-sama dengan nada yang beda-beda.
"Pagi," balas bu guru dengan datar. "Sebelum kita mulai pelajarannya. Seperti yang dijanjikan minggu kemarin, bagi yang belum atau lupa mengerjakan PR harus dihukum. Jadi, sekarang kumpulkan PR-nya."
Seketika, suasana kelas yang awalnya baik-baik saja berkat sapaan biasa dari ibu guru itu berubah menjadi sedikit tegang setelah mendengar kalimat dari ibu guru itu yang disampaikan dengan nada datar namun mengandung intimidasi.
Sri Sari Lestana. Itulah nama lengkap ibu guru pengajar matematika di kelas kami. Biasanya kami memanggilnya bu Lestana. Beliau dikenal sebagai guru yang jutek dan tidak akan segan-segan dalam menghukum murid yang melakukan kesalahan. Bahkan, dalam hal memberikan tugas.
Walau begitu, aku tidak pernah mendengar dari murid-murid kalau ibu Lestana dipandang sebagai guru killer. Malah, yang ada aku pernah mendengar tentang betapa cantiknya dia dan ada yang berharap ingin menikahinya mau itu dari murid atau guru muda.
Tapi, kurasa aku sedikit mengerti kenapa ibu Lestana tidak dipandang menjadi guru killer yang sering dibincang sehingga menjadi cerita menyeramkan bagi sebagian murid di sini.
"Baiklah, kita lanjutkan pelajarannya. Bagi yang merasa tidak mengerjakan PR, sepulang sekolah temui ibu."
Itulah salah satu alasannya. Beliau tidak menanyakan atau membeberkan langsung siapa yang tidak mengerjakan tugas, seperti kebanyakan guru-guru di sini. Sehingga, tidak menjadi bahan olok-olok teman sekelas.
***
Waktunya pulang sekolah. Itulah waktu yang dijanjikan oleh Arkan, di mana kami akan main PS di rental PS. Setidaknya, itulah yang harusnya terjadi. Namun, karena dia lupa mengerjakan PR matematika. Aku harus menunggunya sampai hukumannya selesai.
Sekarang aku berada di perpustakaan, di mana aku akan menghabiskan waktu menunggu hukuman Arkan selesai. Seperti fungsi tempatnya, di sini aku membaca buku. Bukan buku pelajaran, melainkan novel yang kubawa.
Sebenarnya bisa saja aku baca di kantin. Malah, lebih bagus kalau di sana sehingga aku bisa sambil makan dan minum. Namun, karena kebetulan masih banyak murid yang belum pulang. Aku putuskan di sini. Karena bagiku kenikmatan membaca lebih diutamakan.
"Fi-Fiki…"
Walau suaranya kecil, tapi karena di sini sunyi, jadi aku bisa mendengar dengan jelas kalau ada yang memanggilku. Aku pun mengalihkan pandanganku dari novel ke arah orang itu.
Dapat kulihat, seorang perempuan berseragam sekolah ini berambut hitam sebahu dengan bondu biru gelap berdiri di sampingku. Dia melihatku dengan kepala sedikit menunduk dan sekali-kali mengalihkan pandangannya dariku, yang kurasa dia sedang sedikit malu untuk melihatku secara langsung.
"Ada apa, Sintia?"
Sintia Lesmana. Itulah nama lengkapnya. Dia adalah teman SMP-ku. Dulu, dia teman sekelasku saat kelas tujuh. Bahkan, kami bisa dibilang dekat. Namun, tidak tahu kenapa sejak awal-awal masuk SMA dia mulai tidak banyak bicara kepadaku. Jadinya aku cukup sungkan untuk terus bersamanya, sehingga kami mulai jarang berbicara. Apalagi kami beda kelas, semakin membuat hubungan kami jadi merenggang.
Jadi mengingatkanku saat pertama kali kami bertemu. Dia begitu pendiam dan sering kali terlihat malu-malu. Bahkan, aku harus menjadi pembicara yang pertama agar bisa bicara dengannya. Namun, seiring berjalan waktu dan seringnya kami bertemu di perpustakaan. Dia terkadang menjadi pembicara yang pertama, walau ada sedikit tingkah malu dan diawali dengan suara pelan.
"Ka-Kamu sedang belajar?" tanya Sintia masih dengan suara kecil dan terlihat malu-malu.
"Enggak, aku sedang baca novel," balasku sambil memperlihatkan novel yang kubaca.
"Be-Begitu… A-Apa aku boleh duduk di sebelah kamu?"
"Boleh."
Dengan perlahan, Sintia pun duduk di kursi sebelahku dan menyimpan buku-buku yang dia bawa sedari tadi. Dapat kulihat, semua bukunya adalah buku pelajaran.
"Kamu masih suka belajar seperti dulu, ya."
Setelah aku melontarkan kalimat itu, tiba-tiba tubuh Sintia sedikit tersentak. Lalu, dia pun menjawab dengan suara kecil.
"Hm. Aku memang masih suka baca buku pelajaran dan belajar seperti dulu…" balasnya tidak melihatku.
Sintia memang sejak dulu sangat suka sekali belajar, sampai-sampai dia disebut sebagai kutu buku oleh teman-teman SMP. Bahkan, dengan dulunya memakai kacamata dan tidak terlalu banyak berinteraksi dengan teman-teman semakin memperkuat julukan kutu bukunya.
Oh iya, dia sudah tidak memakai kacamata sejak awal masuk SMA. Awalnya aku kaget melihat itu, bahkan rambut panjangnya yang biasa dikepang sekarang menjadi pendek sebahu. Benar-benar perubahan yang tidak terduga.
"Kamu juga… masih suka baca novel seperti dulu," ujar Sintia tiba-tiba.
"Begitulah."
Kemudian, pembicaraan kami pun selesai. Sehingga, kami bisa dengan fokus membaca buku yang ingin kami baca. Namun, itu tidak bertahan lama karena tiba-tiba Sintia memanggilku.
"Anu… Fiki…"
"Apa?"
"Itu… apa mi-"
Sebelum Sintia berhasil menyampaikan yang ingin dikatakannya, tiba-tiba terdengar seseorang memanggilku dengan cukup keras. Sehingga, dia mengurungkan niat untuk melanjutkan.
"Kakek!"
Kemudian, datang Rani dengan jalan sedikit dipercepat. Dia pun berdiri di depanku, tepatnya di seberang meja, dengan ekpresi yang terlihat kesal.
"Hei, ini perpustakaan. Jangan teriak-teriak!" peringatku.
"Tidak ada siapa-siapa selain kakek, jadi tidak masalah!" balasnya dengan nada kesal.
"Kenapa marah-marah?" tanyaku langsung ke inti.
"Habisnya, kakek menolak untuk pulang bareng denganku dengan alasan main PS bareng kak Arkan."
"Memang benar, aku tidak bohong."
"Terus, kenapa malah ada di sini?!"
"Aku lagi nunggu Arkan beres dihukum sama ibu Lestana. Terus, nanti baru aku pergi main PS."
"Benarkah?"
"Benar."
Kami pun salin bertatapan. Rani dengan mata tajamnya yang mengatakan seolah tidak percaya kepadaku dan aku yang menatapnya tanpa mengalihkannya sedikit pun sebagai pertanda bahwa aku serius dan tidak bohong.
Setelah beberapa saat, akhirnya ekpresi marah Rani mulai mereda. Kemudian, dengan segera dia pun pergi.
"Baiklah, kalau begitu… Aku pulang duluan…"
"Iya. Hati-hati."
Dengan cepat, Rani keluar dari perpustakaan. Bersamaan dengan itu, Sintia yang sedari tadi diam mulai berbicara, dengan nada pelan sekali yang kurasa tujuannya adalah bergumam.
"Sepertinya… Rani masih marah kepadaku…"
Sebenarnya, dulu mereka berdua cukup dekat. Bahkan, Sintia pernah main ke rumah kami untuk main sama Rani. Tapi, entah sejak kapan dan dengan alasan apa hubungan mereka kelihatannya tidak baik.
Aku tidak tahu apa mereka memiliki masalah dan sedang bertengkar. Setiap kali aku bertanya, mereka selalu menjawab tidak ada apa-apa atau kami tidak bertengkar. Sehingga aku memilih untuk mengabaikannya saja.
Namun, dari kejadian tadi, membuatku kembali penasaran. Tingkah Rani tadi seolah tidak menganggap keberadaan Sintia tidak ada. Tadi saja dia bilang kalau hanya ada aku di sini. Bisa saja kalimat itu masuk akal, kalau orang di sebelahku orang yang tidak dikenal.
"Kalian beneran tidak sedang bertengkar atau ada masalah, kan?" tanyaku.
"Tidak… kami tidak bertengkar. Jangan khawatir," balas Sintia.
Lagi-lagi dia menjawab begitu. Bahkan, ekpresi terlihat sedihnya pun masih sama seperti dulu.
"Begitu. Baguslah kalau begitu."
Aku putuskan kembali mengabaikannya lagi, walau merasa tidak nyaman dengan ekpresi sedihnya itu.
Aku bukanlah tokoh utama yang bisa dengan mudah mengatakan aku akan menolongmu. Lagipula, para tokoh utama itu mengatakan itu karena memang sudah diatur begitu. Kalau saja tidak diatur, aku yakin para tokoh utama itu akan benar-benar memikirkannya dulu sebelum dengan lantangnya mengatakan hal itu. Seperti risiko apa kalau terlibat masalah itu, apa benar-benar bisa menolongnya, apa kalimat seperti itu bisa dipertanggung jawabkan, dan lainnya.
"Oh iya, tadi kamu mau mengatakan apa?" tanyaku mengingat apa yang tadi tidak jadi diucapkan Sintia.
"Ti-Tidak… bukan apa-apa… Maaf…"
"Tidak perlu minta maaf."
Perbincangan pun berakhir. Lagi-lagi kami terdiam. Aku tahu kalau perpustakaan memang harus tenang, tapi aku rasa tenang ini kurasa bukanlah yang sesuai.
Tapi, aku bisa apa. Keberanian untuk mencari tahu alasan kesedihan Sintia saja tidak bisa. Namun, mau menuntut agar ketidaknyamanan ini hilang. Benar-benar tidak tahu diriku ini.
Kesunyian ini pun terus terjadi sampai tiba-tiba terdengar suara nada dering dari handphone-ku. Ada pesan masuk dari Arkan yang mengatakan kalau hukumannya selesai dan memintaku untuk datang ke gerbang sekolah.
"Ma-Mau ke mana, Fiki?" tanya Sintia saat aku baru saja berdiri.
"Aku mau pergi main PS sama Arkan."
"Ka-Kamu masih suka main sama Arkan?"
Sintia pernah bertemu dengan Arkan, bahkan mengobrol, walau tidak sering. Jadi, dia tahu siapa itu Arkan.
"Begitulah."
"Hati-hati di jalannya…"
Kemudian, aku pun meninggalkan Sintia yang kembali membaca buku pelajaran setelah mengucapkan itu.
Sesampainya di gerbang, aku bisa menemukan Arkan sedang berdiri di dekat gerbang sekolah. Setelah melihatku, dia pun berlari kecil ke arahku.
"Gomen, aibo. Tidak kusangka, aku bisa melupakan PR dari bu Lestana, heheheh."
"Lain kali, cobalah untuk langsung mengerjakan PR sesampainya di rumah."
"Padahal kamu sendiri tidak begitu, tapi memberi ceramah begitu kepadaku."
"Setidaknya aku tidak pelupa sepertimu."
"Heheheheh. Oh iya, apa kamu baik-baik saja? Apa tadi ada masalah?"
"Kenapa kamu bertanya begitu?"
"Aku sudah lama mengenalmu, jadi aku tahu ekpresi apa yang kamu pasang di saat apa. Bisa dibilang, ini adalah kekuatan sahabat!"
"Bukan masalah yang besar. Hanya merasa bosan menunggumu selesai dihukum."
"Begitu. Aku benar-benar minta maaf!"
"Sudahlah. Ayo kita pergi, bisa-bisa nanti malah jadi penuh."
"Oke. Let's go!"
Kami pun pergi ke tempat rental PS, dengan pikiranku yang terus saja memikirkan Sintia.