Sampai waktu pulang, aku tidak mendapatkan bisik-bisik dari sekitar sekolah tentang kejadian kemarin. Bahkan dari para fans Bu Lestana yang memiliki keinginan menjadi suami atau pacar atau minimal dekat dengannya. Aku tidak tahu apakah tidak ada yang melihatnya atau mereka memakluminya sehingga tidak menjadi hal yang menghebohkan.
Tentu saja, berkat hal itu, membuat perasaanku tenang sehingga membuatku berpikir aku akan baik-baik saja.
Di sekolah saja tidak begitu, apalagi di luar daerah sekolah. Begitulah pikirku.
Hingga aku sampai di rumah. Tidak ada hujan, petir, gempa bumi, gunung meletus, badai, dan bahkan tanpa ada peringatan. Tiba-tiba aku diinterograsi oleh cucuku bernama Rani, dengan bantuan intimidasi dari keluargaku yang melihat eksekusiku dengan berbagai ekpresi.
"Jelaskan kepadaku siapa wanita yang pulang bersama Kakek kemarin!" ujarnya dengan keras karena penuh emosi dan tatapan tajam yang membuatku ketakutan. "Kalian pulang sehabis kencan, ya!"
"Hmm… itu…"
Bagaimana dia bisa tahu?! Padahal aku yakin tidak ada Rani atau keluarga yang lain di sekitar sebelum turun naik mobil.
"Jadi ada urusan dulu itu adalah kencan dengan wanita itu, ya?!"
Aku bisa saja jelaskan kalau wanita itu adalah bu Lestana, tapi gimana cara jelaskannya… Terlebih, aku dalam posisi duduk menekuk lutut sebagai tumpuan atau kalau di Jepang disebutnya seiza. Membuatku semakin kesulitan untuk berkonsentrasi untuk mencari jawaban yang tepat.
"Bukankah itu bagus," celetuk Kak Doni. "Akhirnya Riki punya pa-"
"Kakek Doni tolong diam dulu!" bentak Rani sesopan dan serendah mungkin suaranya.
"Iya, maaf-maaf."
"Jadi, apa jawabannya, Kek?" tanya Rani kembali melihatku dengan tatapan tajam.
"Itu…"
Aku benar-benar bingung menjawab agar bagian menjadi pacar Bu Lestana tidak terungkap…
Lagipula… Aku tidak paham kenapa aku bisa mengalami situasi seperti ini. Maksudku, kenapa juga dia harus sampai marah begini? Seolah seperti istri yang mempergoki suaminya sedang selingkuh.
"Rani… kenapa kamu marah?" tanyaku spontan setelah memikiran hal itu.
"Aku engga marah!" balas Rani langsung dengan keras. "Aku cuma pingin tahu aja! Kakek harusnya cerita!"
"Tuh, itu kamu marah."
"Sudah jangan mengalihkan pembicaraan! Cepat jawab!" tepisnya dengan nada lebih keras dari sebelumnya.
Rencanaku membuatnya merasa jengkel dengan godaan sehingga akhirnya malas untuk mengungkit masalah ini gagal total.
Bagaimana ini? Aku mungkin bisa saja menggunakan ide untuk mengelabuinya, tapi aku merasa tidak enak kalau berbohong. Apalagi, sepertinya kalau aku bohong di situasi ini, Rani bisa menebaknya.
"Sudahlah, Rani," ujar Sinta tiba-tiba. "Palingan Fiki hanya diantar pulang oleh ibu guru karena sudah membantunya melakukan sesuatu, mungkin memeriksa jawaban dan lainnya."
Ahhhhh! Syukurlah Sinta membantuku! Arigatou gozaimasu!
"Apa benar?" tanya Rani dengan nada sedikit lebih tenang kepadaku.
"Iya, benar. Aku habis membantu bu Lestana menyusun buku di perpus," balasku. "Bu Lestana engga enak sudah membuatku pulang sore banget, jadinya dia mengatarku pulang dengan mobilnya. Kalau tidak percaya, tanya saja langsung ke bu Lestana."
"Hmm… oke…" ujar Rani menerima. "Kalau gitu, kenapa engga cerita ke aku?" disambung dengan pertanyaan itu.
"Aku minta maaf. Nanti kalau terjadi yang seperti itu lagi, aku akan cerita," balasku sambil sedikit menundukkan kepala.
Sebenarnya aku ingin membantah dengan mengatakan 'Buat apa juga aku cerita?', tapi sepertinya akan panjang lagi. Jadi, aku mengalah saja.
Setelah mendengar jawabanku, Rani tanpa berkata apa-apa berbalik dan pergi begitu saja. Lalu, aku pun berdiri untuk meluruskan kaki yang sudah mati rasa ini.
Aku ingin merasa lega karena terbebas dari hukuman yang entah kenapa aku dapatkan, tapi sesuatu yang dikatakan oleh Sinta dengan bisik-bisik membuatku kembali tegang.
"Paman, nanti ceritakan yang sebenarnya dan bahkan kamu pulang membawa baju sama sepatu baru."
"Ke-Kenapa kamu bisa tahu itu?!" tanyaku kaget, namun dengan suara pelan.
Padahal aku bisa mengelabui mereka semua tentang barang-barang pemberian dari bu Lestana. Seperti untuk baju dan celana dimasukkan ke dalam tas. Sedangkan sepatu aku bawa menggunakan kantong plastik yang kudapatkan karena belanja banyak di warung. Tentu saja karena dusnya dibuang, jadi tidak terlalu mengembung dan aku meminta kantong lebih sehingga sesampainya di rumah aku terlihat seperti membawa dua kantong plastik belanjaan. Apalagi kantongnya berwarna hitam, sehingga tidak akan terlihat.
Jadi, kenapa bisa ketahuan?!
"Pak satpam engga sengaja melihat kamu turun dari mobil bersama seorang wanita," jawab Sinta. "Terus, dia juga lihat kamu bawa kantong merk yang aku ketahui itu dari toko pakaian dan sepatu."
Arghhhhh! Aku lupa memikirkan kemungkinan ada satpam di pos satpam!
"Tenang saja, aku engga bakal cerita ke Rani," lanjut Sinta dengan diakhiri senyuman yang cukup mengerikan bagiku.
"O-Oke… aku akan ceritakan…"
Pada akhirnya aku tetap ketahuan juga… hahahaha…
Tapi, tunggu… Kenapa tadi Rani tidak menanyakan soal kenapa aku bisa bawa baju dan sepatu baru?
***
Hari minggu pun tiba. Seharusnya aku bersantai-santai di hari ini, tapi karena aku ada janji dengan Arkan. Aku harus merelakan beberapa jam bersantaiku.
Seperti yang dijanjikan, aku pergi ke tempat pernikahan om Arkan. Aku menaiki angkot sesuai dengan yang diberitahu Arkan lewat chat. Oh iya, aku perginya sendiri karena Arkan sudah ada di sana sebagai pagar bagus.
Sebenarnya sempat Rani ingin ikut, kalau saja aku tidak berhasil memberikan bukti kalau aku memang benar-benar pergi ke pernikahan om-nya Arkan. Itu pun berkat bantuan Arkan yang langsung video call dan menunjukkan undangan pernikahan dengan dia memakai pakaian pagar bagus sebagai bukti.
Sesampainya di gedung tempat pernikahannya, aku terkejut takjub. Soalnya gedungnya besar, hiasannya terlihat megah, dan banyak sekali stan-stan makanan. Ternyata memang benar seperti kata Arkan, om-nya ini kaya sekali.
Setelah salam dan sedikit mengobrol untuk perkenalan dengan keluarga beserta pengantinnya. Aku langsung menjelajahi semua stan-stan makanan yang ada. Sebenarnya aku ingin makan, tapi makanan yang di stan lebih menggoda.
Aku berencana untuk menikmati semua makanan yang ada di stan satu persatu dan mungkin saja kalau aku ketagihan, aku akan makan lagi sampai puas!
Setidaknya itulah rencanaku sebelum diganggu oleh Arkan…
"Aibo, tolong gantikan aku jaga penerima tamu!"
Itulah kalimat terakhirnya sebelum dia pergi ke toilet dengan tangan di perut.
Jadinya, aku pun duduk diam memperhatikan beberapa tamu yang datang dan mengisi buku daftar tamu. Lalu, nantinya aku memberi mereka sebuah hiasan sebagai tanda terima kasih. Tidak lupa, memberi senyuman dan ucapan terima kasih karena sudah hadir.
Setelah beberapa saat, akhirnya aku bisa duduk dengan tenang karena rombongan yang sedari tadi membuatku sibuk sudah habis. Sepertinya tadi itu rombongan teman atau rekan kerja om-nya Arkan atau dari pihak mempelai wanitanya.
"Terima kasih sudah membantuku, Fiki."
Aku langsung menengok melihat perempuan berkebaya yang duduk di sampingku. Dia adalah kakak Arkan, Puspa namanya.
"I-Iya, kak Puspa…" balasku sedikit gugup.
"Engga usah pakai kak, panggil aja Puspa."
"I-Iya, Puspa…"
"Kamu pasti haus, aku ambilkan minum, ya."
Kemudian, dia pun pergi ke dalam untuk mengambilkan aku minum.
Aku belum terlalu mengenal dan bahkan aku baru tahu kalau Arkan punya kakak waktu di mall kemarin. Jadinya, aku masih gugup bicara dengannya. Apalagi dia perempuan.
Di mana kamu, Arkan?! Cepatlah kembaliii!
"Nih, minumnya," ujar Puspa yang sudah kembali membawa dua gelas jus jeruk dan menyodorkan salah satunya kepadaku.
"Terima kasih…" balasku mengambil gelas itu.
Aku pun langsung meminumnya dan Puspa kembali duduk sebelumnya meminum bagiannya. Setelah beberapa saat kami terdiam dan minum, Puspa tiba-tiba mengajakku bicara.
"Kamu kenal Arkan dari kapan?"
"Kelas satu SMP."
"Ohh, kalian dulunya satu SMP! Terus, gimana Arkan di sekolah? Apa dia nakal?"
"Engga terlalu aneh-aneh, paling kadang suka lupa ngerjain pr dan akhirnya nyontek yang aku."
"Pantesan aku jarang ngeliat dia ngerjain pr, ternyata memang engga suka ngerjain di rumah."
Selanjutnya, dia memberi topik pembicaraan yang ringan dan aku membalas dengan seadanya. Bahkan, ada di mana aku yang memulai topik dulu dan dia menjawabnya dengan baik. Tanpa disadari, aku larut dalam pembicaraan bersama dengan Puspa seolah kami sudah dekat.
Hingga tiba-tiba hapeku bordering, membuat pembicaraan kami terganggu dan harus berhenti. Aku izin mengangkat telepon kepadanya dan tetap di tempat karena malas pergi untuk mencari tempat, terlebih sepertinya pembicaraan yang terjadi bukan hal yang rahasia atau berbahaya untuk didengar oleh orang lain.
"Ada apa, Rani?" tanyaku langsung kepada penelepon.
(Kakek masih lama kah di sana?)
"Sepertinya masih cukup lama. Aku diminta tolong untuk jaga tempat penerima tamu."
(Kakek jadi pagar bagus? Kok bisa? Bukannya Kakek bukan anggota keluarga Arkan?)
"Iya, soalnya…"
Saat hendak menjelaskan alasannya, tiba-tiba muncul tamu baru. Refleks aku meminta sudah dulu ke Rani.
"Ada tamu yang datang, udah dulu, ya!"
Langsung saja kutaruh hapeku dan berdiri untuk memberi salam seperti biasanya. Tamu kali ini sepertinya satu keluarga yang terdiri dari kepala rumah tangga, ibu rumah tangga, dan kedua anak yang satu terlihat seumuran serta satu lagi mungkin masih SD.
"Heiii, Puspaaa~" sapa yang terlihat seumuran. Dia perempuan berambut hitam panjang dengan pakaian yang mewah.
"Gitaaa~" balas Puspa, yang akhirnya mereka pun saling pelukkan dan kecup-kecup pipi.
"Gimana kabarnya?" tanya perempuan itu.
"Baik-baik aja. Udah lama engga ketemu, ya~" balas Puspa. "Om, Tante, dan Ali juga," lanjutnya sambil lihat ke mereka secara bergantian.
"Iya, udah lama. Gimana bapak dan ibumu, sehat?" balas sang bapak rumah tangga.
"Sehat kok, Om."
"Eh, Puspa, dia siapa?" tanya yang namanya Gita tiba-tiba, sambil melihatku. "Pacar kamu, ya?"
Hendak aku membantahnya setelah kaget sesaat, tapi jawaban dari Puspa membuatku terkejut diam.
"Iya, dia pacarku~ Ganteng, kan~"
"Ihhh, kok engga kasih tahu aku sih~"
"Hahahaha!" tawa Puspa cukup lepas. "Engga engga, aku bercanda. Dia teman Arkan yang diundang kemari sama Arkan."
"Dasar, bikin kaget aja~" balas Gita sambil sedikit mengguncang pundak kanan Puspa.
'Harusnya aku yang kaget!' Itulah yang ingin kuteriakkan, tapi kutahan biar engga malu.
"Eh, tapi kayanya kalian cocok, kok."
"Ihhh, apaan sih, Om," balas Puspa menanggapi candaan sang kepala keluarga.
Kemudian, mereka berbincang sedikit sebelum akhirnya mengisi daftar tamu dan masuk ke dalam. Sedangkan aku, diam tersenyum menanggapi karena bingung.
"Maaf, ya, Fiki," ujar Puspa.
"Engga apa-apa…"
"Eh, tapi kayanya aku tertarik ke kamu, deh."
Mendengar itu, aku hanya kaget dan terdiam.
"Hahahaha, canda canda!" lanjut Puspa.
"Aku tahu, kok!" balasku sambil mengalihkan pandanganku.
"Malu-malu kamu lucu, deh~"
Aku hanya tetap memalingkan pandangan dan diam saja menanggapi godaan dari Puspa.
Lalu, aku pun menyadari hapeku masih tersimpan di atas meja. Langsung saja aku ambil karena takutnya lupa atau buruknya tanpa sadar hilang yang mungkin saja diambil sama tamu yang datang tanpa sadar atau gimana gitu.
Melihat layar hapeku, ternyata panggilan dengan Rani masih tersambung. Sepertinya tadi aku kurang ketekan atau kurang tepat tekan layar untuk menutup panggilan. Lalu, aku pun menempelkan hapeku ke telinga dan mencoba memanggil Rani dengan perasaan yang tidak enak.
"Hallo…"
(Siapa itu Puspa?!)