"Selamat pagi Lisa," sapa Dimas tersenyum pada Lisa yang juga tersenyum manis pada Dimas. Dimas datang bersama dengan seorang perawat untuk mengecek kondisi Lisa.
"Pagi juga dok," balas Lisa singkat. Dimas lalu bertanya pada Lisa tentang bagaimana kondisi yang dia rasakan dan Lisa menjawabnya secara tepat, singkat dan jelas.
"Hari ini setelah ke psikiater kita akan melakukan tes untuk mengecek keadaanmu." Lisa agak sedikit ketakutan mendengar perkataan Dimas. Dengan berhati-hati dia lalu bertanya.
"Apa aku akan disuntik?" Dimas sontak melihat Lisa. Kalau kembali ke masa lalu, Lisa paling takut dengan jarum suntik. Pernah ada pemeriksaan kesehatan mendadak yang membuat mereka harus disuntik dan Lisa sangat susah untuk dibujuk. Akhirnya adalah Lisa memang bisa disuntik tapi dia menangis dengan keras.
Malangnya Lisa karena hari itu ada pengambilan darah. Dimas tertawa canggung. "Nanti kita lihat saja ya." Signal bahaya langsung menyala begitu Dimas mengucapkan hal itu. Jantung Lisa berdebar menunggu pemeriksaan tersebut.
Setelah sarapan tes demi tes dia jalani sampai akhirnya terakhir pengambilan darah. Lisa dibawa oleh Dimas ke suatu ruangan kecil dan mereka sudah ditunggu oleh seorang perawat. "Duduklah di sini." ucap perawat tersebut.
Lisa duduk dengan harap cemas, kedua matanya terus mengikuti pergerakan si perawat dan saat si perawat menghampirinya dengan jarum suntik, Lisa dengan cepat berdiri berusaha menjauh.
Dimas yang berada di dekat tak membiarkan Lisa pergi. Dia menahan tubuh gadis itu dan menariknya agar dia kembali duduk. "Tidak apa-apa." Secara tak sadar Lisa terus mencengkram lengan Dimas.
Saat jarum tersebut menembus kulitnya, Lisa makin mencengkram lengan Dimas dan tak berniat melepaskan pandangannya pada Dimas. Beruntung Dimas adalah dokter yang baik, dia tak keberatan sama sekali ketika Lisa mencengkram lengannya sekuat apapun itu.
"Sudah!" Dimas memandang pada Lisa sambil tersenyum. "Kau pemberani sekali." pujian Dimas mau tak mau membuat Lisa tersenyum dan merona. Mereka lalu kembali menuju ke kamar Lisa dengan lift.
"Terima kasih karena sudah membuatmu repot Dimas." ucap Lisa setelah keduanya berada di dalam lift.
"Sama-sama. Aku ini, 'kan doktermu Lisa." Ucapan tersebut berhenti karena lift tiba-tiba saja mendadak bergetar dan berhenti. Mereka tak bisa membuka pintu lift dan akhirnya menekan tombol darurat.
Kejadian itu makin menakutkan saat lampu di lift mati. Gelap dan pengap yang mereka rasakan dari ruangan sempit tersebut. Tapi bukan itu saja, Lisa tiba-tiba saja menjerit histeris dan tubuhnya bergetar ketakutan. Mulutnya juga berkomat-kamit, tak jelas dia mengatakan apa.
Dimas yang awalnya menarik tubuh Lisa agar mendekatinya ditolak tapi Dimas tak menyerah. Dia menarik Lisa yang masih ketakutan mendekatinya dan memeluk Lisa. "Tenang aku ada di sini." Lisa mendongak dan secara ajaib pula lampu menyala memperlihatkan Dimas yang memasang wajah cemas.
Pintu lift terbuka dan tampaklah beberapa orang yang agak terkejut karena mendapati adegan mesra. Tanpa menunggu lama lagi, Dimas segera membawa Lisa ke kamarnya.
💟💟💟💟
Beberapa hari kemudian hasil pemeriksaan darah Lisa keluar. Dimas sebagai dokter yang menangani Lisa, menunggu dengan cemas tentang surat pemberitahuan itu. "Dokter Dimas," Dimas menoleh ke salah seorang dokter laboratorium.
"Anda dipanggil oleh kepala laboratorium." Dimas langsung beranjak dari ruang kerjanya menuju ruang kepala laboratorium. Ketika dia masuk, dalam diam dia diberi sebuah surat pemeriksaan darah Lisa. Dimas membacanya beberapa menit dengan seksama.
Kedua matanya melebar dan memandang pada kepala laboratorium. "Hubungi wali pasien bernama Lisa itu, kita harus mengatakan hasil tesnya." Dimas menunduk dan menuruti saja.
Lama menunggu, Lizzy dan kedua orang tuanya datang. "Dimas, apa yang terjadi? Kenapa kau ingin kami datang? Apa terjadi sesuatu pada Lisa?" tanya Lizzy cemas pada Dimas yang menunggu mereka.
"Sebaiknya kalian ikuti saja aku, ada berita penting yang harus kalian dengarkan." Mereka berjalan menuju ke ruangan kepala laboratorium. Di sana suasana tegang terasa sekali karena tatapan datar dari seorang kepala laboratoriu tak membuat Lizzy tenang.
"Kami sudah selesai memeriksa darah Nona dan hasilnya sangat mengejutkan. Dia positif menggunakan obat terlarang." Kedua mata Lizzy membulat begitu juga dengan Ayah dan Ibunya yang sama-sama terkejut sementara Dimas menghela napas berat
"Tidak mungkin, itu tidak mungkin!" Lizzy menggelengkan kepalanya tak percaya dengan pernyataan si kepala laboratorium.
"Saudara saya tidak mungkin menggunakan obat terlarang! Seberat apapun masalahnya dia tak akan melakukan hal itu!" lanjutnya lagi membela Lisa.
"Tapi Nona tes darahnya menunjukkan hal tersebut! Tes darah tak pernah salah!" sahut kepala laboratium menghardik Lizzy. Lizzy memijit pelipisnya, dia tertekan dengan berita buruk tersebut.
Dimas juga masih tak percaya dengan hasil tes darah tersebut. Lisa tak mungkin sebodoh itu menggunakan narkoba. "Apa dia pernah depresi atau stres tentang sesuatu?"
"Ya, pernikahannya tak berjalan baik." jawab Lizzy lugas tak merubah ekspresinya. "Kalau begitu mungkin itulah penyebabnya, tenang saja kami akan melakukan sesuatu padanya agar tak terjerumus ke dalam hal itu lagi."
Lizzy entah kenapa merasa kesal dengan ucapan si kepala laboratorium. Dia lalu berdiri dan meninggalkan beberapa orang tersebut. Begitu dia mencapai pintu dan membukanya, Lizzy terkejut melihat Lisa dihadapannya sekarang.
"Lizzy.." lirih Lisa. Lizzy menatap sebentar pada Lisa dan berlalu pergi melewati Lisa tanpa menggubris Lisa. Lisa memasang raut muka sendu, apa Lizzy membencinya karena kabar itu?
"Lisa.." Lisa menoleh pada Dimas yang sekarang ada di dekatnya. Dia lalu merangkul pundak Lisa dan mengusapnya tanda bahwa Dimas ingin menghiburnya.
"Ayo ke kamarmu." Lisa menggeleng tapi tubuhnya ditarik lembut oleh Dimas agar meninggalkan tempat itu. "Dimas.."
Dimas tak menjawab dan lebih memilih melihat jalan. "Apa aku akan sembuh?" tanya Lisa. Dimas berhenti dan menatap Lisa lekat. "Semuanya akan baik-baik saja. Kita akan melewatinya bersama-sama."