Chereads / TRUTH (ketika cinta harus memilih) / Chapter 10 - Ketulusan dari Masa Lalu

Chapter 10 - Ketulusan dari Masa Lalu

Aku tak mengerti cinta,

Dimana orang berkata itu hanyalah sebuah ucapan lisan belaka,

Dan yang lain berkata jikalau itu adalah sebuah rasa.

Aku tak mengerti cinta,

Dimana orang berkata itu akan membuatmu bahagia,

Dan sebagian berkata "itu menyedihkan, ya"

Aku tak begitu mengerti cinta,

Dimana orang bilang bertahanlah,

Dan sebagian bilang tinggalkanlah,

Ya, aku tak mengerti cinta.

Dimana hampir semua orang berkata, aku rela mati demi mendapatkannya.

Sebuah cinta kini hadir kembali dalam hidupku, menghiasi hari-hariku yang semu, membuat hatiku kini tak lagi layu.

"Tugas coversations lu dah kelar, di??" Tanya seorang siswa bernama Jagat yang tetiba muncul di sampingku, ia sedikit mengejutkanku yang sedari tadi hanyut dalam setiap jengkal lamunan yang membuatku berkhayal begitu dalam.

"Udah, Gat." Ku ambil sebuah buku yang berada di dalam tas ku, Jagat memang sering melihat hasil tugasku. Tapi walaupun begitu, Jagat bukan tipikal orang yang meng-copy paste hasil kerja orang lain secara completely.

"Lu emang pengertian ya, Di," Ucapnya sembari menepuk pundak ku.

Nama lengkapnya adalah Jagat Prawiro Kusumo. Jagat adalah orang yang baik, tentunya menurut segi penilaian ku sebagai temannya. Dia terlahir di dalam sebuah keluarga kaya di Jawa tengah, tepatnya di Semarang. Orang tuanya memiliki showroom mobil yang besar, bisa dibilang terbesar yang ada di daerahnya. Mereka juga memiliki beberapa hektar sawah di sekitaran rumah mereka di Semarang. Jagat sendiri bisa berkuliah di sini, Bekasi, karena memang dia ingin sedikit merasakan kebebasan, hidup tanpa kekangan orang tuanya yang selalu menyuruhnya melanjutkan usaha mereka. Karena memang Jagat adalah anak mereka satu-satunya. Meski Jagat menginginkan kebebasan, dia tetap hidup dalam batas normal sepertiku, tanpa sedikit pun bertingkah "negatif". Jangankan narkoba, merokok pun dia tak pernah.

Ada seorang lagi temanku bernama Lingga Anggara. Biasa ku panggil Lingga, dia selalu tampil fashionable dan satu-satunya orang yang paling gaul diantara kami bertiga. Hobinya adalah bermain musik, bermain gitar adalah keahliannya dalam bermusik.

Lingga lah yang mempertemukan aku dengan Jagat. Ya, Lingga adalah anak yang mudah bersosialisasi dengan orang lain. Dia memiliki banyak teman, meski begitu dia lebih sering berkumpul bersama aku juga Jagat. Karena menurutnya, hanya kami berdualah yang mampu membawanya tetap hidup dalam batasan seorang mahasiswa. Menurutnya, pergaulan bukan tentang suatu hal yang negatif, melainkan sesuatu yang dapat memberikannya hal-hal yang positif dalam kehidupannya.

"Lingga mana?" Tanya Jagat kepadaku.

"Kayak lu ngga tau dia aja." Aku menjawab pertanyaan Jagat sembari menyiapkan beberapa buku yang akan ku gunakan untuk pelajaran pertama ku hari ini.

....

Sepasang mata yang indah dan penuh makna.

Senyum merekah, indah bibirnya.

Namun sayu, penuh luka dalam tatapannya.

Ya, sebuah luka yang coba kau simpan.

Kau tutup rapat dan kau kubur dalam-dalam.

Aku dapat melihatnya.

Izinkan aku,

Mencoba menutup sedikit demi sedikit luka yang pernah kau rasa.

Meski sekali saja.

Untuk pertama dan terakhir kalinya.

Di sebuah tempat di mana aku dapat melihat matahari terbenam dengan indahnya. Langit yang kuning kemerahan, cahaya matahari yang terbiaskan awan dengan di iringi kicauan burung yang terbang ke sana kemari karena sibuk untuk kembali ke sarang mereka.

Aku duduk, ku nikmati suara alam yang mengalun sembari ku tulis kata demi kata dalam buku kecil ku. Ingatan ku menerawang, ia kembali ke masa di mana aku pertama kali bertemu satu demi satu orang yang mampu merubah hidupku. Dan ingatanku berhenti di satu masa dimana aku kehilangan seseorang yang dulu sangat aku cintai. Masa dimana aku pernah berjuang untuk mendapatkan sebuah cinta, dan disaat aku mendapatkannya, aku tak sanggup mempertahankannya lebih lama.

"Indah ya?" Tiba-tiba sebuah suara datang dari arah belakangku. Suara itu adalah suara yang familiar yang kini sering ku dengar beberapa bulan ini.

"Ya," jawabku singkat.

"Duduklah, Aline" ku tundukkan kepala ku yang sebelum nya menengadah, melihat kearah di mana aku dapat melihat langit merah di atas ku.

"Aku tau apa yang ada di pikiranmu." Aline mulai duduk di sebelahku.

Aku hanya terdiam, tak ada satu kata pun yang terucap dari mulutku. Hanya sebuah helaan napas panjang yang dapat ku lakukan. Ya, Aline pasti tau apa yang ku pikirkan.

"Terimakasih." Ucap Aline pelan.

"Untuk apa??" Aku menatap Aline yang menundukkan kepalanya.

"Kesempatan yang kamu berikan." Aline mulai membalas tatapanku. Tatapan kami bertemu, titik-titik airmata mulai muncul di setiap sudut matanya.

"Dulu aku pernah terluka, dulu aku pernah takut untuk kembali jatuh cinta. Meski berkali ku mencobanya, namun hatiku tak bisa merasakan lagi bagaimana indahnya jatuh cinta." Aline mulai menerawang jauh ke masa lalu di mana dia merasakan sebuah kenangan pahit dengan seorang lelaki yang pernah melukainya.

Ku raih tangannya, ku tatap matanya, airmatanya yang mulai mengalir deras kini mulai terhenti.

"Maaf." Ucapku singkat.

Isak tangis pun kembali pecah. Aline yang tak mampu menahan airmatanya, kini kembali menangis. Ia memelukku. Ia tumpahkan perasaannya padaku.

Sebuah keheningan kini tercipta, tak ada suara tawa, tak ada lagi kicauan burung. Semua hilang, bersama kegelapan yang kini mulai datang. Sebuah kesunyian yang berhias tangisan.

Sebuah kecupan di kening ku berikan untuk Aline yang ku sayang, berharap dia tak lagi merasa sedih, ku tak ingin Aline terjebak di dalam masa lalunya. Ya, aku mencintainya. Dan aku pun akan mencoba untuk melepaskan jerat masa laluku juga masa lalunya.

Aku ingin melihat Aline yang selalu menutup dirinya menjadi gadis yang mampu tersenyum riang. Aku ingin mengobati setiap luka yang dulu dia terima, aku ingin merasakan bahagia bersamanya. Ya, aku ingin mencintainya, menjadi seseorang yang mampu mengindahkan hari-harinya.

....

Selembar kertas bertuliskan sebuah puisi terselip di dalam buku kumpulan puisi buatanku. Tujuan awalku adalah mengikutkan beberapa puisi buatanku dalam sebuah lomba puisi yang diadakan di kampusku. Namun sedetik kemudian semuanya berubah, puisi yang kutemukan membuatku terdiam, terbersit ingatan dimana aku mencoba untuk melupakan kenangan yang dulu pernah menusukku sangat dalam.

"Mungkinkah ini puisi buatan Dita?" Batinku dipenuhi tanda tanya, mereka bertebaran dan menghasilkan sebuah rasa penasaran.

Ku beranikan diri untuk membuka nya, dan rangkaian kata tertulis di dalamnya. Rangkaian kata yang membuat ku rindu akan sesuatu yang pernah kurasakan dulu.

Tak terasa air mataku mulai menetes, mereka mengalir membasahi kertas yang tengah kubaca isinya. Sebuah kertas yang menyiratkan sebuah senyum dan perasaan yang pernah si penulis rasakan.

"Maafkan aku, Aline. Ijinkan aku mengingat Dita sekali ini lagi saja." Ucapku lirih. Tenggorokanku tercekat, tak mampu lagi bersuara jelas. Rasa rindu yang kurasakan pada Dita kini bercampur dengan sebuah rasa bersalah kepada Aline. Sebuah dilema, batinku berperang karenanya. Hingga akhirnya aku terdiam, hanyut dalam rasa ku tentang masa lalu ku.

....

Yang teringat adalah indah.

Ketika tawa menutup luka.

Ketika pelangi indahkan langit di kala senja.

Pernah kah kau mengerti?

Sebuah hati yang menunggumu sampai kini,

Ia tertatih, menahan perih,

Menunggu hadirmu, memberi kasih.

Aku memang menunggumu,

Namun tak sanggup ku katakan semua itu.

Bolehkah ku pinjam rasamu atas nama rindu?

Menepuk asa, tinggikan realita akan hati dan pikiranku.

Aku tau , tak sedikit pun namaku ada dalam hatimu.

Namun,

aku bahagia mencintaimu dalam diam ku.

Segera ku raih ponsel ku, mencoba menghubungi Dita kembali, kuketik sebuah pesan padanya. Bertanya kabar, namun ku hapus. Setelah berbulan-bulan, begitu mudahkah untukku menanyakan kabar padanya. Aku ragu, mungkin tak kan ia baca.

(Sudah lama ya kita tak berkomunikasi, bagaimana kabarmu?) Send .... Berharap segera dibaca dan dibalas oleh Dita.

Menit pun berlalu hingga tak terasa lebih dari 5 menit ku pandangi layar ponselku, menunggu balasan dari Dita. Ya, hanya menatap layar ponselku.

Setelah sekian menit hingga berjam-jam ku menunggu balasan. Tiba-tiba ponsel ku bergetar, tanda ada pesan masuk. Segera ku lihat layar ponsel ku, berharap itu adalah pesan dari Dita.

(Besok ya ku balikin buku tugas conversations mu ya di.)

Ahhhh, ternyata hanya sebuah pesan dari temanku, Jagat.

(Oh, ok gan)

Aku menjawab singkat pesan Jagat. Dan beberapa detik kemudian muncul kembali sebuah pesan baru, ya kali ini aku yakin ini adalah balasan dari Dita.

(Hari ini sibuk ya?? Gak chat sama sekali)

Ternyata sebuah pesan dari Aline. Benar juga apa yang dia katakan, aku belum mengirimi dia pesan satu pun hari ini.

(Apa kamu masih larut dalam pikiranmu yang tadi sore?)

Kembali pesan dari Aline masuk ke dalam ponselku. Sebuah pertanyaan yang tak sanggup ku jawab. Sebuah pertanyaan yang benar adanya, dan aku tak bisa berkata "ya" pada Aline, karena ku tahu, Aline akan sangat kecewa padaku jika aku melakukan itu.

"Tidak, aku hanya sedikit sibuk saja hari ini. Dan entah mengapa, aku juga merasa tidak enak badan." ku kirim sebuah voice chat ke Aline. "Aku mau istirahat dulu, ya" kembali ku kirim sebuah voice chat padanya.

"Ya, baiklah. Selamat malam di." Jawab Aline juga menggunakan voice chat.

Ku rebahkan tubuhku diatas ranjang ku yang kini telah lusuh dan berantakan. Memandang plafon yang berjajar rapih di bagian atas kamar ku.

"Aku akan terus mencintaimu, Aline." Ucapan ku yang lirih saat itu membuat ku semakin yakin pada perasaanku, hingga aku pun lupa dengan apa yang tengah ku tunggu saat itu. Ya, sebuah pesan dari Dita. Aku lupa akan hal itu.

Karena kali ini ada hati yang harus ku jaga keutuhannya. Ada sebuah kepercayaan yang harus ku jalani seutuhnya, dan ada sebuah cinta yang takkan ku khianati ketulusannya. Aline Putri Lestari, nama itu yang akan selalu ku ingat.

(Kamu, siapa?) Sebuah pesan kini kembali masuk, dan kali ini benar dari Dita. Sebuah pesan yang membuat jantungku seolah berhenti.

(Aku Adi, kamu Dita kan?) Jawabku dengan berjuta rasa penasaran yang tiba-tiba datang menghinggapi pikiranku.

(Adi? Siapa ya? Aku memang Dita. Tapi aku tidak mengenal orang bernama Adi.)

Mungkin Dita memang sudah melupakan aku. Aku mengerti jikalau memang Dita melakukan itu, itu wajar. Ku hubungi Dita via telepon, tak berapa lama, Dita pun mengangkatnya.

"Assalamu'alaikum, Dita" ku ucap salam dan ku sebut namanya pelan.

"Wa'alaikumussalam, ya ada apa?" Suaranya tak berubah, masih seperti suara Dita yang dulu. Sebuah suara yang lembut, yang terkadang terdengar sangat imut.

"Ini aku, Adi. Mungkinkah kau benar-benar melupakan aku??" Tanyaku penasaran dan berharap rasa penasaranku terjawab kan.

"Sungguh aku tak ingat kamu. Maaf. Akhir-akhir ini pun banyak sekali yang meneleponku dan membuatku bingung, karena aku tak mengingat mereka satu pun." Jawab Dita dengan penuh rasa sesal dalam hatinya.

"Dita, cepat. Sudah waktunya istirahat. Matikan ponselmu, tak baik terlalu banyak menggunakan ponsel, kau masih sakit." Sebuah suara terdengar dari belakang Dita. Suara yang tak asing, yang ku ingat adalah suara ibunda dari Dita. Dan tak berapa lama, telepon ku dimatikan oleh Dita.

"Ahhhh. Kenapa dengannya??? Apa yang terjadi, aku tak mengerti." Batinku berteriak. Rasa penasaranku belum terjawab, namun Dita sudah tak bisa ku hubungi lagi.

.....

Sebuah lagu terdengar sayup di telingaku, aku yang tak sanggup tidur nyenyak malam tadi, mencoba membuka mataku, sebisa mungkin ku raih ponsel ku yang sedari tadi berbunyi.

River flows in you adalah nada dering yang selalu ku gunakan dalam ponselku. Sebuah instrumental song yang sanggup membuat hatiku ikut mengalun mengikuti nadanya.

"Aline" ucapku pelan sembari ku terima telepon darinya.

"Hai, ada apa aline?" Ujarku saat ku terima telepon darinya.

"Ahhh, enggak. Maaf sudah mengganggumu" jawab Aline sembari menutup teleponnya.

"Ada apa dengan gadis ini." Gerutu ku.

Ku buka tirai yang menutupi jendela kamarku, dan ku lihat Aline berada di depan rumah ku tengah bersiap meninggalkan rumah ku. Mungkinkah dia sudah menunggu ku di sana sedari tadi. Segera ku gunakan celana ku dan berlari ke luar rumah, demi mengejar Aline.

"Aline!!" Teriakku memanggil nama Aline di tengah kerumunan orang.

Aline menghentikan langkahnya, dan berbalik ke arahku. Ia memandangku, dengan sebuah kotak yang ia pegang erat dengan kedua tangannya. Sebuah kotak tempat makan yang biasa orang gunakan.

"Maaf karena aku tak segera mengangkat telepon mu tadi. Aku masih tidur. Aku baru bisa tidur setelah sholat subuh." Ucapku sembari melangkah mendekati Aline.

"Tidak aku yang minta maaf karena selalu mengganggumu. " Aline menundukkan kepalanya.

"Ayo ikut denganku." Ku genggam lengan Aline. Aku membawanya kembali ke tempat tinggalku, karena aku tau, Aline adalah seorang gadis pemalu yang pasti akan risih dengan keramaian.

Tak berapa lama kami pun sampai di tempat tinggalku. Ini pertama kali seorang gadis mengunjungi tempat tinggalku, dan Aline menjadi gadis pertama itu.

"Aline mau minum apa??" Tanyaku sembari sibuk merapihkan tempat tinggalku yang semrawut. Pakaian kotor yang bertebaran di sana-sini ku ambil dan segera ku masukkan kedalam mesin cuci. Buku yang berserakan, kertas yang bertaburan langsung kurapihkan.

"Aku bawa kue, mau kah kau mencobanya???" Aline menyodorkan kotak makan yang sedari tadi ia bawa.

"Ahhhh, sebuah kejutan. Terimakasih." Aku membersihkan tanganku, mengelapnya dengan bagian samping celanaku sembari berjalan mendekati Aline.

Ku buka kotak makan yang Aline bawa, yang ternyata berisi kue coklat berbentuk love yang bertabur kismis diatasnya.

"Ku makan ya" ku gigit kue buatan Aline sedikit demi sedikit. Ku tampakkan raut wajah seolah kurang senang dengan rasa dari kue nya. Yang membuat Aline sedikit mengernyitkan dahi nya.

"Enak kok!" Ucapku seraya mengembangkan senyum dengan sedikit tawa usil karena sukses mengerjainya dengan berpura-pura seolah kuenya tidak enak.

Terlihat sebuah rasa lega tergambar jelas di wajahnya, sebuah raut bahagia kini bersinar di wajahnya.

"Terimakasih Aline" ku peluk tubuh Aline yang saat itu berada di hadapanku. Ku tatap dalam-dalam kedua matanya, dan tanpa kusadari wajah ku semakin dekat dengan wajahnya. Bibir ku yang sebelumnya asik mengunyah kue buatan Aline kini mulai terdiam dan mendekati bibirnya.

Dukkk.... Kening kami beradu.

"Maaf! Aku terbawa suasana" aku segera melepas pelukanku. Dan menggaruk kepala bagian belakangku yang sebenarnya tidak gatal sama sekali.

Aline hanya terdiam, tertunduk namun dengan wajah yang merona merah menahan rasa malu karena kejadian itu.

Setelah kejadian itu semua berjalan biasa saja, meski sedikit canggung. Namun aku bahagia dengan hadirnya Aline di sini. Dan kami pun pergi ke kampus bersama setelahnya.

....