Waktunya istirahat. Biasanya aku akan makan, tidur di kelas, dan banyak lagi yang bisa dibilang adalah istirahat. Tapi, kali ini aku malah dipanggil oleh guru untuk datang ke ruang guru. Setelah di sana, aku pun harus menemui wali kelasku, yaitu Pak Andi.
"Kali ini ada apa lagi, Pak?" tanyaku yang ingin langsung menyelesaikan urusan ini dan pergi makan.
"Aku bisa saja melaporkanmu atas perkataan tidak sopan terhadap guru ke ruang BK," balas Pak Andi.
"Bapak yang baik hati, ganteng, dan rajin menabung. Ada keperluan apa gerangan Anda memanggil saya?"
"Bicara seperti biasa saja."
"Jadi, ada apa, Pak?"
"Aku hanya ingin berkonsultasi kepadamu."
"Tunggu… bukankah ini terbalik? Seharusnya Bapak yang sebagai wali kelas lah yang menjadi orang tempat berkonsultasi, bukan malah kebalikannya."
"Tentu saja kalau itu masalah di sekolah atau berhubungan dengan keluarga murid, aku pantas melakukan peran itu. Tapi, ini masalah lain. Terlebih, aku tidak bisa menceritakan masalah ini kepada orang lain selain kepadamu, murid kesayanganku."
"Bukankah Bapak menyalahkan aturan tentang pekerjaan?"
Aku tidak terlalu mengerti dengan guru sekaligus wali kelasku ini. Dia adalah seorang guru yang taat sehingga tidak pernah datang terlambat ke sekolah dan masuk ke kelas saat jamnya. Bahkan dia dipandang sebagai guru yang baik sehingga disukai banyak siswi dan sebagian siswa di sekolah ini.
Tapi, di sisi lain, dia memiliki sifat yang terbilang unik. Salah satunya adalah sifat sesuai mood. Sebagai contoh, bila dia sedang kondisi buruk, maka dia menjadi menyebalkan. Seperti saat dia memberikan tugas yang banyak dan tidak setengah-setengah. Padahal mood-nya buruk bukan karena murid-murid atau masalah di sekolah.
Lalu, sekarang dia melanggar suatu aturan pekerjaan yang berbunyi 'Jangan campurkan masalah pribadi dengan pekerjaan'. Sudah dipastikan ini karena mood-nya sedang buruk. Oh iya, dia juga punya sifat seenaknya sendiri. Jadi, aku punya firasat buruk tentang konsultasinya ini.
"Ayolah, jangan bersikap tidak peduli begitu, seperti ke orang lain saja."
"Hah… Terus, apa itu?" tanyaku langsung to the point karena tidak sabar ingin makan.
"Aku punya masalah…" ujarnya memulai pembicaraan dengan nada sedih. "Aku mengalami tekanan yang begitu membebani kepalaku. Rasanya begitu sakit sekali… sehingga rasanya aku ingin melepaskan otakku agar tidak merasakan sakit ini. Aku tidak tahu harus bagaimana untuk bisa menghilangkan atau sekedar meringankan beban ini. Rasanya begitu sakit sekali…"
"Sudah, langsung saja ke intinya."
"Jadi, intinya, aku bingung untuk memilih apa membantu Bu Lestani beresin perpustakaan atau segera pulang untuk mengerjakan tugasku."
"Pak, dengan segala hormat, izinkan aku untuk memukulmu."
"Ayolah, jangan begitu. Aku tidak sengaja berjanji untuk membantunya membereskan perpustakaan. Sungguh, itu tidak sengaja!"
"Benar juga, aku lupa kalau memukul Bapak tidak akan mempan. Jadi, biar kupotong isi dompetmu nanti."
"Jangan begituuuuu!" mohon Pak Andi sambil menempelkan kedua telapak tangannya untuk memohon. "Aku benar-benar tidak sengaja melakukan itu! Percayalah!"
Karena apa yang dilakukan oleh Pak Andi ini bisa menarik perhatian para guru yang ada di sini dan nantinya malah jadi pembicaraan yang aneh-aneh. Jadi, aku memutuskan untuk meredakan amarahku dan dengan baik-baik menyuruhnya agar menyelesaikan tugasnya.
"Hah… Sudahlah, nanti pulang dan selesaikan itu. Biar aku saja yang membantu Ibu Lestani."
"Sip, kamu memang yang terbaik!"
"Apa hanya itu saja?"
"Iya, hanya itu. Silahkan untuk istirahat."
Aku benar-benar ingin menghajar orang ini. Kalau bisa, sekarang juga.
Bisa-bisanya dia mengabaikan tugas yang kuberikan jauh-jauh hari. Memang dia sibuk dengan pekerjaan menjadi guru, tapi tetap saja seharusnya dia sudah bisa mengatur waktu agar bisa mengerjakan tugas yang kuberikan tepat waktu.
Kemudian, waktu pulang sekolah tiba. Aku sudah memberitahu kepada Rani bahwa aku ada urusan, jadi dia bisa pulang duluan. Lalu, aku pun pergi ke perpustakaan. Saat sudah sampai di sana, aku mencari keberadaan Ibu Lestani.
Namun, sebelum bertemu beliau, aku malah bertemu dengan Sintia yang sedang membaca buku pelajaran. Karena merasa tidak enak sudah saling bertatap muka tanpa sengaja, aku pun menghampirinya dan menyapa dia.
"Yo, Sintia."
"Ha-Hallo… Fiki…" balasnya dengan nada pelan.
"Apa kamu lihat Ibu Lestani?"
"Ti-Tidak… Apa kamu sedang mencari Ibu Lestani?"
"Iya… Kalau begitu, aku akan pergi mencarinya. Dah."
"Dah…"
Kemudian, aku pun pergi untuk mencari Ibu Lestani. Sebenarnya aku ingin mencoba untuk mengobrol dengan Sintia. Tapi takutnya malah membuat Ibu Lestani menunggu dan aku juga bingung mau mengobrol apa dengannya.
Setelah cukup lama mencari, aku pun menemukan Ibu Lestani yang sedang mengambil buku-buku yang ada di rak. Sepertinya dia ingin menyusun kembali letak buku-buku itu agar lebih rapih.
"Selamat sore, Bu Lestani."
Mendengar sapaanku, Ibu Lestani menghentikan apa yang dilakukannya dan melihat ke arahku. Dengan tatapan yang begitu datar, dia pun membalas sapaanku dan memberikan pertanyaan kenapa aku kemari.
"Selamat sore. Ada keperluan apa, ya?"
"Aku diminta oleh Pak Andi untuk membantu Ibu."
"Hmm… Jadi kamu yang namanya Fiki. Kalau begitu, tolong, ya."
Kemudian, aku membantu mengambil semua buku-buku baru yang ada di gudang. Lalu, aku menyimpan semuanya di rak yang sesuai dengan perintah Ibu Lestani.
Cukup lama dan melelahkan untuk membantu Ibu Lestani, bahkan rasanya aku ingin memotong isi dompet Pak Andi sekarang karena membuatku seperti ini dan untuk menghilangkan rasa kesalku. Namun, niat itu tiba-tiba hilang setelah mendapatkan hadiah dari Ibu Lestani.
"Terima kasih atas bantuannya. Ini, minumannya."
Setelah selesai membereskan buku-buku baru di perpustakaan. Aku diajak Ibu Lestani ke warung makan terdekat. Kemudian, dia mengatakan akan mentraktirku makan serta minum. Benar-benar Ibu Guru yang pengertian.
"Terima kasih, Bu," balasku sambil mengambil teh berkemasan kotak di tangan Ibu Lestani.
Ibu Lestani pun duduk di sebelahku, sedikit jauh. Beliau juga membeli teh kemasan kotak untuknya, jadi kami pun sama-sama meminumanya dengan suasana yang agak canggung.
Aku memang cukup dekat dengan Pak Andi, bahkan kalau aku mendapatkan situasi ini aku tidak akan merasa canggung. Tapi yang sekarang ada di dekatku adalah Ibu Lestani. Selain karena dia wanita serta orang asing, dia juga adalah seorang guru. Maka, akan menjadi canggung karena adanya perbedaan kedudukan selain dari umur kami untuk bisa saling berinteraksi. Apalagi aku ini bukan tipe orang yang menjadi pembawa topik pembicaraan dengan orang asing.
"Nama kamu, Fiki, kan?" tanya Bu Lestani tiba-tiba setelah selesai menyedot tehnya.
"I-Iya, Bu," balasku langsung hampir tersedak.
"Maafkan atas tindakan Pak Andi, ya."
"Eh, ke-kenapa tiba-tiba mengatakan itu, Bu?"
"Dia malah menyuruhmu untuk membantuku. Padahal dia sendiri yang bilang tidak ada rencana hari ini dan bisa membantuku. Dasar tidak bertanggung jawab."
Walau aku melihat wajah Bu Lestani saat mengatakan itu terlihat datar dan tidak bernada yang menunjukkan emosi. Tapi entah kenapa rasanya dia kesal dengan mengeluarkan aura yang tidak enak, terutama saat mengucapkan akhir kalimatnya.
"Orang terkadang lupa. Jadi tidak sepenuhnya salah Pak Andi, Bu," jawabku berusaha menenangkan Ibu Lestani.
"Ngomong-ngomong, kenapa kamu mau saja disuruh sama Pak Andi? Memangnya kamu tidak ada tugas di rumah? Seperti membantu menyiapkan makan malam, beres-beres, dan sebagainya," lanjutnya bertanya sambil melirik ke arahku.
Sebenarnya bukan mau saja disuruh, tapi terpaksa melakukannya. Tapi, aku tidak bisa memberitahu hal itu. Mungkin saja nanti malah jadi penjelasan yang panjang.
"Saya kebetulan sedang tidak ada kegiatan apapun. Jadi, saya mau saja."
"Hmm… Begitu."
Kemudian, tidak ada pembicaraan yang terjadi lagi. Bahkan hingga makanan pesanan kami yang berupa bakso kuah dan selesai memakannya.
"Terima kasih atas makanannya, Bu," ujarku yang kurasa sebaiknya pergi. "Saya izin pa-"
Kalimatku terhenti karena tiba-tiba Bu Lestani mengalihkan pandangannya ke tas selendangnya setelah mendengar nada dering, yang kurasa dari ponselnya. Setelah mengambil ponsel dan mungkin selesai membaca isi pesan yang masuk. Bu Lestani kembali melihat ke arahku.
Saat aku hendak melanjutkan kalimatku, tiba-tiba Bu Lestani memegang tanganku. Lalu, membawaku pergi setelah membayar semuanya. Aku hanya bisa diam terbawa oleh Bu Lestani yang sepertinya sedang terburu-buru, terbukti dari langkah cepatnya untuk membawaku pergi tanpa mempedulikan pandangan orang-orang yang dilewatinya.
Kalau aku adalah anak dan Bu Lestani adalah ibuku. Maka orang-orang akan mengira kalau aku dibawa paksa oleh seorang ibu karena anaknya ternyata ketahuan malah main dan bukannya pulang. Memang hal seperti ini jarang terjadi, karena kalau memang begitu maka yang dilihat orang-orang adalah anak itu diseret dengan telinga yang ditarik.
Namun, dilihat dari pakaian yang kami gunakan. Orang-orang bisa menebak kalau hubunganku dan Bu Lestani adalah murid dan guru. Maka, jadi hal yang aneh melihat pemandangan ini. Kalau diseret ke sekolah masuk akal, karena bisa saja itu untuk membawa murid tersebut yang ketahuan bolos masuk ke kelas. Tapi, arah Bu Lestani menyeretku adalah menjauh dari sekolah.
Bu Lestani ternyata membawaku ke tempat parkir kendaraan khusus untuk para guru, yang letaknya melewati dua bangunan di sebelah sekolah. Menurut informasi yang kudapatkan, tempat parkir guru sengaja dipisahkan dari tempat sekolah karena kebanyakan guru naik mobil. Sehingga, kalau disatukan di halaman depan sekolah maka akan menyempitkan halaman depan. Sedangkan untuk para murid yang membawa kendaraan pribadi, kecuali sepeda karena tempat sepeda disediakan di halaman depan sekolah. Ada di seberang jalan sekolah.
Saat di tempat parkir ini, tepatnya di dekat mobil milik Bu Lestani. Barulah aku bisa bicara untuk menanyakan alasan kenapa Bu Lestani tiba-tiba menyeretku kemari.
"Maaf, Bu. Kenapa Ibu tiba-tiba membawa saya kemari?" tanyaku dengan nada biasa agar terkesan biasa saja menanggapi kejadian aneh ini.
"Maaf membuatmu terlibat dengan hal ini," jawab Bu Lestani. "Tapi Ibu benar-benar membutuhkan bantuanmu. Untuk penjelasannya, nanti Ibu beritahu. Jadi, silahkan masuk dulu."
Ibu Lestani pun membukakan pintu kiri depan mobil. Aku pun masuk dan duduk di kursi tanpa memberikan pertanyaan lagi dan menyimpan tasku di jok belakang. Kemudian, Bu Lestani pun masuk dan duduk di kursi pengemudi.
Sebenarnya aku cukup ragu untuk menerima tawaran Bu Lestani, tapi entah kenapa firasatku mengatakan akan berbahaya bila aku tidak menurutinya dan itu didasari dari perasaanku melihat ekpresi datarnya yang kurasa seperti mengitimidasi.
Memang dipastikan. Makhluk berjenis perempuan adalah makhluk mengerikan. Terlepas dia muda atau tua.
Kalau boleh jujur, aku ingin sekali menanyakan apa yang ingin dilakukan Bu Lestani agar bisa memenuhi rasa penasaranku. Tapi, aku merasa tidak enak melakukan itu. Apalagi dia sekarang sedang mengendarai mobil. Bisa-bisa kalau tidak fokus, nanti malah jadi kecelakaan.
Setelah beberapa saat, mobil ini pun memasuki tempat parkir mall. Kemudian, Bu Lestani pun kembali menyeretku dengan tampang tanpa ekpresi dan tidak mempedulikan orang-orang sekitar yang melihat ke arah kami, ke tempat baju.
Di sana, aku diperintahkan untuk memilih pakaian yang kusuka, tepatnya celana dan baju. Setelah dipilih, Bu Lestani langsung membayar baju dan celana itu. Lalu, menyuruhku untuk menggantinya.
Setelah diganti dari seragam sekolah ke baju kaos kemeja berwarna abu-abu berlengan pendek serta celana pdl panjang berwarna coklat. Aku pun keluar dari tempat pakaian ini dan menunggu Bu Lestani yang ternyata ikutan ganti pakaian juga.
Setelah menunggu kira-kira sepuluh menit di luar dengan kantong keresek berisi seragamku. Bu Lestani pun keluar dan sudah mengubah penampilannya. Sekarang dia memakai gaun santai berwarna merah polos berlengan pendek dengan roknya yang selutut.
Saat aku masih tertegun dengan kecantikan Bu Lestani. Bu Lestani langsung membawaku ke tempat sepatu dan menyuruhku untuk memilih sepatu yang kusukai serta memakainya. Setelah itu, aku lagi-lagi diseret ke tempat parkir dan memberikan perintah untuk menyimpan keresek berisi sepatu sekolah serta seragamku.
Setelah Bu Lestani dandan di dalam mobil, kami kembali, atau tepatnya Bu Lestani kembali membawaku ke dalam mall sehingga aku tidak sempat mengeluarkan kalimat pujian atas kecantikannya yang kian bertambah. Setelah di dalam mall lagi, dia melepaskan tanganku dan memberikan suatu instruksi kepadaku.
"Dengar, Fiki. Kamu harus mengikutiku dan jangan coba-coba kabur," ujarnya dengan nada datar serta wajah datar, namun tatapannya terasa seperti tajam seolah kalimatnya sangat ditekankan. "Lalu, ikuti saja skenario dariku tanpa terkejut atau merasa aneh."
"I-Iya… saya mengerti, Bu…" jawabku yang masih tidak bisa mencerna dengan baik apa yang baru saja terjadi.
Aku pun berjalan di sampingnya atas permintaannya dan mengikuti ke mana dia pergi.
Aku benar-benar tidak bisa mengerti apa dan maksud tujuan Bu Lestani melakukan ini, bahkan hingga rela membelikan apa yang kupakai ini. Tapi, yang jelas, aku mengerti satu hal. Aku harus mengikuti perintahnya suka atau tidak suka.
Setelah berjalan cukup jauh, bahkan hingga naik ke lantai dua menggunakan escalator. Kami pun sampai di depan restauran yang terlihat mahal makanannya, dengan bergaya Korea yang dapat dilihat dari layar televisi yang terpajang di luarnya dan menampilkan makanan serta orang Korea yang memakannya.
"Lihat, itu Lestani!"
Mendengar suara perempuan yang memanggil Guru yang kukenal, tepatnya yang ada di sampingku. Aku pun mengalihkan pandanganku dari layar televisi itu dan melihat dua perempuan berserta dua laki-laki yang terlihat bergaya. Mereka kelihatannya lebih tua dariku atau sebaya dengan Bu Lestani.
Entah kenapa rasanya ada yang salah dengan situasi ini…
"Ihhh, kenapa kamu baru datang, sih," kesal salah satu dengan ekpresi cemberut.
"Maaf, tadi aku harus menunggu dia selesai mengerjakan pekerjaannya," jawab Bu Lestani dengan nada datar seperti biasanya seolah tidak bersalah.
"Eh, jadi dia pacar kamu yang kamu ceritain itu?"
"Iya."
Eh?
EHHHHHHHH!