Chereads / TRUTH (ketika cinta harus memilih) / Chapter 15 - Dita Ratnandya

Chapter 15 - Dita Ratnandya

Sekelumit rindu bersemayam dalam benakku.

Sebiru masa lalu yang tak mampu ku lupakan.

Aku tak berdaya.

Bagai butiran pasir yang terhempas pasang.

Tak tau arah dan tujuan.

Kini aku meradang.

Termakan cinta yang menyayatkan luka semakin dalam.

Ku biarkan masa laluku hilang,

Bersama kenangan yang kini akan melukiskan sebuah masa depan.

....

Hari yang begitu indah ketika mentari memunculkan sinarnya. Seolah ia tersenyum, menyapa dunia dan seisinya. Tak lagi ada mendung, gerimis bahkan gelegar sang petir. Kini, musim hujan telah berlalu.

"Hi di. Sendiri ajah, Aline mana??" Lingga menghampiriku sembari celingak-celinguk seperti mencari sesuatu yang hilang.

Aku tak menghiraukannya, aku hanya menghela napas panjang seraya meninggalkan Lingga yang kemudian mengejar ku.

"Kenapa? Lu ada masalah sama Aline?"

"Enggak. Gua gak ada masalah kok sama dia." Jawabku sembari terus berjalan dengan Lingga yang tetap mengikuti.

"Terus?? Curhat lah. Gua ini kan temen lu di."

"Ya, nanti deh pas istirahat."

Lingga pun menghentikan langkahnya, "yaudah, sekarang gua mau ke kantin dulu ya" sahut Lingga dari kejauhan.

Ku angkat tangan kanan ku dan memberinya isyarat jikalau aku tak ingin ikut bersamanya.

Sebuah cerita berbeda dengan latar belakang tempat yang sama kini mulai ku rasakan.

Aku duduk di tempat ku biasa duduk di dalam kelas. Sebuah tempat dimana aku dapat memperhatikan sekitarku tanpa disadari.

"Sepertinya ada yang berbeda denganmu hari ini" Jagat menghampiriku dan duduk tepat di sebelahku.

"Gak ada yang berbeda, aku hanya ...." Aku tak melanjutkan kalimat yang sebenarnya ingin sekali ku katakan pada Jagat.

"Kenapa?" Tanya Jagat padaku.

"Enggak. Nanti gua cerita ke lu. Tapi bukan sekarang." Jawabku.

Terlihat Jagat memancarkan ekspresi kekecewaannya atas jawabanku. Namun apa mau dikata, aku masih belum bisa menceritakan perihal masalahku padanya sekarang.

....

( Beberapa hari sebelumnya)

"Aline, apa kamu mencintaiku?" Tanyaku tiba-tiba membuat Aline sedikit terheran-heran dengan pertanyaan bodoh ku itu.

"Iya. Kenapa di?"

"Enggak. Klo gitu besok aku ingin mengajakmu berkencan."

"Kemana?" Tanya Aline dengan raut wajah penuh tanda tanya.

"Kau akan tau besok" jawabku.

Aline kemudian memeluk lenganku. Meski sebuah rasa penasaran menggelayuti hatinya, Aline berusaha untuk menutupinya.

Semilir angin sore ini membuat suasana romantis mulai terasa diantara aku dan Aline, Meski dengan sedikit kebisuan tercipta didalamnya.

"Aline, andai kamu diberi 2 pilihan. Menjadi iblis yang terlihat baik, atau menjadi malaikat yang terlihat jahat. Apa yang akan kamu pilih?" Tanyaku pada Aline sembari membelai lembut rambutnya.

"Pertanyaan yang mudah. Gak ada pertanyaan lain?" Tanya Aline dengan nada sedikit usil.

"Hmmm. Sebenernya ada. Tapi jawab aja dulu yg itu."

"Semua orang pasti akan memilih menjadi malaikat. Meski pada realitanya sedikit sekali orang yang akan benar-benar melakukannya. Karena kebanyakan orang pasti selalu ingin terlihat baik dimata orang lain. Bagaimanapun caranya."

"Ya. Bener sekali. Pacarku pinter yaaaa .... " Aku tersenyum kepadanya sembari mencubit lembut pipinya.

Suasana indah yang tercipta antara aku dan Aline kali ini di iringi dengan terbenamnya matahari di kejauhan. Sinarnya yang merah keemasan membuatku tak ingin segera beranjak dari tempatku terdiam. Ya, aku ingin menikmatinya, suasana indah bersama dengan Aline yang ku sayang. Aku ingin bersamanya, meski hanya sedetik lebih lama dari biasanya. Bersama dengan gemeretak ranting dan suara dedaunan, aku mulai menitikkan air mata.

Aline tak mengetahuinya, setitik airmata yang jatuh, sekelumit perasaan yang pahit yang ku simpan, Aline tak pernah mengetahuinya. Aku akan merahasiakannya, aku tak ingin siapapun mengetahuinya, termasuk Aline.

....

"Dia mengidap penyakit Hepatitis kronis, dan besar kemungkinan akan segera meningkat menjadi kanker hati. Namun keluarga nya yakin, jikalau nanti dia akan segera sehat kembali." Seorang dokter menceritakan sebuah kenyataan yang sungguh pahit untuk ku dengar.

Sebuah kamar bernomor 7 yang sebelumnya pernah ku lewati.

....

(Sebelumnya)

"Kamu, Adi kan!?" Sahut seorang wanita paruh baya ketika aku tengah sibuk menyiapkan pesanan pembeli di outlet C&B's tempat ku bekerja.

"Ya, siapa ya!?" Meski tak asing, namun aku sedikit samar dengan wajah wanita itu.

"Adi gak inget, ini Tante. Mamahnya Dita." Ujar wanita paruh baya itu mengingatkan.

"Ahhh, Tante. Apa kabar??" Tanyaku seketika saat teringat wajah mamahnya Dita yang dulu berbeda dengan penampilannya sekarang. Sekarang beliau terlihat sangat lusuh, seperti seseorang yang sangat kelelahan, stress dan tak sempat merawat dirinya.

"Tante baik. Adi sendiri gimana!?" Sahut Tante menimpali.

"Adi juga baik. Sebentar ya Tante, Adi pengen ngobrol sama Tante, tapi Tante mau kan nunggu Adi sebentar." Ucapku dengan nada sedikit memohon.

"Iya, Tante juga pengen ngobrol banyak sama Adi. Tante tunggu di situ ya." Ujar tante sembari melangkah menuju sebuah bangku di sudut outlet.

Sebuah kejutan yang tak disangka. Seketika, berbagai pertanyaaan mulai muncul dalam otakku. Tentang kehidupan mereka setelah pindah ke Kanada, dan pastinya tentang Dita.

"Bang, boleh ditinggal bentar ya. Aku ada urusan, sebentar ajah." Ucapku memohon kepada bang Indra.

"Yaudah, udah mulai sepi ini. Santai ajah. Take your time di." Jawab bang Indra.

"Makasih bang." Segera ku meninggalkan meja kasir dan menghampiri Tante (mamahnya Dita) yang tengah duduk.

"Maaf Tan. Agak lama" aku duduk tepat di depan mamahnya Dita.

"Iya gak apa-apa di. Kamu udah lulus kuliahnya?" Tanya Tante padaku.

"Belum Tan. Aku masih semester 2 sekarang. Dita gimana kabarnya Tan?" Tanyaku yang seketika membuat raut wajah Tante berubah semakin murung.

Ia menghela napas berat dan panjang. Seakan mencoba menghilangkan beban yang sudah lama tertancap di pundaknya.

"Dita. Dia selalu inget kamu di. Dia ingin bertemu kamu." Tiba-tiba mata beliau mulai berkaca-kaca, hingga beberapa saat dia pun akhirnya tak sanggup menahan airmatanya yang sedari tadi berontak ingin segera jatuh.

Obrolan kami pun berakhir sesaat setelah Tante mengajakku untuk pergi mengunjungi Dita keesokan harinya.

....

"Hi Dita, ini aku Adi." Ucapku lembut.

"Adi??" Dita menangis terisak ketika ku menyapanya.

"Kenapa nangis?? Aku ada hadiah untukmu" ku ambil seikat bunga matahari yang sebelumnya telah ku siapkan untuknya. Nampak dia mulai tersenyum saat melihatnya.

"Kenapa kamu ada disini sih di!?" Tanya Dita, masih dengan airmata yang terus mengalir membasahi pipinya.

"Aku disini untuk bertemu takdirku. Menemaninya, dan mencoba berjalan bersamanya lagi. Karena aku ingin melihat senyumnya setiap hari." Jawabku.

"Kamu tuh gak pantes gombal kayak gitu." Nampak Dita menahan senyum indahnya dengan menutup kedua bibirnya dengan telapak tangannya.

"Sini di, mendekat. Aku mau kasih kamu hadiah juga." Dita menyuruhku mendekatkan bibir ku, seperti aku akan diberi sebuah hadiah ciuman darinya.

(Plakkkk!!)

Dita menampar pipiku, keras sekali. Aku pun terkejut. Bukan ciuman yang kudapat, melainkan sebuah tamparan yang sangat menyakitkan.

"Kamu tau gak aku tuh kangen kamu di. Kamu kemana ajah." Tanya Dita.

"Rasa sakit akibat tamparan itu gak kan sebanding dengan rasa sakit ku karena merindukanmu." Lanjutnya sembari mengelus pipi ku yang dia tampar tadi. Sejurus kemudian diapun mengecup dengan lembut pipiku yang dia tampar tadi.

Aku hanya terdiam. Tak ada satu pun kata yang sanggup keluar dari mulutku. Entah mengapa, kini giliran ku yang terhanyut dalam harunya suasana kala itu, emosi ku membuncah. Air mataku menitik tanpa permisi, ia jatuh tanpa terkendali. Segera ku peluk Dita, aku tak mau Dita melihat airmataku. Aku tak mau Dita melihat ku menangis dihadapannya.

"Aku juga, kangen kamu Dita." Pelukanku semakin erat. Tak ingin rasanya aku melepaskannya barang untuk sesaat.

Kami pun mulai berbincang, rasa haru, bahagia, canda dan tawa mulai menghiasi kebersamaan ku dengan Dita.

"Besok aku ke sini lagi." Ucapku saat akan meninggalkan Dita karena jam besuk rumah sakit sudah habis.

"Ya, janji ya di." Sahut Dita.

"Iya, aku janji! Oh iya, saat aku udah pergi dari sini, kamu baru boleh baca catatan yang aku selipkan di bunga matahari yang tadi aku kasih. Baca ya." Jawabku sambil melepas genggaman tangan Dita dan mulai melangkah pergi meninggalkannya.

....

"Makasih ya di." Ucap Tante saat ku keluar dari kamar dimana Dita dirawat.

"Semoga dengan hadirnya kamu, Dita jadi memiliki semangat untuk segera sembuh." Lanjutnya.

"Iya Tante. Adi juga berharap demikian. Aku pulang dulu ya." Ucapku sembari melangkah pergi.

"Hati-hati dijalan ya di."

"Iya Tante."

Langkahku gontai. Ada rindu, ada bahagia, duka dan gelisah. Semuanya bercampur menjadi satu. Di satu sisi, ada hati yang tak boleh ku sakiti, namun di sisi lain, aku pun masih mencintai Aline.

Tak pernah ku berpikir jikalau Dita akan kembali muncul dalam kehidupanku dalam keadaan seperti itu. Aku tak sanggup berkata jikalau aku kini sudah mencintai wanita yang juga mencintaiku. Ya, Aline. Apa yang harus ku lakukan, aku pun tak tau.

....

Dalam birunya langit pagi hari,

Dalam indahnya cinta berhias rindu.

Kau adalah mimpiku.

Ku belai lembut sang awan,

Bersama namamu,

Ku lantunkan syair-syair rindu yang begitu menggebu.

Yang terbang bersama angan.

Yang takkan hilang meski siang berganti malam.

Ya, kamu.

Setitik cahaya yang selalu menjadi harapanku.

(Sebuah rindu ku berikan bersama seikat bunga matahari untukmu, berharap kau bisa sekali lagi menjadi matahari yang indah dalam hidupku.)

Noted: Adi.

....