Chereads / TRUTH (ketika cinta harus memilih) / Chapter 17 - Jiwa Seorang Malaikat

Chapter 17 - Jiwa Seorang Malaikat

Mencintai adalah hak semua orang, bukan? Termasuk dia yang tak sempurna. Aku mencintai Aline dengan semua kekurangannya. Namun cintaku kini terhalang sebuah tirai tipis dimana aku masih bisa melihat Aline namun tak bisa menyentuh raganya, bahkan aku sudah tak bisa lagi merasakan hatinya.

"Kamu kok ngelamun sih di?" Tiba-tiba Dita mengagetkanku. Dita adalah satu-satunya wanita yang kini menemaniku. Hari-hariku kini lebih sering kuhabiskan bersamanya. Seolah aku hanyalah seorang burung yang kini terjerat sebuah tali di kakinya. Tak mampu lagi terbang bebas, dan hanya bisa bercuit pasrah dengan keadaan.

"Ahhh, enggak. Aku cuma sedikit kepikiran sama kerjaan." Jawabku mencoba berbohong dengan keadaan ku yang sesungguhnya. Aku tak ingin Dita sakit. Aku tak ingin membuatnya kecewa.

"Emang kerjaan mu kenapa??" Kembali Dita bertanya, dan itu membuatku sedikit bingung untuk menjawabnya.

Ingin sekali ku berteriak padanya jikalau ada seorang wanita yang kini mengisi hatiku dan aku sungguh-sungguh mencintainya. Aku ingin pergi bersamanya, menghabiskan waktu dan membuatnya tersenyum juga tertawa. Bukan membuatnya terluka, meradang dan merana.

"Aku ingin berhenti kuliah dan fokus bekerja." Ucapku asal saja.

"Enggak, enggak boleh. Kamu sekarang kuliah karena sebuah mimpi kan!? Masa iya kamu mau melepaskan mimpi itu begitu saja."

Mimpi!? Ya, aku memiliki sebuah mimpi. Dan mimpiku adalah mewujudkan mimpi semua temanku, Jagat, Lingga, dan Aline. Tiba-tiba aku mataku sembab. Airmataku ingin sekali mengalir keluar, namun kutahan. Wanita di depan ku, aku tak ingin membuatnya mencurigai ku.

"Ya, aku masih mempunyai sebuah mimpi." Ucapku pelan.

"Ayo kita sedikit jalan-jalan." Ajak Dita padaku.

Tanpa kata aku mulai mendorong kursi roda yang kini berada di hadapanku. Dita duduk diatasnya. Dengan pelan dan penuh perasaan aku mendorongnya. Membawanya sedikit berjalan-jalan mengitari sebuah taman dekat rumah sakit dimana Dita dirawat.

Terkadang Aku tak mengerti mengapa Tuhan menempatkan aku dalam keadaan seperti ini, keadaan yang sulit sekali untukku membuat keputusan. Bukan hanya tentang cinta, tapi juga tentang semangat hidup seseorang yang mungkin akan ku patahkan jikalau aku salah dalam mengambil sebuah keputusan.

...

Semenjak kepergian ayahku, ibuku berjuang keras demi membesarkan aku. Meski setelah aku mengetahui kenyataan tentang ayah ibu terlihat lebih tenang dan bahagia menghadapi kehidupannya, namun didalam hatinya aku tau jikalau dia sangat merindukan kasih sayang seorang pria.

Ibuku memutuskan untuk membuka sebuah warung kelontong saat itu. Tidak hanya itu, dia pun mencoba untuk membuka sebuah warung sarapan juga. Siang dan malam ibuku mencoba untuk terus bekerja. Dan pada saat itu, ibuku mulai merokok. Ya, sebuah kebiasaan yang sangat tabu untuk dilakukan oleh seorang wanita yang hidup di negara timur seperti ibuku. Aku mencoba untuk mengatakan padanya jikalau kebiasaan nya itu suatu saat akan membuatnya jatuh sakit, namun aku urung untuk mengatakannya. Aku tahu jikalau batin ibuku sebenarnya sedang dalam keadaan tertekan, dan mungkin itu adalah salah satu caranya untuk menghadapi pahitnya hidup yang kini dijalaninya.

"Sekarang Adi sudah besar ya!" Sahutnya ketika dia menghampiriku yang tengah berbaring di atas kasurku yang sangat nyaman. Dia membelai rambut serta pipi ku. Kehangatan tangannya membuatku merasa sangat nyaman.

"Nanti saat Adi sudah dewasa. Adi jangan ragu untuk meminta maaf ya jikalau salah, apalagi jikalau Adi melakukan sebuah kesalahan pada wanita yang Adi cintai." Ibuku melanjutkan perkataannya. Saat itu aku masih berumur 13 tahun. Aku masih belum mengerti arti dari mencintai lawan jenis.

"Ingat kata mamah, seorang lelaki yang baik bukanlah lelaki yang tidak menyakiti hati wanitanya, tapi lelaki yang mampu membuat wanita nya kembali bahagia meskipun dia pernah menyakitinya. Salah satunya ya dengan cara meminta maaf dan mengakui kesalahannya. Dan juga, tetaplah pegang semua yang kamu ucapkan, karena lelaki sejati di lihat dari bagaimana dia memegang segala ucapannya." Ibuku masih terus menasehatiku seraya terus membelai lembut rambutku.

Ibuku adalah seorang wanita yang lembut hatinya juga sikapnya. Tak peduli bagaimana orang lain melihat ibuku, bagiku ibuku adalah seorang malaikat tak bersayap yang dikirim Tuhan untuk mewarnai hidupku dan menyelamatkan mimpiku. Aku bahagia hidup bersama ibuku saat itu, hingga suatu hari dimana ibuku jatuh sakit dan menghembuskan napas terakhirnya di hadapanku. Sampai sekarang aku tak tahu penyakit apa yang telah merenggut ibuku kala itu. Yang ingin ku ingat hanyalah bagaimana ibuku tersenyum dan memperlihatkan wajah bahagianya meski hidupnya tak seindah ekspektasinya saat itu.

....

Tak seindah bunga matahari,

Tak sehangat mentari senja.

Tapi ia berusaha menyempurnakan hidupku.

Ibu,

Tegas mu saat mendidik ku,

Lembut mu dalam bersikap padaku.

Takkan ku lupakan meski puluhan tahun telah berlalu.

Kau bagaikan malaikat tak bersayap untukku.

Lukaku kau jadikan lukamu,

Bahagiaku kau jadikan bahagiamu.

Aku rindu kamu, ibu ...

....

3 tahun adalah waktu yang sangat cepat ternyata, semenjak aku mulai memasuki dunia perkuliahan, menjadi mahasiswa baru, dan kini aku sudah berada di semester 7. Kini acara wisuda kelulusan ku sudah ada di depan mata. Meski waktu kini mulai meninggalkanku, aku masih saja terjebak dalam sebuah aliran waktu dimana aku merindukan kebersamaan ku bersama ketiga teman ku.

Lingga, kini dia memiliki seorang kekasih bernama Mutiara. Lingga kini terlihat lebih sering bersamanya dibanding bersama juga Jagat. Sementara itu, Jagat kini disibukkan dengan skripsinya yang belum juga selesai meskipun sudah mendekati batas akhir pengumpulan. Dan Aline, aku tidak tau, atau mungkin aku mencoba untuk menjauh dan berpura tak ingin mengetahui apapun tentangnya lagi. Meskipun sebenarnya aku pernah mendengar beberapa kabar burung jikalau kini Aline kembali bersama dengan mantannya. Ya, aku hanya bisa berpura-pura bahagia dengan semuanya.

Semakin mendekati waktu sidang skripsi, semakin kami semua tak memiliki waktu untuk berkumpul ataupun berkirim pesan dan menanyakan kabar satu sama lainnya. Kami sibuk dengan kehidupan kami masing-masing. Sidang skripsi akan diadakan 6 bulan lagi, sedangkan acara wisuda akan diadakan 4 bulan setelahnya. Bukan hal mudah menyelesaikan skripsi dalam waktu 2 bulan, apalagi untukku yang berkuliah sambil bekerja.

"Di" sebuah suara terdengar memanggilku. Aku menoleh, mencari darimana asal suara itu.

"Akhir pekan ini lu sibuk gak??" Ternyata yang memanggilku adalah Lingga.

Aku sedikit berpikir. Akhir pekan adalah hari dimana aku harus bekerja di pagi hari dan menghabiskan waktu ku bersama Dita di sore hari. Aku ragu untuk meluangkan waktu bersama Lingga, tapi dalam hatiku sebenarnya sangat ingin sekali aku bisa berkumpul kembali bersama mereka, menghabiskan waktu bersama dengan canda tawa bersama mereka.

"Woi. Kenapa? Kok malah ngelamun sih!?" Kembali Lingga bertanya namun kali ini dengan nada yang sedikit ditinggikan karena dia melihatku sedikit melamun.

"Gua ragu ngga. Akhir pekan itu kan gua kerja." Jawabku.

"Please lah, kali ini ajah. Pokoknya Minggu besok lu harus ikut gua. Btw, Jagat sama Aline juga ikut. Maka dari itu lu gak bisa nolak." Seloroh Lingga memaksa.

"Kemana???" Tanyaku.

"Lu bakal tau pas hari "H" nya" ucap Lingga sembari meninggalkanku yang masih penasaran sekaligus bahagia karena Aline pun akan ikut serta.

....

Hai, apa kabarmu?

Kali ini hanya itu yang ingin ku katakan padamu.

Namun lidahku kelu.

Tak sanggup berucap.

Tak ada suara.

Tak ada satu pun kata saat sosokmu hadir di depan mata.

Hanya rindu yang kini tersimpan di relung kalbu.

Meski ku ingin bersuara.

Namun kataku terendap.

Hanya bisa diam dan mencoba bersandiwara.

....

"Gimana kerjaan mu di??" Tanya Dita kepadaku.

Hari ini adalah hari Sabtu, hari dimana aku selalu mengunjungi Dita diserap aku selesai bekerja. Sudah sekitar 8 bulan Dita tak lagi dirawat di rumah sakit, kini dia sudah berada dirumahnya yang ternyata tidak jauh dari rumah tempat ku tinggal. Dita tinggal di sebuah perumahan di sebuah kawasan di Cikarang. Hanya sekitar 15 menit dari rumahku.

"Baik, tapi besok kayaknya aku bakal absen dulu deh. Ada acara kumpul-kumpul sama temen." Jawabku sembari memotong-motong sebuah apel merah yang kini berada di tanganku.

"Aku boleh ikut?" Tanya Dita tiba-tiba sehingga membuatku menghentikan gerakan tanganku yang masih sibuk membuat potongan-potongan kecil apel supaya mudah dimakan nantinya.

"Kenapa diem?" Kembali Dita bertanya.

Sebenarnya aku tak ingin Dita ikut serta dalam acara ku besok. Alasannya tidak lain karena aku ingin memiliki waktu bersama Aline. Namun disisi lain, aku pun tak ingin membuat Dita merasa dikecewakan.

"Gak boleh ya??? Padahal aku pengen bisa kenalan sama temen-temenmu juga. Aku juga bosen sih, tiap hari dirumah terus. Sekalinya diajak jalan, paling ke taman." Ujarnya yang membuatku iba dan merasa seolah aku sangat bersalah.

"Bukan gitu. Justru aku malah khawatir, takut nanti kamu bakal kecapean atau apa. Tapi kalo kamu maksa, ya mau gimana lagi." Jawabku seraya menyembunyikan sebuah kekecewaan dalam hatiku.

Segera ku meraih ponsel ku dan menghubungi Lingga. Kutanyakan padanya tentang tujuan kita esok hari. Dan ternyata besok mereka akan berlibur ke sebuah villa di sekitar Lembang.

"Abis nelpon temenmu?" Tanya Dita.

"Iya. Ternyata besok mereka mau liburan ke Lembang. Kamu siap?" Ku tanya balik Dita. Mencoba membuatnya ragu, namun ternyata hal itu gagal dan malah membuatnya semakin bersemangat.

"Ahhh, Lembang??" Ucap Dita berteriak kencang. "Udah lama gak kesana. Aku mau banget!!!" Dita nampak bahagia dengan informasi yang ku sampaikan. Dalam hatiku, aku takut jikalau nanti aku melukai Aline saat berada di sana.

"Yaudah kalo gitu aku bantuin nyiapin barang-barangnya ya." Ucapku seraya bangkit dari tempat ku duduk.

Ku ambil tas yang berukuran lumayan besar (gak sebesar tas ransel juga!) Yang berada diatas lemari pakaian milik Dita.

"Kamu mau bawa apa ajah nih??" Tanya ku sembari membuka lebar tas itu.

"Bentar, pertama-tama ayo kita minta ijin mamah dulu." Dita bangkit dari posisi duduknya diatas kasur dan segera menarik pergelangan tanganku menuju tempat dimana ibunya kini berada.

Dan ternyata, ibunya mengijinkannya. Meski Dita memang harus tetap check up sebulan sekali, tapi Dita dinyatakan cukup sehat untuk melakukan kegiatan yang lumayan menguras keringat. Namun semua itu dengan satu syarat, yaitu aku harus menjaga Dita sebaik mungkin. Dan siap siaga jikalau nanti penyakit Dita kambuh saat ditengah-tengah acara. Rencananya aku bersama yang lainnya akan menginap selama 6 hari di villa di Lembang sana dan kami akan berkeliling mengunjungi tempat-tempat wisata yang ada di sekitarnya.

"Yeyy ... Setelah kita dapet ijin, sekarang waktunya packing" sahutnya dengan sedikit berteriak saking senangnya.

Aku pun membantu Dita untuk mengemasi barang-barangnya. Hanya 3 pasang pakaian yang Dita bawa dan beberapa pakaian dalam yang saat itu aku tidak boleh melihatnya. Aku disuruh menutup mataku saat Dita mengambil pakaian dalam dari lemarinya dan memasukannya ke dalam tas yang akan dibawa olehnya. Dengan sesekali bercanda, sore itu membuat ku merasa bahagia saat bersamanya. kini canda tawa kami menggema memenuhi seisi ruangan milik Dita Ratnandya.