Kedua mata Lizzy berbinar-binar saat melihat banyak sekali makanan yang tersedia di atas meja. "Makanlah Nyonya, Bibi sudah siapkan semua ini untuk Nyonya." ucap Bibi Santi lemah lembut. Lizzy tersenyum lebar dan duduk di kursi yang tersedia.
Tanpa malu-malu dia mengambil makanan dan memakannya dengan lahap. Untuk kedua kalinya, karisma Lizzy sebagai wanita hebat tercoreng karena tingkah lakunya yang makan di depan Saga. Namun, Saga hanya tertawa kecil tanpa berniat untuk mengejeknya.
Pria itu senang sekali bisa melihat Lizzy makan lahap ketimbang mendengarnya merintih kesakitan seperti semalam. Sebab tak ingin sesuatu terjadi lagi, Saga lantas menarik tangan Bibi Santi menjauh dari Lizzy. "Bibi, tolong jaga Lisa ya. Jangan biarkan dia keluar. Lisa harus istirahat dengan cukup dan perhatikan asupan makanannya. Jangan lupa setelah makan berikan dia obatnya."
"Jangan khawatir Tuan, saya akan menjaga Nyonya sebaik mungkin." Saga bernapas lega dan kembali mendekati Lizzy. "Lisa.." Lizzy menoleh pada Saga tanpa ekspresi.
"Aku akan pergi kerja, baik-baik di rumah." Begitu kata itu selesai terucap di bibir Saga, Lizzy kembali memalingkan wajahnya tanpa ada niat untuk merespon ucapan Saga. Tak ada raut wajah kekesalan dari Saga, dia sepertinya sudah terbiasa dengan sifat diam Lizzy yang mengabaikannya.
Saga kemudian menuju ke kamar untuk mandi dan mengganti bajunya. Setelah rapi, dia lalu keluar dari kamarnya. Sejenak dia melihat pada Lizzy. Gadis yang awalnya makan, kini sibuk melototi tv dengan serius. Acara TV pun menampilkan berita siang. Saga kembali melangkahkan kakinya ke pintu dan keluar lalu menutup pintu lagi.
Sepanjang perjalanan menuju perusahaan, Saga dipenuhi pikiran tentang Lisa. Beberapa hari terakhir, pikirannya selalu tentang wanita itu dan Saga sadar Lisa telah berubah total. Mulai dari kepribadian, gaya berpakaian dan lain-lain yang membuat Saga pangling. Tapi Saga tak memungkiri bahwa semua perubahan yang terjadi pada Lisa benar-benar menarik perhatiannya.
Kemarin, Saga mendapat kabar bahwa surat perceraian telah didapatkan dari pengadilan tepat saat dia masih menunggu Lisa sadar. Melihat gadis itu menderita ditambah dengan beberapa kejadian, dia merasa bimbang sekarang.
Saga percaya bahwa dia tetap dan akan selalu membenci Lisa tapi di sisi lain dia tak menyangkal jika dia mulai menyukai keberadaan Lisa di sampingnya. Apa yang harus dia lakukan?
💟💟💟💟
Lizzy tersenyum penuh makna saat melihat punggung Saga berjalan menjauh darinya dan menghilang di balik pintu. Dia sontak berdiri menuju Bibi Santi setelah mematikan TV. "Bibi," Santi menoleh dan tersenyum ramah pada Lizzy.
"Iya ada apa Nyonya?" balas Santi sambil bertanya. Lizzy terus saja memulas senyuman. Dia tak ingin Santi mengetahui niatnya.
"Boleh tidak aku keluar, aku ingin cari angin tak bagus terus di sini. Kebetulan pakaianku.." Tahu maksud arah pembicaraan, Santi segera menyela Lizzy.
"Jangan khawatir Nyonya semua perlengkapan anda telah diantarkan oleh beberapa orang ke sini." Lizzy membeku, dia tak menyangka bahwa Santi bisa langsung mengerti apa yang dia mau dan berusaha untuk membuat Lizzy tetap berada di tempat tersebut.
"Apa anda perlu yang lain, Nyonya? Tuan sudah mengatakan pada saya bahwa anda harus pulih dulu barulah anda bisa keluar tapi sebelum obat anda habis saya tak akan membiarkan anda keluar." Lizzy berdecak kesal. Inilah maksud Saga dengan tinggal di sini untuk menjaga Lizzy.
Santi bukanlah sekadar pelayan biasa. Dia sudah lama bekerja untuk keluarga Pranaja. Kesetiaannya hanya untuk Tuannya semata dan sekali saja Saga memintanya bahkan hal sekecil pun Santi akan menjalankan perintah dengan serius. Seperti sekarang, menahan agar Lizzy jangan keluar.
"Aku ingin cemilan, bawakan di ruang TV." Santi mengulum senyuman dan mengikuti kemauan Lizzy. Wajah Lizzy sepanjang hari terus saja memasang muka masam. Terkurung dan tak melakukan apa-apa bukanlah hal yang disukai oleh seorang Lizzy tapi mau bagaimana lagi, Santi memihak Saga.
Dia meraih ponselnya dan memainkan games dengan tak berminat. Telepon Lizzy tiba-tiba saja bergetar di dalam genggaman. Lizzy melebarkan matanya melihat siapa yang menelponnya. Dia bergegas menuju kamar dan menutup pintu agar Santi tak menguping.
"Halo Bos," ucap Lizzy berhati-hati pada sang atasan, pemimpin perusahaan tempat dia bekerja.
"Halo, Lizzy. Kenapa kau tak mengangkat teleponku semalam?" tanya sang Bos dari balik telepon. Lizzy menggigit bibirnya karena gugup. Dia sungguh tak tahu kalau bosnya menelpon semalam.
"Maafkan aku bos, semalam penyakit saya kambuh dan saya tak bisa mengangkat telepon." jawab Lizzy masih dengan nada berhati-hati. Lizzy bisa mendengar suara helaan napas berat dari bosnya.
"Aku maklumi itu dan aku ingin kau harus bekerja secepatnya." Kedua mata Lizzy membulat sempurna. Dia menggigit bibirnya, entah harus menjawab apa ucapan dari atasannya itu.
"Tapi bos.."
"Aku tak ingin sebuah alasan darimu Nona Lizzy Cetta. Aku sudah memberimu beberapa minggu untuk bercuti dan aku rasa sudah cukup kuberikan kelonggaran." Lizzy menghela napas. Pasrah dengan keadaan.
"Baik bos saya mengerti. Tapi berikan saya waktu lagi. Bos tahu kalau penyakit saya sedang kambuh bukan, saya harus pulih dulu bos." bujuk Lizzy. Semoga saja bosnya mau mengerti.
"Kalau itu maumu silakan asal jangan berbohong padaku."
"Terima kasih bos, saya pasti akan bekerja kembali secepat mungkin." balas Lizzy senang. Percakapan keduanya selesai begitu Bosnya itu menutup telepon. Lizzy keluar dari kamar dengan helaan napas lega.
Lizzy bersyukur Bosnya itu mau percaya padanya dan memberikan beberapa hari lagi untuk pulih. Sekarang Lizzy harus berpikir keras bagaimana membuat Saga mengijinkan dirinya untuk keluar.
💟💟💟💟
Hari menjelang sore, Saga pulang dikarenakan khawatir dengan keadaan Lizzy. Sampai di apartement, Saga segera mencari gadis yang terus menjadi pusat perhatiannya. "Bibi Santi, mana Lisa?"
"Di kamarnya Tuan sedang istirahat." Saga melangkahkan kakinya menuju kamar yang ditempati Lizzy dan menemukan Lizzy sedang asyik mengutak atik laptopnya. Kedua mata mereka saling bertemu dan sepersekian detik, Lizzy mengubah wajahnya yang awalnya memasang wajah datar sekarang merengut sebal.
Saga duduk di tepi ranjang sambil terus memperhatikan Lizzy. "Apa kau sudah tak sakit perut lagi?" Lizzy hanya mengangguk sebagai jawaban. Saga memincingkan matanya ketika melihat wajah kesal dari Lizzy.
"Lalu kenapa wajahmu kesal begitu? Kau harusnya senang karena tak sakit lagi." Kedua mata Lizzy sontak menatap tajam pada Saga yang juga menatapnya dalam.
"Buat apa aku senang kalau kau mengurungku di sini? Aku mau keluar bukan di sini terus!" ungkap Lizzy dengan kesal dan membuka suara.
"Tapi untuk kesehatanmu. Aku tak mau karena kau terlarut dalam pikiran nanti sakitmu kambuh." Lizzy geram. Sejak dari tadi dia berpikir kenapa Saga yang awalnya sangat benci pada Lizzy bisa mendadak baik dan perhatian padanya.
Apa ada alasan dari kebaikannya ini? "Aku tak butuh perhatianmu, aku butuh kebebasan! Pokoknya aku mau keluar!" serunya jengkel. Saga menghela napas berat, dia baru sadar bahwa Lisa mempunyai sifat keras kepala.
"Ok, kalau itu maumu tapi aku punya permintaan juga." Lizzy menunjukkan ketertarikan dengan mengubah raut wajahnya dengan menatapnya penuh minat.
"Apa syaratnya?" Saga menampilkan senyum smirknya. "Aku akan ikut denganmu."