Udara dingin masih menyelimuti pagi ku kala itu, embun yang membasahi dedaunan membuat suasana di daerah Lembang sedikit membuatku merasa kedinginan. Namun walaupun begitu, udara disini sangatlah menyegarkan. Bagi sebagian orang, Lembang merupakan tempat yang dingin dengan suhunya yang terkadang bisa sampai 20°C atau bahkan kurang dari itu. Tapi bagiku, Lembang merupakan tempat yang sejuk dan nyaman dimana aku tak merasakan udara panas, juga polusi asap pabrik dan kendaraan. Sebuah tempat yang bagus untuk menenangkan pikiran.
"Mungkin lebih baik aku pergi jalan-jalan mengitari area villa ini. Atau sedikit turun ke bawah, ke area pedesaan mungkin lebih seru" Ucapku lirih sesaat setelah membuka jendela dan menghirup udara segar yang berhembus masuk ke dalam kamar. Nampak saat itu Lingga, Jagat juga Rizky masih tertidur lelap.
Aku pun beranjak dari rumah. Mencoba meregangkan otot juga menjernihkan hati juga pikiranku yang saat ini tengah kacau. Jalanan di sekitar tempat ku menginap lumayan curam, ditambah dengan udara dingin dan embun yang masih membasahi jalanan membuatku lebih berhati-hati dalam melangkah karena licin. Aku tak ingin jikalau nanti aku terpeleset dan terguling ke bawah, karena itu bukanlah hal yang lucu jikalau memang terjadi. Di kejauhan nampak sebuah danau terlihat indah dengan sinar mentari yang mulai muncul di pagi hari.
"Sunrise!" Ucapku lirih.
Ku langkahkan kakiku menuju danau yang dikelilingi oleh pepohonan yang tidak terlalu rimbun dan tinggi, namun meneduhkan. Sudah ku putuskan untuk sedikit menghabiskan waktuku di tepi danau itu. Mungkin dengan sesekali melempar batu ke arah danau akan dapat mengurangi sedikit rasa penat ku. Atau dengan sedikit berteriak, ahhh itu pun jikalau aku tak malu karena mungkin saja jikalau aku berteriak akan ada seseorang yang lewat dan mendengar teriakanku.
Saat itu waktu masih menunjukkan pukul 5 pagi, mentari yang mulai muncul dari peraduannya membuat tempatku menyendiri saat ini nampak begitu indah. Cahaya merah keemasan juga gradasi warna air danau yang hijau kebiruan kini membuat hatiku lebih tenang.
"Apa kau bahagia?" Tiba-tiba sebuah suara menyadarkan ku yang mulai larut dalam hening nya suasana pagi itu.
"Aline!" Sahut ku setelah melihat siapa pemilik suara yang ku dengar barusan.
"Kenapa kamu ada disini?" Sahutku.
"Entahlah. Mungkin karena rasa sakit yang tiba-tiba muncul semalam membuatku tak nyenyak tidur. Dan memutuskan untuk pergi jalan-jalan sejenak di pagi buta begini." Jawabannya membuatku merasa bersalah. Aku tau dia melihat apa yang terjadi antara aku dan Dita. Itu bukanlah suatu hal yang dapat membuatnya bahagia.
"Maaf." Jawabku singkat. Hanya satu kata itu yang terlintas dalam pikiranku. Aku tau pembelaan bukanlah sesuatu yang akan membuat semuanya menjadi lebih baik. Aline bukan lagi kekasihku, meski aku masih sangat mencintainya.
"Semoga kalian bahagia. Maaf jikalau aku terlalu kekanak-kanakan. Terlalu egois dan naif dengan perasaanku sendiri." Dia mencoba memalingkan wajahnya dan beranjak pergi. Mencoba menyembunyikan airmatanya yang mulai membasahi pipinya yang kini mulai memerah.
"Tunggu!" Sergahku seraya menggenggam lengannya. Ku dekap erat tubuhnya yang mungil dan membiarkan ia meluapkan segala emosinya dalam pelukanku. Namun airmatanya telah mewakili semua kata yang tak mampu terucap dari bibir tipisnya. Ia hanya menangis, terisak lalu kemudian membalas dekapanku dengan pukulan lemah nan manja khas wanita.
Saat itu emosi yang telah lama kami pendam akhirnya membuncah. Semua rindu kini seolah telah terobati. Kuusap airmatanya yang masih membasahi pipinya yang merah dengan jemariku.
"Maaf" ucapku seraya melepas pelukanku. Ingin sekali ku ucapkan padanya jikalau aku masih sangat mencintainya, namun bibir ku kelu tak sanggup mengatakannya.
"Aku akan kembali ke villa." Ucap Aline seraya melangkah meninggalkanku yang kini hanya diam terpaku. Ingin sekali menghentikan langkahnya dan mengajaknya berbicara hingga hangatnya cahaya mentari menggantikan dinginnya udara malam hari yang tersisa pagi itu. Namun apa daya, aku bukan lagi kekasihnya. Aku hanyalah seorang lelaki yang tak lagi pantas mengucap rindu dan cintaku karena luka yang telah ku tancapkan dihatinya.
....
Sejenak aku merenung,
Rindu yang ku simpan akhirnya kini menggunung.
Tak sanggup ku ucapkan cinta,
Dia akan menjadi lara,
Bukan lagi tawa bahagia.
Ingin ku hilang,
Dan hidup menjadi kenangan setiap orang.
Tapi belum, cintaku masih belum usai.
Rinduku masih belum sampai.
Harapku,
Suatu saat,
Rindu dan cintaku akan menyentuh hatimu yang kini bukan lagi milikku.
....
"Lu darimana sih di?" Tanya jagat yang menghampiriku saat aku tiba di depan villa.
"Tadi gua liat Aline nangis. Jangan bilang kalo itu karena lu!?" Lanjut jagat walau pertanyaan sebelumnya belum sempat ku jawab. Aku hanya terdiam dengan sesekali menghela napas berat.
"Di!" Teriak Dita sembari berlari keluar villa.
"Kenapa ta?" Tanya ku heran melihat Dita berlari.
"Aline di, dia mengemasi barang-barangnya dan bersiap untuk pergi." Sahut Dita dengan nada cemas. Tanpa pikir panjang Aku langsung berlari masuk kedalam villa setelah mendengar ucapan Dita.
Segera ku masuk kedalam kamar dimana Aline berada. Segera ku raih lengan Aline dan mengajaknya berbicara. Baru kali ini ku melihat Aline nampak begitu hancur.
"Tetaplah disini." Ucapku lirih.
"Untuk apa?" Sahutnya seraya berusaha melepaskan genggaman tanganku di lengannya.
"Semakin lama ku disini, semakin aku merasakan sakit. Lebih baik aku pergi. Lepaskan tanganmu!" Sahut Aline kembali dan kali ini dengan nada sedikit lebih tinggi dari sebelumnya. Aku pun melepaskan genggaman tanganku, tak ada lagi alasan untukku mencegahnya.
Pagi itu, mentari terbit begitu indah. Sinarnya yang kemerahan menghiasi kepergian yang mungkin akan aku sesalkan. Aline, dia pergi meninggalkan kenangan yang sebenarnya tak ingin ku hilangkan. Dia pergi bersama luka yang ku tancapkan. Sebenarnya aku hanya ingin dia lepas, terbang bebas bersama mimpi dan cintanya. Hidup bahagia bersama masa depannya, Meski bukan aku. Aku mencoba untuk tetap bahagia, meski sebenarnya aku pun terluka.
....
"Berikutnya, Ramandito Prihayadi dengan IPK 3,21. Dengan predikat kelulusan sangat memuaskan" seorang MC menyebut namaku saat acara wisuda.
Aku berjalan ke depan panggung dimana topi toga ku akan dipindah posisi tali nya oleh seorang dosen yang menandakan aku telah lulus dari tempatku menuntut ilmu sekarang dan meraih gelar sarjana ku.
Bangga dan bahagia kini kurasakan, Meski tak sempurna. Pandangan ku menyapu setiap sudut gedung tempatku kini berada, mencari sosok yang masih selalu ku rindukan meski lebih dari setahun kami tak pernah lagi saling sapa dan berbicara saling berhadapan. Aline! Aku ingin sekali menemuinya.
Pandanganku kini berhenti dan tertuju pada seorang gadis mungil berkebaya biru dengan riasan bunga berwarna putih yang terselip disela daun telinganya. Dialah Aline yang sedari tadi tengah aku cari keberadaannya. Nampak Ia tengah sibuk berfoto ria bersama teman-temannya. Tawanya nampak terlihat jelas menghiasi wajahnya yang membuat kecantikannya kini semakin bertambah.
"Sudah lama aku tak melihatnya tertawa lepas seperti itu." Ucapku lirih.
Semenjak kejadian di Lembang, aku menjadi jarang bertemu dengannya. Aku lebih sering berpura-pura menyibukkan diriku dengan semua tugas kuliah ku atau pergi nongkrong bersama Jagat dan Lingga. Kedua temanku ini selalu berada di sampingku dan menghiburku saat ku terpuruk. Sebenarnya tak pernah sekalipun aku bercerita tentang perasaanku pada Aline saat hubunganku sudah putus dengannya, namun Jagat dan Lingga seolah sudah mengetahui jikalau aku sebenarnya masih sangat mencintai Aline dan terpaksa dekat dengan Dita karena sesuatu alasan yang tak dapat ku ceritakan kepada mereka.
Semakin aku memperhatikan Aline, semakin aku ingin mendekatinya dan mengucapkan "selamat" padanya atas kelulusannya. Aku pun tak sadar dengan langkah kakiku yang semakin lama semakin mendekatinya. Tinggal beberapa langkah lagi hingga tiba-tiba Jagat dan Lingga datang menghampiriku.
"Selamat untuk kita bertiga" teriak Lingga dengan lantangnya seraya menghampiriku.
"Perjuangan kita akhirnya terbayar sudah. Rasa lelah karena skripsi kini hilang dan berubah menjadi rasa haru dan bahagia." Ucap Jagat sembari memelukku.
"Selamat untuk kalian bertiga!" Tiba-tiba Dita muncul di belakangku seraya memelukku erat.
"Aku bawa bunga juga selempang buat kalian." Dita langsung memberikan aku, Jagat juga Lingga 1 bucket bunga dan memasangkan kami selempang yang bertuliskan nama kami yang kini telah dihiasi oleh sebuah gelar di belakangnya.
"Ayo kita foto bersama." Ajak Dita pada kami bertiga.
"Ahh Aline, ku kira kamu ada dimana. Ayo sini foto bareng. Rizky juga ayo. Kita foto berenam sebagai kenang-kenangan." Sahut Dita dengan sedikit berlari menghampiri Aline seraya meraih lengannya.
Nampak ekspresi terpaksa kini mulai muncul di wajah Aline. Tapi Aline hanya bisa pasrah dan menuruti kemauan Dita.
Aku, Jagat, Lingga, Dita, Aline dan Rizky pun berfoto bersama. Berselfi dan berpose gila bersama. Dan kami pun bergantian melakukan photoshoot satu persatu dengan gaya andalan masing-masing dilanjut dengan foto berpasangan. Di mulai dari Lingga dan Jagat, Aku dan Dita, Aline dan Rizky, Sampai terus bergantian hingga akhirnya tiba saatnya aku berpasangan dengan Aline. Nampak ekspresi canggung di wajah manis Aline, dan mungkin di wajahku juga meski aku mencoba bersikap sewajarnya.
Aku dan Aline berpose dengan sebuah bucket bunga berada diantara kami berdua. Kami saling berhadapan dengan tangan Aline yang tengah menggenggam bucket bunga lalu kemudian aku pun disuruh menggenggam tangan Aline yang tengah menggenggam bucket bunga tersebut. Adegan yang sungguh membuat jantungku berdegup kencang, Aline yang masih terlihat terpaksa saat itu tiba-tiba merona pipinya dan memperlihatkan ekspresi malu-malu saat jemari ku mulai menyentuh jemarinya. Pandangan kami bertemu saat aku mulai menggenggam tangannya. Kali ini raut wajahnya berubah kembali. Bukan raut wajah terpaksa, bukan juga malu-malu seperti sebelumnya. Tapi sebuah kesedihan yang kini mulai muncul. Airmatanya mulai membasahi pelupuk matanya yang indah. Dengan penuh perjuangan dia mencoba menahan airmatanya agar tidak terjun bebas di atas pipinya. Namun tak lama, Aline memalingkan wajahnya dan pergi berlari meninggalkan aku dan yang lainnya. Rizky mengejar Aline, sedangkan aku, Jagat, Lingga dan Dita hanya terpaku. Mematung tanpa mampu melakukan apapun.
Ingin sekali ku mengejarnya, namun aku justru lebih memilih diam dan membiarkannya sekali lagi pergi menjauh tanpa sedikitpun aku berlari dan mencoba meraihnya. Sekali lagi, aku terbentur oleh sebuah janji yang dulu terucap antara aku dan Dita, meski hatiku kini justru terluka.
....
"Alhamdulillah, kamu sudah sembuh total sekarang. Berkat kegigihanmu, semangatmu dan orang yang selalu menemanimu ini." Seorang dokter berkata pada Dita.
Sudah hampir 2 tahun kini telah berlalu. Aku sudah mendapatkan gelarku sebagai seorang sarjana. Dan mendapatkan sebuah pekerjaan baru yaitu sebagai seorang pengajar di sekolah menengah pertama yang tak jauh dari tempatku tinggal sekarang. Meski aku sudah menjadi seorang guru, aku tetap menjalani pekerjaan lamaku, yaitu menjadi seorang pelayan C&B's, sebuah outlet yang menjual makanan serba manis seperti cookies, brownies, dll. Selama 1 tahun lebih ini aku selalu menemani Dita untuk check up ke dokter. Menemani nya menjalani serangkaian operasi untuk membuatnya sembuh hingga kabar baik itu pun akhirnya datang juga. Dita sembuh dari penyakitnya. Dita kini sudah sehat seperti sedia kala.
"Di, makasih ya kamu selalu nemenin aku selama setahun belakangan ini." Dita memelukku dengan hangatnya. Airmatanya terjatuh mewakili rasa bahagia yang membuncah dari dalam hatinya.
"Pergilah kalau kamu mau pergi. Aku tau, hatimu sebenarnya bukanlah milikku. Maaf karena aku telah egois memaksamu untuk tetap tinggal selama ini karena aku butuh kamu. Butuh orang yang mau menemaniku menjalani hari-hariku yang berat ini. Butuh seseorang yang aku sayangi tersenyum di depanku dan menyemangatiku supaya aku tetap kuat menjalani hidupku. Meski aku tahu, kamu hanya berpura-pura mencintaiku, berpura-pura bahagia di depanku. Sekarang yang kamu butuhkan adalah seseorang yang bisa memulihkan hatimu, memberikan kebahagiaan yang sebenar-benarnya bahagia untukmu, dan itu bukan aku. Sekali lagi maaf karena aku selalu bersikap egois." Dita melepaskan pelukannya. Dia mencoba berpaling dariku.
"Dita!" Kuraih lengannya.
"Stop di! Jangan bersikap baik kepada semua wanita. Karena jikalau kamu tetap melakukannya, kamu hanya akan mengecewakan sebagian dari mereka. Kamu harus tegas untuk hidupmu sendiri"
"Maaf" selalu saja hanya kata itu yang sanggup ku ucapkan.
"Pergilah di. Ke tempat dimana kamu akan menemukan bahagiamu. Ke tempat dimana hatimu tak lagi merasa terpaksa untuk mencinta. Aline, aku tau kamu sebenarnya sangat mencintainya. Pergilah di"
Ku lepas genggaman tangan ku pada lengannya. Semua yang dikatakan Dita benar adanya, aku hanya seorang lelaki yang mencoba berpura-pura menjadi sempurna hanya karena ingin mencoba membuat semua orang bahagia. Naif!
....