3 Mei 1998
Sebuah tanggal yang akan aku ingat.
Karena ditanggal itu, seorang gadis istimewa telah terlahir.
Tangis pertamanya membuat dunia tersenyum bahagia.
Bahkan mungkin airmata ibundanya mengalir karena besarnya bahagia yang dia rasa.
Mei '98
Sebagian mengingatnya dengan penuh airmata yang bercucuran.
Bagiku, Mei '98 adalah tahun dimana kau mulai menatap dunia dengan tangis dan tawa yang mulai menghiasi dunia.
Selamat hari lahir ...
Jangan biarkan mimpimu hanya menjadi penghias anganmu.
Gapailah, dan wujudkan.
Love (Ramandito Prihadi)
NB :
"Maaf karena semalam aku tak mengucapkannya langsung dan malah membuat surat ini saat kamu tertidur lelap."
....
Sebuah surat dengan sebuah hadiah yang telah ku persiapkan 3 hari sebelumnya ku letakkan di sebuah meja yang berada tepat di samping tempat tidur Aline. Ku persiapkan hadiah yang mungkin terlihat biasa saja oleh orang lain, namun bagiku ini menunjukkan betapa aku mencintai Aline.
....
Ketika hatimu berteriak, ungkapkan.
Jangan ragu.
Namun saat suara tak mampu kau keluarkan.
Maka tulislah.
Jangan membisu.
Berikan coretanmu, indahkan harimu.
Jangan kau terdiam terpaku.
Tulislah,
Dan kau akan menjadi dirimu yang baru.
"Maaf hadiahnya malah udah dipake duluan ... Cuma 1 halaman doang kok. Selebihnya Aline yang harus mengisinya."
Sebuah buku catatan harian dengan warna hitam dengan di hiasi sampul yang kerlap-kerlip layaknya bintang yang menghiasi sang malam. Dan sebuah ballpoint yang sengaja ku pilih karena kenyamanannya saat digunakan membuatku selalu menggunakan ballpoint itu disaat ku menulis adalah hadiah ku untuk Aline.
....
"Bangun oitttttt!!!!" Sebuah tubuh terasa menindihku, lumayan membuatku sesak nafas sampai-sampai aku terbangun dari tidurku yang lelap.
"Ahhhhh. Padahal baru juga aku tidur. Kan semalam aku mempersiapkan hadiah nya sampai pukul 2 pagi..." Aku sedikit menggerutu dalam hati. Sembari mengucek mataku yang masih samar-samar, aku meraih Lingga dan memeluknya.
"Etttt, di di di .... !!" Lingga memberontak mencoba melepaskan pelukanku. Sedangkan Jagat hanya menggeleng-gelengkan kepalanya sembari menatapku dengan tatapan yang seolah jijik dengan tingkahku.
Pagi itu aku dan Jagat sholat berjamaah bersama Aline, dengan jagat sebagai imamnya. Meski umurku adalah yang paling tua diantara semuanya, namun aku merasa belum pantas untuk menjadi seorang imam. Jadilah Jagat yang selalu menjadi imam saat kami sholat berjamaah.
Di saat aku, Jagat dan Aline sholat berjamaah, Lingga sibuk menyiapkan sarapan juga barang-barang yang akan kami bawa saat berkeliling kota nanti. Lingga bukan seorang muslim, dia adalah seorang Nasrani yang taat. Namun meski begitu, kami tak pernah membedakannya. Karena bagi kami, agama bukanlah sebuah penghalang dari sebuah persahabatan.
"Wuidih.... Ada makanan nih!" Ucapku ketika menghampiri Lingga yang masih sibuk di dapur.
"Telor ceplok ala chef Lingga!" Ucap Lingga sembari berpose layaknya chef profesional.
"Nasinya gak ada??" Tiba-tiba Jagat muncul sembari membuka magic com yang berada di atas meja makan.
"Sarapannya gak usah pake nasi. Sebagai gantinya kita pake roti tawar. Biar kaya bule!!" Jawab Lingga.
"Bule endasmu!!!" Ucap Jagat dengan logat jawanya.
"Udah-udah nikmati saja. Kalo nanti masih laper, kita bisa makan lagi nanti di warung-warung di pinggir jalan." Ucapku.
"Aline mana??" Tanya Lingga padaku.
"Loh, kan tadi dia keluar duluan. Dia belum ke sini??" Ucapku dengan nada sedikit penasaran.
"Mungkin dia masuk kamar lagi di, jemput gih. Kita sarapan dulu" ucap Lingga padaku.
Tanpa kata, aku segera berjalan menuju kamar Aline.
Tok tok tok ....
Suara pintu yang ku ketuk memecah kesunyian yang tercipta di sekeliling rumah. Meski Lingga dan Jagat sangat berisik di dapur. Di sisi lain rumah nampak sangat sunyi karena begitu luasnya bangunan rumah yang kami tinggali ini.
"Iya." Jawab Aline singkat menandakan jikalau ia tengah berada dalam kamarnya.
"Keluarlah, kita sarapan dulu." Ucapku dengan nada lembut.
Pintu pun terbuka. Aline melangkah keluar dari dalam kamarnya dengan mata yang basah karena airmatanya.
"Kamu kok nangis, kenapa!??" Tanyaku panik sembari menghapus airmatanya dengan jari-jemari ku.
"Kamu, kok bisa tahu tanggal lahirku!?" Tanya Aline dengan nada suara yang sedikit terisak.
"Ohhhh. Aku tau saat kamu mengisi biodata dirimu saat akan membuat kartu perpustakaan." Jawabku.
"Makasih hadiahnya." Aline tertunduk mencoba menutupi wajahnya yang lucu karena aku tahu, Aline pasti tersipu malu dengan apa yang ku hadiahkan untuknya.
"Ini ada lagi." Aku menyodorkan sebuah coklat dan setangkai mawar putih pada Aline.
"Happy birthday to you, happy birthday to you. Happy birthday my dear Aline. Happy birthday to you." Tiba-tiba Lingga dan Jagat datang dengan membawa telor ceplok yang ditumpuk sampai tinggi dengan lilin berwarna merah berada di puncak dari telor itu.
"Kalian!!???" Aline semakin terkejut dengan kejutan yang kami berikan. Airmatanya mengalir begitu deras hingga tak sanggup ia mempertahankannya untuk tidak jatuh membasahi pipinya.
"Sebenernya ini dah di rencanain sama Adi, tapi kemarin aku sama Lingga lupa untuk membeli kue ulangtahun. Jadi deh pake telor doang sekarang." Jagat menjelaskan sembari menahan tawanya.
"Ayo ditiup lilinnya Aline." Ucap Lingga.
"Jangan lupa make a wish sebelum meniupnya." Lanjut Jagat.
Aline pun memejamkan matanya, tak berapa lama ia pun membuka matanya sembari meniup lilin yang berada tepat dihadapannya.
"Ini, ada sebuah hadiah lagi." Kembali ku sodorkan sebuah hadiah ke hadapan Aline. Satu bucket bunga mawar warna putih, adalah kejutan terakhir yang ku punya.
"Kapan kamu membelinya???" Tanya Aline.
"Tadi malam, saat kamu tidur. Aku punya kenalan di sekitar sini yang menjual bunga. Jadi aku bisa menghubunginya kapan saja." Jawabku.
"Terimakasih Adi." Ucap Aline penuh haru.
....
Hari yang begitu cerah. Tak sedikitpun tanda-tanda jikalau hujan akan turun. Langit yang membiru dengan deretan awan putih disekitarnya menjadi saksi akan apa yang akan kami lakukan hari ini, yaitu pergi ke suatu tempat bernama Cibulan.
"Lingga cepet napa. Kamu dandan kayak cewe amat!!!" Ketus Jagat yang melihat temannya yang tengah menyisir rambutnya kesana kemari dan tak selesai-selesai.
"Bukan rambutmu yang tak cocok, tapi mukamu Ngga!" Ucapku dengan tawa terbahak. Disambung dengan Jagat yang juga ikut tertawa karena melihat muka Lingga yang merengut kesal.
Setengah jam kini berlalu, akhirnya kami semua siap untuk pergi. 30 menit perjalanan kami menuju tempat wisata tujuan kami. Cibulan , adalah sebuah tempat wisata yang menghadirkan sebuah kolam mata air yang sangat jernih yang di dalamnya berisi ikan-ikan hitam besar yang orang sekitar sebut ikan dewa. Cibulan kami pilih menjadi tempat wisata kami kali ini karena tempatnya mudah di jangkau karena dia tepat berada di samping jalan utama Kuningan. Ditambah tempatnya sangat nyaman untuk nongki-nongki (nongkrong).
"Beuh ... Adem banget dah disini." Ucap Lingga ketika masuk ke area wisata Cibulan.
"Iya, gak kayak dikotamu!!" Tukas Jagat menimpali perkataan Lingga.
"Emang kotamu adem, Gat?" Tanyaku membela Lingga.
"Adem bagian pegunungannya. Bagian bawah mah sama ajah." Ucap Jagat.
"Terus, emang lu tinggal di Semarang bagian atasnya??" Tanyaku.
"Ya kagak lah." Ucap Jagat dengan nada sedikit ditinggikan.
"Lah terus ngapain lu bilang gitu ke Lingga!?"
"Emang sotoy dia mah di." Ucap Lingga yang sedari tadi merengut.
"Hahahahahaha" tawa Jagat menggema membuat semua orang mendelik dengan tatapan aneh.
"Ayo kita ke kolam ikannya." Ajak Aline yang sedari tadi hanya senyum-senyum saja melihat tingkah ketiga temannya.
Jagat dan Lingga berlari menuju tempat tujuan kami. Aku yang tak mau Aline terpisah, berinisiatif untuk menggenggam tangannya seraya mengajaknya berlari. Kami semua tak peduli dengan apa yang orang lain lihat tentang kita, ini adalah liburan kita, dan kita takkan membiarkannya berlalu begitu saja tanpa adanya canda tawa didalamnya.
"Wowwww, liat tuh ikannya gede banget anjirrrrr!!!" Ucap Lingga terkagum-kagum dengan ukuran ikan yang ada di kolam Cibulan.
"Norak amat sih!!!" Celetuk Jagat menimpali ucapan Lingga.
Mereka terkadang memang seperti anjing dan kucing yang suka sekali beradu argumen, namun mereka tetaplah teman baik yang selalu saling tolong saat salah satu dari mereka tengah kesulitan. Canda dan tawa selalu mengiringi hari-hari yang mereka lewati. Aku sangat bahagia memiliki 2 orang sahabat seperti Lingga dan Jagat.
Mereka ada disaat aku pernah terluka dulu. Meski luka memaksaku untuk merasakan betapa sakitnya dia, namun aku yakin dengan adanya sahabatku, luka itu akan menjadi salah satu kekuatanku dimasa depan. Membuatku terbiasa dengan sakitnya luka yang pernah ku rasakan. Aku takkan pernah terpuruk lagi, karena saat aku terjatuh, aku yakin mereka akan selalu membantuku untuk bangkit. Dan kalaupun mereka tak pernah ada dalam hidupku, aku percaya, aku masih memiliki Tuhan yang akan selalu mencintaiku dengan ketulusannya yang takkan pernah membuatku kecewa sedikitpun.
"Aku mau coba masuk ke kolam." Ucap Lingga.
"Emang boleh??" Tanya Jagat.
"Eh norak. Noh liat. Banyak bocah yang masuk tuh ke kolam." Ucap Lingga sembari menunjuk kumpulan keluarga yang tengah berada di dalam kolam.
"Awas lu mati dimakan nih ikan-ikan dewa!!" Ucap Jagat memperingatkan Lingga dengan nada bercandanya.
"Lu kira piranha! Lu juga ikut sini Gat!" Lingga menarik tangan Jagat yang sedikit meronta karena tidak mau ikut masuk ke dalam kolam yang penuh ikan-ikan besar itu. Pada akhirnya mereka berdua pun masuk kedalam kolam yang penuh ikan itu.
"Di lu gak mau ikut masuk??" Teriak Lingga padaku yang saat itu hanya duduk diam memperhatikan tingkah mereka yang seperti anak-anak.
"Engga, aku mau duduk ajah. Aline gak mau masuk ke kolam. Katanya nanti badannya bau ikan.!" Aku membalas teriakkan Lingga.
"Yaudah ati-ati kesambet duduk bawah pohon begitu" teriak Lingga lagi.
Mereka berteriak-teriak kegirangan, apalagi Jagat yang merasa geli dengan ikan-ikan yang menyentuh bagian tubuhnya, terutama pantatnya. Dia terlihat sangat risih sekali dengan para ikan itu. Namun tak ada yang bisa ia lakukan karena Lingga selalu mencegahnya keluar dari kolam.
"Di, aku mau ke toilet dulu ya." Ucap Aline padaku.
Aline beranjak dari tempat duduknya menuju sebuah sudut dimana toilet berada. Aku mengeluarkan smartphone ku untuk memotret kegilaan Jagat dan Lingga yang tengah berada di dalam kolam.
Tak terasa waktu berjalan sangat cepat, setengah jam berlalu dan aku tersadar jikalau Aline belum juga kembali. Sementara Jagat dan Lingga memutuskan untuk mengakhiri kegilaan mereka di dalam kolam, dan pergi menuju toilet untuk membilas kaki dan tangan mereka, aku pergi mencari Aline yang belum kembali.
"Apa mungkin Aline nyasar?" Aku bergumam dalam hati. Aku berjalan pelan, mencari Aline dengan menyisir setiap sudut tempat, namun tak kunjung ku temukan. Hingga tiba di suatu tempat, dimana aku melihat Aline yang tengah berbicara dengan seorang pria.
Aku terdiam, mencoba menyembunyikan kehadiranku dengan sedikit bersembunyi di sebuah bilik bambu yang berada di dekatku. Aku tak dapat mendengar apa yang tengah Aline bicarakan dengan pria itu. Yang aku lihat hanya muka memelas si pria dengan sikap Aline yang mencoba bersikap acuh dan tak mempedulikan pria itu. Terlihat jikalau Aline menahan airmatanya yang sedikit demi sedikit meluap mencoba membasahi pipinya. Pria itu menggenggam lengan Aline dengan paksa. Mencoba menahan Aline yang saat itu ingin pergi meninggalkannya. Namun Aline berhasil melepaskan genggaman pria itu dan berlari menuju ke arahku.
Ku biarkan Aline berlari melewati ku. Ku ikuti Aline , hingga sampai di sebuah pohon besar, Aline berhenti. Dia menangis sejadinya disitu. Aku tak sanggup membiarkannya. Ku dekati dia, dan mencoba meraihnya.
"Dia mantanku." Ucap Aline seolah menyadari jikalau aku berada tepat dibelakangnya.
"Sudah lama aku mencoba melupakan dia, dia yang dulu sangat aku sayang, namun dia sering menyakitiku." Isak tangis Aline membuat daun-daun yang sebelumnya berdesir lirih, kini terdiam. Semua seakan menjadi sunyi, tak ada satu pun irama lantunan alam yang mencoba mengusik tangisan Aline kala itu.
"Dia bilang dia udah berubah. Dia menyesal dengan semua yang pernah dia lakukan padaku. Dia sangat mencintaiku, dia menginginkan aku kembali." Kembali Aline berucap di sela-sela tangisnya.
"Dia, dia, aku benci dia!!" Aline berteriak yang kemudian langsung ku balikan badannya lantas ku peluk dia erat.
"Jangan biarkan kebencian menjadikanmu Aline yang berbeda dengan Aline yang ku kenal." Ucapku lembut seraya mengusap kepalanya mencoba untuk menenangkannya.
"Jadilah Aline yang baik hati dan imut-imut. Jangan jadi pembenci. Dan ingatlah, saat Aline terluka, masih ada aku yang siap untuk selalu memberimu pundak sebagai tempat mu menangis, dan siap melemparkan jokes-jokes lucu dan garing yang selalu ku buat untukmu." Aline menatapku lekat. Ku sentuh hidungnya, yang kemudian dilanjutkan dengan sebuah kecupan lembut dikeningnya. Berharap Aline tak lagi menangis kala itu.
"Makasih ya di" Aline mulai menghentikan tangisannya, tangannya membalas pelukanku dengan sangat erat.
"Sakit!!! Meluknya jangan keras-keras!" Ucapku seraya melepaskan pelukannya dengan nada bercanda.
"Ihhhhhhhh" Aline merengut menggembungkan pipinya yang chubby.
"Bercanda" aku tertawa pelan, menertawai dia yang selalu bisa bersikap lucu di depanku.
.....
Keheningan malam menyapa.
Udara malam yang dingin menusuk raga yang tengah dirundung lara.
Bisikkan aku wahai dunia,
Katakan padaku, apakah aku pantas untuk menjadi kekasihnya!???
Oh Tuhan,
Jangan biarkan cinta hidup diatas sebuah luka.
Jangan biarkan aku tertawa diatas penderitaan "dia" yang juga mencintainya.
Meski ku harus terluka,
Akan ku buat kau tetap tersenyum bahagia,
Selamanya. ...