Bersilaturahmi. Menurut kamus KBBI, memiliki arti mengikat tali persaudaraan. Dengan contoh, yaitu mengunjungi rumah saudara untuk saling menyapa, memberi kabar, makan-makan, dan banyak lagi caranya.
Hal itu adalah salah satu tradisi keluarga kami. Biasanya, hal itu dilakukan setidaknya dalam setahun ada sekali. Mau itu ke seluruh keluarga atau hanya sebagain keluarga.
Hari ini, di mana sekolah libur. Aku mendapatkan kabar bahwa anak ketiga dari kakak pertamaku yang bernama Regi akan datang berkunjung bersama dengan keluarganya. Regi memiliki dua anak perempuan bernama Meri dan Cika.
Sehingga, suasana sarapan berubah dikarenakan bertambahnya orang yang sarapan, tepatnya empat orang. Regi sebagai kepala keluarga, Salma sebagai ibu rumah tangga, serta Meri dan Cika anak mereka. Awalnya sepi, karena kami sedang makan. Namun, setelah makan barulah suasana menjadi ramai.
Perbincangan saling menanyakan kabar, apa saja yang sudah terjadi, dan banyak lagi perbincangan yang kami lakukan. Lalu, selesai berbincang-bincang, para orang dewasa melanjutkan perbincangan dan kami para anak kecil memisahkan diri untuk bermain bersama.
Meri, Cika, dan Rani bermain di kamar Rani. Sedangkan aku, main di kamar melanjutkan game tembak-tembak zombie yang sama seperti waktu itu dimainkan bersama Arkan. Selain karena masih terbawa ingin main game ini, aku sekaligus melatih skill menembak lagi. Karena mungkin sudah cukup lama tidak main itu, kemampuan menembakku sudah tidak bagus, jadinya aku sering diketawakan oleh Arkan.
Jadi, aku harus fokus untuk melatih kembali kemampuan tembakkanku. Aku berencana akan bermain game ini selama dua jam dan nanti dilanjutkan dengan game fantasy yang ingin aku tamatkan. Setidaknya, itulah yang harusnya terjadi. Namun, sedikit terganggu karena tiba-tiba ada satu sosok yang datang ke kamarku.
Dia adalah Meri, anak pertama dari pasangan Regi dan Salma. Dulu, aku pernah bertemu dengannya sewaktu kecil. Kami tidak terlalu dekat, namun sifatnya yang mudah berbaur membuat kami cukup akrab. Apalagi sifatnya yang tomboi, membuatnya tidak malu-malu untuk mengobrol berdua denganku yang merupakan laki-laki.
"Hallo, kakek," sapa Meri setelah aku membuka pintu.
"Yo."
"Boleh aku masuk?"
"Silahkan."
Gadis berumur empat belas tahun yang memiliki rambut hitam pendek dengan memakai kaos abu-abu gelap dan celana jeans biru gelap panjang ini pun memasuki kamarku. Lalu, aku pun kembali duduk di lantai untuk melanjutkan game dan Meri pun ikutan duduk di sebelahku.
"Kakek, sudah menamatkan game ini?" tanya Meri.
"Sudah," balasku masih fokus main. "Kamu main game ini?"
"Iya. Sudah menamatkan dua karakternya, di mode normal dan easy."
"Kamu suka main PS?"
"Sangat suka. Apalagi game petualangan."
"Aku baru tahu kamu suka main PS. Sudah berapa banyak yang kamu mainkan?"
"Hmm… kira-kira lebih dari sepuluh."
"Lumayan juga. Mau coba main berdua?"
"Oh, ayo!"
Aku pun memulai kembali permainan dan mengatur agar bisa dimainkan berdua. Dengan perasaan senang, aku pun memberikan stik kedua kepada Meri. Permainan pun berjalan dengan lancar.
"Kakek, biar aku yang lawan di depan. Kakek jaga bagian belakang!"
"Oke!"
Sesuai dengan arahannya, aku pun mengatasi zombie yang berada di belakang dan Meri yang di depan. Berkat taktik ini, kami bisa lebih fokus mengatasi musuh di depan mata tanpa perlu mengkhawatirkan ada serangan dari belakang.
"Kakek, di sini ada amunisi handgun. Kirimin aku amunisi shotgun, yang aku hampir habis."
"Oke, ini!"
"Sip. Makasih, kakek."
Ternyata dia terbilang jago dalam memainkan game. Bahkan, kemampuan memberikan arahan agar kerja sama juga bagus. Berbeda denganku yang mencoba bermain berdua dengan Arkan. Terkadang, aku kewalahan untuk memberikan perintah harus kerja sama, sehingga Arkan yang sering menjadi komando. Karena aku seringnya main sendiri, jadi agak sulit kalau harus memikirkan orang lain.
"Kamu sering main bareng sama siapa?" tanyaku.
"Kenapa kakek nanya itu?"
"Aku hanya penasaran saja. Soalnya kamu kaya yang biasa main berdua."
"Ohhh. Yah, aku sering main dengan pemain lain secara online. Tapi, lebih sering main sendiri, sih."
Aku tidak memberikan pertanyaan lagi dan fokus bermain lagi. Meri juga tidak mengeluarkan satu kata pun untuk melanjutkan pembicaraan.
Aku tidak menyangka ternyata ada perempuan yang jago main game dan memiliki sifat yang nyaman bagiku. Kupikir orang yang aktif itu akan selalu cerewet, seperti Rani. Namun, ternyata Meri berbeda. Sepertinya kapan-kapan aku akan mengajak dia main lagi atau saat aku bertamu ke rumahnya, aku akan meminta untuk main sama dia.
"Ahhh, akhirnya selesai," ujar Meri.
Aku pun melihat smartphone-ku, waktu menunjukkan pukul sepuluh lebih. Berarti, sudah lebih dari dua jam kami bermain.
"Mau lanjut?" tanyaku.
"Hmm… apa kakek punya game yang lain? Yang bisa berdua."
"Ada."
Aku pun mengambil kotak tempat kaset dan mulai mencari game yang dimaksud. Namun, tiba-tiba terdengar suara pintu diketuk. Aku pun berhenti dan melihat ke arah pintu.
"Biar aku saja yang buka," tawar Meri.
Kemudian, Meri pun berdiri dan berjalan menuju pintu. Setelah dibuka, dapat kulihat ada seorang gadis yang hampir sepantar dengan Meri memasuki kamarku.
"Kakek, kami main di kamar kakek, ya!" ujarnya sambil memasuki kamar.
Inginnya sih aku usir dia, karena pasti akan mengganggu kesenanganku. Tapi, rasanya itu hal yang percuma. Jadi, aku abaikan saja dan kembali mencari game yang kucari.
"Loh, di mana Cika, Rani?" tanya Meri.
"Ada di belakang. Ayo masuk, Kak Cika!"
Karena sudah menemukan kasetnya dan penasaran, aku pun melihat ke arah Rani, tepatnya sosok gadis kecil kira-kira yang baru saja masuk. Dia memiliki rambut hitam dikuncir dua, memakai setelan berwarna putih yang lengannya pendek dengan panjang rok selutut, dan gelang bunga berwarna-warni terpasang di lengang kirinya.
Cika. Itulah nama dari gadis itu, yang berstatus anak kedua dari pasangan Regi dan Salma. Aku juga pernah bertemu dengannya sewaktu kecil, namun saat itu dia masih kecil dan memiliki sifat malu-malu. Jadi, kami tidak terlalu dekat dan belum pernah saling bicara.
"Eh, iya, aku lupa bawa rumah-rumahannya. Aku ke kamar dulu. Kak Cika tunggu di sini, ya."
Rani pun pergi meninggalkan Cika dan keluar dari kamarku. Berkat itu, dia pun langsung berjalan mendekati Meri dan bersembunyi di belakangnya.
Sepertinya sifat malu-malu terhadap orang yang asing belumlah berubah. Dia pasti merasa tidak nyaman dengan keberadaanku. Apalagi dia masih berusia sepuluh tahun, pasti tidak nyaman dengan orang yang lebih tua. Benar-benar berbeda dengan kakaknya yang mudah berbaur.
"Cika, jangan begitu. Enggak sopan ke kakek," peringat Meri. "Sapa kakek!"
"Se-Selamat siang, kakek Fiki…" sapa Cika dengan nada pelan dan menongolkan kepalanya sedikit dari balik punggung Meri.
"Cika!"
"Sudah tidak apa-apa, Meri," ujarku menghentikan Meri. "Selamat siang, Cika."
Setelah Rani datang dengan membawa semua mainan rumah-rumahannya, kami pun memainkan permainan masing-masing. Aku dan Meri memainkan game baru, sedangkan Rani dan Cika melanjutkan main rumah-rumahannya.
Setidaknya, itulah yang harusnya terjadi. Kalau saja Rani tidak tiba-tiba meminta atau tepatnya memaksaku untuk main rumah-rumahan bersamanya.
Sebenarnya, bisa saja aku menolaknya. Tapi, masalahnya, itu akan membutuhkan usaha yang keras dan berdebatan yang panjang. Jadi, aku memutuskan untuk mengalah, karena tidak mau membuat Cika ketakutan melihat berdebatan kami. Bisa-bisa aku akan dapat ceramaahan dari Regi.
"Ini makanannya, ayah!" ujar Rani sambil menyodorkan piring plastik dengan makanan mainan kepadaku.
Aku pun menerimanya tanpa berkata apa-apa. Lalu, Rani mengambil kembali piring mainan dengan makanan mainan. Kemudian, dia menyodorkan ke Meri.
"Ini buat kakak," lanjut Rani.
"Terima kasih, mamah!"
Sepertinya kemampuan membaur Meri memang luar biasa. Kelihatan dari penampilannya, dia tidak akan cocok memainkan hal berbau femini dan kekanakan seperti ini. Apalagi dia sendiri mengakui tidak suka main yang seperti ini dan itu juga sebagai alasan kenapa dia memilih ke kamarku setelah Rani mengatakan aku punya PS. Namun, dia bisa menyesuaikannya sehingga terlihat sudah biasa bermain rumah-rumahan.
"Dan ini buat adik."
"Te-Terima kasih, mamah…" ujar Cika malu-malu sambil menerima piring mainan dari Rani.
Selanjutnya, acara makan-makanan pun dimulai. Dengan enggan, aku pun memakan sesuai dengan cara mereka. Setelah selesai, dilanjutkan dengan adegan pergi.
"Ayah, hati-hati mengendarain mobilnya, ya," peringat Rani.
"Iya," jawabku datar.
"Mamah, kakak pergi dulu!" ujar Cika dengan semangat.
"Hati-hati di jalannya, kakak, adik."
Selanjutnya, aku harus bermain seperti mengendarai mobil dan berbincang-bincang kepada Cika dan Meri seolah ayah yang ingin mengetahui keadaan mereka selama di sekolah. Terus, aku juga harus pura-pura menelepon dengan Rani seperti suami istri. Serta, lain-lainnya yang berhubungan dengan kegiatan rumah.
Setelah kira-kira jam satu lebih, Regi serta keluarganya pun pamit untuk pulang. Kami pun mengantar kepulangan mereka.
Di depan pintu masuk rumah, kami saling bersalaman dan mengatakan untuk berhati-hati di jalan kepada Regi serta keluarganya sebelum mereka pergi. Setelah mobil yang dikendarai Regi pergi jauh, kami pun memasuki rumah.
Namun, tidak dengan Rani. Karena aku lihat sepertinya dia mendapatkan telepon dari seseorang. Dia pun berjalan menjauh dari pintu depan dan menerima panggilan itu.
Aku tidak tahu siapa. Tapi, sepertinya orang itu adalah orang yang dekat dengannya. Bukitnya dia terlihat senang setelah melihat siapa yang meneleponnya.
"Kamu penasaran sama siapa Rani telepon, ya?"
Aku langsung tersentak kaget mendengar itu. Dengan cepat, aku melihat ke orang yang membuatku kaget. Dia adalah kak Doni.
"Jangan bikin kaget begitu, kak Doni!" kesalku. "Siapa juga yang penasaran," lanjutku membantah hal itu.
"Masa? Tapi kelihatannya kamu penasaran. Ah, atau sebenarnya kamu merasa cemburu karena berpikir itu dari seorang cowok, ya?"
Aku tidak habis pikir. Dengan usia kak Doni yang terbilang tua, bisa-bisanya bersikap seperti pemuda yang sering menjahili temannya.
"Kalau penasaran, ke sana saja."
"Aku enggak penasaran!"
Kak Doni tidak mengatakan apapun untuk membantah perkataanku, namun dia hanya tersenyum dan pergi ke dalam rumah.
Aku merasa tidak nyaman dengan kak Doni untuk sekarang, jadi aku tidak akan masuk dulu ke dalam rumah dan diam dulu di luar untuk sementara waktu.
"Boleh kok, RInggo."
"…"
"Oke. Jangan sampai telat, ya. Dah."
"…"
"Kakek, kenapa di sini? Enggak masuk ke dalam?"
Mendengar itu aku tersentak kaget dan tersadar dari diamku.
"Eh, ah… Itu, aku di sini lagi nunggu kamu selesai telepon…"
"Emangnya ada apa sampai nunggu aku selesai telepon?"
"Aku mau ngasih tahu bereskan semua mainanmu di kamar."
"Begitu. Kalau gitu, aku masuk, ya."
Rani pun memasuki rumah, meninggalkan aku yang masih syok karena hampir ketahuan menguping.
Sebenarnya, aku tidak ada niat untuk menguping. Tapi, karena kebetulan sudah telanjur mendengar perbincangan yang cukup menarik perhatianku, jadinya aku memutuskan untuk melanjutkan mendengarnya.
Aku rasa dari perbincangan mereka, besok Rani akan pergi bersama dengan Ringgo. Mungkin mudahnya mereka akan jalan berdua ke suatu tempat seperti sepasang kekasih.
Aku tidak tahu seberapa dekat hubungan mereka. Tapi yang pasti, aku tidak boleh berdiam diri saja setelah mendengar itu.