"Lagi-lagi kamu membuat masalah."
"Mau bagaimana lagi. Mereka yang duluan."
Sekarang aku berada di ruang guru, duduk di kursi dengan seorang bapak guru yang sedang duduk di depanku. Beliau adalah Pak Andi, guru bahasa Indonesia sekaligus wali kelasku. Alasan aku ada di sini karena beliau memanggilku dan melaksanakan tugasnya sebagai wali kelas, yaitu menceramahiku.
"Aku kan sudah bilang berulang kali, tidak perlu sampai mengancam apalagi sampai mau nonjok."
"Kalau tidak dibegitukan, mereka bakal ngeyel."
"Hahh… Aku tidak tahu harus bagaimana lagi untuk menghadapimu."
Aku hanya diam saja mendengar keluhan beliau, karena aku sering mendengarnya. Lagipula, kalau aku membalasnya dengan mengatakan 'kalau begitu, jangan mengurus urusanku'. Pasti aku akan dicap sebagai anak tidak sopan. Selain itu, aku yakin sebenarnya Pak Andi juga tidak mau mengurusku, tapi karena tugasnya menjadi wali kelas maka dia harus melakukannya.
"Kamu itu siswa yang cukup berprestasi, seharusnya jangan sampai merusak image itu."
Seperti kata beliau, aku adalah siswa yang berprestasi. Mulai dari sisi akademi, maupun non akademi. Untuk akademi, aku sering mendapatkan nilai yang bagus dalam semua mata pelajaran. Untuk non akademi, aku pernah menjuarai bidang olahraga seperti catur, lari, dan berenang.
"Aku tidak peduli dengan itu, kalau bersangkutan dengan pencemaran keluarga."
"Aku tidak menyalahkanmu dengan masalah membelanya, tapi masalah bagaimana cara kamu mengatasinya. Bagaimana kalau mereka mengadu ke orang tua mereka?"
"Tidak masalah. Lagipula, aku tidak salah. Jadi, kenapa harus takut."
"Hahh… Aku paham pemikiranmu itu. Tapi, pikirkan juga keluargamu yang bisa terkena dampaknya."
"Aku hanya perlu menyelesaikan masalah ini tanpa melibatkan keluargaku. Kalau perlu, aku rela menghajar mereka sendirian."
Pak Andi tidak mengatakan apa-apa lagi, tapi beliau menunjukkan rasa kesal yang ditahan. Namun, itu tidak bertahan lama setelah beliau mengeluarkan napas panjang.
"Apa kamu udah punya pacar?" tanya Pak Andi tiba-tiba.
"Kenapa Bapak tanya yang begituan?"
"Sudah, jawab saja."
"Apa Bapak ingin curhat tentang percintaan?"
Bapak Andi, beliau terbilang masih berumur muda. Jadi, kurasa wajar kalau dia ingin curhat tentang percintaan. Apalagi kalau pembahasan ini untuk sedikit menghilangkan rasa kesalnya karena mengurusku.
"Bukan, aku tidak ada masalah tentang percintaan. Tapi, aku ingin tahu saja."
"Tidak ada."
"Kalau orang yang disukai?"
"Tidak ada."
"Benarkah?"
"Benar."
"Kalau begitu, kenapa kamu mengalihkan pandangan?"
Aku langsung menggerakkan bola mataku yang entah kenapa digerakkan ke samping ke arah Pak Andi lagi.
"Memangnya ada yang salah kalau aku mengalihkan pandangan?"
"Tidak, sih. Tapi bisa dibilang reaksi seperti itu cukup mencurigakan."
"Maaf, Pak. Apakah masih lama? Bisa-bisa aku kelewatan waktu istirahat dan tidak makan."
"Baiklah, untuk hari ini dicukupkan saja. Kalau ternyata masalah ini masih berlanjut, aku akan memanggilmu lagi."
"Baiklah. Kalau begitu, saya permisi, Pak."
Aku pun berdiri dan berbalik untuk pergi, namun aku kembali lagi karena ada sesuatu yang ingin disampaikan kepada Pak Andi dulu sebelum pergi.
"Oh iya, apa Bapak sudah menyelesaikannya?"
"Tenang saja, pasti akan tepat waktu."
"Baguslah. Kalau begitu, aku permisi."
Aku pun keluar dari ruang guru ini dan berjalan menuju kantin. Saat di tengah perjalan, aku mendengar ada yang memanggil seseorang dengan suara keras.
"Kakek!"
Namaku Fiki Jaya. Biasanya aku dipanggil Fiki atau Jaya oleh teman-teman sekelas. Tapi, walau begitu, aku tahu kalau orang yang meneriaki kakek tadi bermaksud memanggilku. Jadi, aku berhenti dan memutar badan untuk menanggapi panggilan itu.
"Ada apa, Rani?"
"Kakek mau ke kantin?"
"Iya."
"Bareng~"
Tanpa memberikan jawaban untuk menyetujui ajakan Rani, aku pun berbalik lagi dan melanjutkan jalan ke kantin. Lalu, Rani pun menyusul dan berjalan di sampingku.
Belum sampai di kantin, tiba-tiba ada seseorang yang memanggil Rani. Namun, aku ikutan diam dan melihat orang yang memanggilnya itu.
"Hei, Rani!"
Seorang siswa berambut hitam berponi panjang, namun dikesampingkan agar terlihat pendek. Bertubuh tinggi, sama denganku. Wajahnya terlihat seperti siswa yang mudah berteman, ramah tepatnya.
"Hei, Ringgo!" balas Rina, ramah.
Aku tidak terlalu kenal dengan nama-nama Rani, tapi entah kenapa rasanya nama Ringgo tidak asing. Selain itu, entah kenapa rasanya juga aku tidak suka dengan orang sepertinya.
"Mau ke kantin?"
"Iya."
"Mau bareng?"
"Hmm… Maaf, Ringgo. Tapi, aku ke sanannya sama Kakek."
"Kakek?"
"Ah, iya, kamu belum tahu. Ini kakekku. Dia kelas dua, namanya Riki Jaya."
"Be-Begitu… Salam kenal, Kak Riki."
Ringgo mengulurkan tangannya kepadaku. Aku pun menerimanya dan menjabat tangannya, hanya dengan mengatakan 'salam kenal'.
"Kalau begitu, aku ke sana duluan," ujar Ringgo setelah kenalan denganku.
"Oke!" balas Rani.
Ringgo pun berlari kecil menuju kantin.
"Kelihatannya kamu cukup dekat sama si Ringgo itu," ujarku.
"Lumayan, sih," jawab Rani. "Memangnya kenapa? Apa Kakek cemburu?"
"Bu-"
"Tenang saja, Kakek!" potong Rani. "Kami hanya teman sebangku. Terus, dia itu sering nolongin aku kalau aku enggak paham dalam pelajaran. Terus-terus, kami kadang ke kantin bareng."
Dari jawabannya saja, bisa diartikan kalau mereka sangat dekat. Itu berarti, ada kemungkinan kalau Rani menyukai Ringgo. Kalau memang begitu, bukankah seharusnya dia pergi dengan si Ringgo itu.
"Rani."
"Ada apa, Kakek?"
"Kenapa kamu enggak sama Ringgo saja ke kantinnya tadi? Aku enggak apa-apa sendiri."
Entah kenapa Rani tiba-tiba memasang wajah kaget… yang kurasa dideskripsikan seperti dia tidak menyangkan apa yang dia lihat atau didengar tadi. Tapi, itu tidak bertahan lama. Rani langsung mengubahnya menjadi ekpresi marah, marah yang lucu karena mengembungkan pipinya.
"Ke-Kenapa tiba-tiba kamu marah?" tanyaku.
"Enggak, aku enggak marah," balas Rani, sambil memalingkan pandangannya. "Ya udah, kalau gitu aku bakal nyusul Ringgo. Aku bakal makan bareng sama Ringgo, berduaan. Jadi, Kakek pergi aja sendiri, duduk sendiri, makan sendiri."
"Oke."
Aku pun berbalik dan pergi menuju kantin. Kemudian, aku melihat Rani lari melewatiku. Entah hanya salah dengar atau memang benar, saat Rani melewatiku dia mengatakan 'tidak peka'. Tapi, kurasa hanya salah dengar. Untuk apa juga dia mengatakan itu.
Sesampainya di kantin, aku langsung pergi ke tempat yang menjual berbagai macam makanan. Di sana aku pesan nasi dan ayam goreng kecap. Setelah menunggu beberapa saat, pesananku pun diberikan.
Aku langsung mencari meja makan yang kosong. Aku pun mendapatkannya, di bagian luar kantin. Mejanya cukup besar, dengan bangku panjang di kedua sisinya. Pasti akan cukup untuk delapan orang.
"Hei, Sobat~"
Aku menghentikan makanku, lalu melihat ea rah orang yang menyapa itu. Dia adalah temanku, Arkan. Dia membawa semangkok mie baso.
"Boleh gabung?" tanyanya.
"Jangan banyak basa-basi, langsung duduk saja," balasku. "Kamu ganggu aku makan dengan basa-basi itu."
Arkan pun duduk, lalu mengatakan. "Kenapa? Apa kamu lagi kesal?"
"Udah jelas, kan kamu ngeganggu makan aku."
"Bukan-bukan, bukan kesal itu. Tapi masalah lain."
"Enggak, aku enggak kesal sama masalah lain selain itu."
"Aku tahu kalau kamu itu suka masang wajah kaya yang kesal, tapi aku tahu mana yang kesalnya memang karena wajah dan memang sedang kesal," balas Arkan dengan percaya diri. "Oh, aku tahu. Pasti karena kamu enggak makan bareng sama Rani."
"Kenapa aku harus kesal kalau dia enggak makan sama aku?"
"Dia kan cucu kamu. Pasti kamu kesepian karena tidak ada dia. Kamu kan kakek yang sangat menyayangi cucunya."
"Kamu mau pilih kanan, kiri, atau dua-duanya?" tanyaku sambil menunjukkan kepalan kedua tangan.
"Wis-wisss, tenang-tenang, sobat. Aku hanya bercanda, kok~"
"Terserah."
"Oh iya, memangnya di mana Rani? Biasanya kan dia sering makan bareng sama kamu."
"Dia lagi sama temennya."
"Temannya? Laki-laki atau perempuan?"
"Laki-laki."
"Hehhhhhh?!" teriak Arkan, sambil masang wajah kaget yang lebay.
"Woi, kagetnya jangan kaya gitu, lebay tahu!"
"Heheheh, maaf~" ujar Arkan, sambil cengar-cengir. "Siapa nama temannya itu?"
"Ringi… Ringgi… Ringgo… Ah, pokoknya ada Ring-nya."
"Ringgo Perdana, siswa kelas satu B. Dia mengikuti eskul sepak bola. Terus, dia terkenal di kalangan cewe-cewe, terutama kelas satu karena ketampanannya. Dia dicap sebagai playboy oleh para laki-laki."
"Seperti biasa, kamu mengetahui informasi yang tidak penting."
"Heheheh, aku kan bukan sembarang database. Aku adalah database super!"
Aku hanya mengabaikan pernyataannya itu, dan melanjutkan makan. Namun, belum nasi dengan daging ayam kecap sampai di mulutku. Arkan memberikan sebuah pertanyaan, sehingga aku tidak jadi makan.
"Terus, kenapa kamu nyuruh Rani makan bareng sama si Ringgo itu?"
"Woi, kenapa kamu tahu itu?"
"Aku tuh kenal sama kamu enggak kemarin, tapi sudah lama sekali. Jadi, aku bisa memperkirakan kemungkinan yang terjadi. Ah, kurasa aku tahu. Kamu pasti menyuruh Rani makan sama Ringgo karena mereka terlihat akrab."
"Daripada seorang database, kamu lebih tepatnya seorang cenayang."
"Hahahah, kamu berlebihan! Itu kan hanya kekuatan seorang sahabat," balas Arkan. "Terus, kamu enggak masalah?"
"Masalah apa?"
"Ringgo itu tampan, loh. Gimana kalau Rani jatuh cinta kepadanya?"
"Ya, terserah Rani mau suka sama siapa aja. Kenapa aku harus mempermasalahkannya? Bukannya seharusnya kamu yang mempermasalahkan kalau Rani suka sama si Ringgo itu."
Arkan tidak mengatakan apa-apa. Dia hanya menatapku dengan ekpresi serius. Berkat itu, aku merasa jijik melihatnya.
"Kenapa kamu ngelihatin aku kaya gitu? Jijik tahu."
"Maaf-maaf, tadi aku hanya memastikan sesuatu saja," balas Arkan, tidak menatapku dengan serius lagi. "Tentu saja aku masalah kalau Rani, calon istriku, dekat sama cowok lain. Apalagi kalau sampai dimacam-macamin, bakal kupatahkan tangannya!"
Aku pun melanjutkan makan dan membiarkan Arkan untuk mengeluarkan ungkapan cemburunya. Untungnya aku bisa makan cepat, jadi sebelum bel berakhirnya istirahat berbunyi, aku sudah selesai makannya. Sedangkan Arkan, dia bernasib buruk karena baru makan setengah mie basonya.
***
Sekarang sudah waktunya pulang. Aku sedang di gerbang, menunggu jemputan. Biasanya Egi yang menjemput kami atau enggak kami kadang-kadang naik angkot kalau dia masih sibuk kerja. Oh iya, Rani belum ada di sini karena piket dulu.
"Ringgo, kita ke mall, yuk~"
"Oke-oke, kita ke mall."
Mendengar itu, aku pun berbalik dan melihat Ringgo sama dua siswi di kedua sisinya. Mereka sedang jalan menuju gerbang. Aku langsung berbalik lagi dan fokus ke luar, karena tidak mau kelihatan sama si Ringgo.
Kemudian, mereka pun keluar dari gerbang sambil berbincang-bincang. Tepatnya, si Ringgo terus-terussan mengeluarkan kalimat-kalimat gombal kepada dua siswi itu. Kedua siswi itu pun membalasnya dengan heboh dan senang.
"Kayanya aku harus jauhin Rani dari dia."