Ku hentikan motorku disebuah tempat parkir yang sangat luas, di samping sebuah bangunan yang begitu besar dan memiliki sebuah lintasan yang lumayan panjang, Tempat dimana pesawat datang dan pergi tanpa henti di setiap harinya. Sebuah tempat yang dulu pernah menjadi tempat perpisahan ku dengan ayahku. Sebuah tempat yang pernah menggoreskan luka untukku karena keangkuhan ku saat itu.
....
(4 tahun sebelumnya)
"Adi, maaf. Ayah akan pergi. Adi jaga baik-baik mamah ya. Jangan nakal." Ucap seorang lelaki yang tidak lain adalah ayahku.
Kulihat mamah memalingkan wajahnya, tak sedikit pun ia menatap ayah. Terlihat air mata telah membasahi pelupuk matanya yang ia tahan supaya tidak jatuh berlinangan. Yang aku tahu saat itu adalah ayah juga mamah ku sering sekali cekcok, mereka seringkali tak akur. Dan hari ini ayah memutuskan untuk pergi meninggalkan mamah. Dan satu-satunya perasaan yang merasuki hatiku saat itu hanyalah sebuah kemarahan, dan tak mau mengerti alasan mereka saat mereka ingin berpisah. Yang aku tau, aku tak ingin menjadi seorang anak yang memiliki keluarga yang tak lengkap.
"Adi tau koq. Adi bukan lagi anak kecil yah, Adi mengerti kenapa ayah ingin pergi. ADI TAU SEMUANYA!!!." Ku berteriak meluapkan segala emosi dalam hatiku, dan tanpa sadar air mata ku sudah mengalir membasahi pipi ku.
"Sebaiknya ayah cepat pergi, dan gak usah balik lagi. Adi gak mau melihat muka ayah lagi!!!!" aku pun segera berbalik dan meninggalkan ayah yang tertunduk lesu. Ku lihat mamah menitikkan air matanya, namun ku tak peduli. Ku tetap pergi meninggalkan mereka berdua.
Sebuah musibah pun terjadi. Pesawat yang ayah tumpangi meledak sesaat setelah pesawat itu lepas landas. Tak ada perasaan sedih, tak ada air mata yang mengalir lagi saat ku lihat musibah itu. Berbeda dengan mamah yang menangis sejadinya. Aku hanya terdiam, entah sebuah perasaan puas atau apapun itu. Yang jelas, aku tidak bisa mengekspresikan apa-apa pada saat itu, meski semua orang tengah sibuk berlarian dan berteriak. Hanya keheningan lah yang saat itu kurasakan.
...
Beberapa bulan berlalu semenjak kecelakaan pesawat yang merenggut nyawa ayahku.
"Mau sampai kapan mamah menangis seperti itu? Ayah itu bukan sosok yang baik, aku gak mau mamah menangis seperti itu tiap hari." Aku beranjak dari rumah tanpa menyentuh sarapanku, aku malas menyentuh makanan yang ibuku sediakan setiap kali melihatnya menangis karena teringat seseorang yang sudah menghancurkan hatinya juga hatiku.
"Sampai kapan Adi mau marah sama ayah?" Tiba-tiba mamah mengucapkan sesuatu yang membuatku menghentikan langkah.
"Apa Adi tau seberapa besar cinta ayah untuk kita?" Lanjut mamah dengan suara serak karena tangisnya yang semakin meluap.
Kembali ku langkahkan kakiku tanpa mencoba menjawab pertanyaan mamah. Yang aku tau dan aku yakini sekarang adalah dia, ayahku adalah seorang bajingan yang tega meninggalkan aku juga mamah. Dia tega melukai hati mamah.
"Dia sakit" mamah mengatakan suatu hal yang membuat langkahku kembali berhenti saat posisi ku sudah berada diambang pintu rumah. Tanganku yang sudah menggenggam handle pintu, kini ku tarik kembali. Entah mengapa, kali ini Aku ingin mendengar cerita mamah lebih banyak.
"Dia bukanlah ayah kandungmu. Dia adalah seorang lelaki yang mau menerima aku yang seorang janda beranak 1 dan tak bisa lagi memiliki anak. Dia adalah lelaki yang mau menerima mu sebagai anaknya meski kamu bukanlah darah dagingnya. Dia berkorban banyak untuk mamah juga kamu, termasuk membayar semua hutang mamah sebelum mamah menikah dengannya. Dia pekerja keras, sampai dia sendiri lupa, dia hidup di dunia pun perlu bahagia." Mamah bercerita dengan tubuh yang bergetar, air mata mengalir tak ada hentinya. Tubuhku pun mulai bergetar mengetahui kenyataan ini, aku terduduk. Kaki-kaki ku tak sanggup lagi menopang berat tubuhku, mereka lemas seolah tak bertenaga.
"Dia selalu berkata, dia sudah bahagia dengan hanya melihat mamah juga Adi bahagia. Dia selalu ingin dipanggil ayah oleh mu karena dia tahu, dia tak pantas dipanggil papah yang di sandingkan dengan panggilanmu ke mamah. Dia tahu, ada sosok seorang papah yang tidak dapat dia gantikan meski dia telah merawatmu sedari kecil. Dialah ayahmu, sosok yang tak pernah mengeluh, tak pernah bersedih. Hingga tiba saat beberapa hari penuh cekcok dengannya." Mamah berhenti, menghela nafas beberapa kali. Sampai tangisnya beberapa saat berhenti. Aku hanya terdiam, terduduk di depan pintu. Tanpa berani membalikkan badan dan menatap wajah mamah.
"Ayahmu, di diagnosa terkena penyakit alzheimer. Awalnya ayahmu mudah lupa dengan janji yang dia buat. Kemudian dia mulai lupa dengan mamah, dan kemudian terkadang dia lupa tentang dirinya sendiri, namun 1 yang dia selalu ingat. Dia memiliki anak lelaki yang harus dia didik dengan benar supaya bisa tumbuh besar menjadi seorang lelaki gagah dan hidup penuh dengan kasih dan cinta." Mamah berhenti bercerita. Ku balikkan badanku, ku lihat tubuh mamah yang bergetar, dia menahan tangisnya. Dia menahan penderitaannya, dia menahan semuanya demi aku. Demi seorang anak yang angkuh dan tak pernah mau tau apa yang sebenarnya terjadi diantara mereka.
Segera ku berlutut di depan ibuku yang duduk di sebuah kursi di ruang tamu, ku meminta maaf dan menangis bersamanya. Mengenang segala kebaikan ayah yang ternyata bukan ayah kandungku, mengenang setiap jengkal kebahagiaan yang pernah kami lewati bersamanya. Mengenang semua duka yang selalu ayah hilangkan dengan sebuah candaan garing yang walaupun tak lucu, tapi aku dan mamah bisa tertawa karena mimik muka ayah. Semua hilang, semua tak lagi sama. Dan aku sadar, aku bukanlah seseorang yang paling menderita dalam keluarga ini.
"Maafkan aku ayah"
....
Sebuah angin yang terasa dingin kini mulai menerpa wajahku. Menyadarkan ku dari lamunanku tentang sebuah ingatan masa lalu. Ku seka air mataku. Dan terkesiap lah aku sehingga ku kembali sadar dengan tujuan awalku berada disini.
"Dita" ucapku lirih. Kembali ku berlari. Mencari sebuah sosok yang sangat ingin kutemui, sebuah sosok yang telah membuat ku bahagia selama ini. Sebuah sosok yang mungkin tak ku temui lagi esok hari.
Ku telusuri setiap area bandara itu sampai ku tiba di suatu tempat dimana ku lihat sosok yang ku cari sedari tadi. Dia tengah menatap keluar dari tempatnya berdiri. Ku lihat tatapannya sangat kosong, seolah menerawang ke masa lalu. Air matanya mulai menitik, membuat ku turut merasakan sebuah kesedihan yang tengah dia rasakan.
Satu demi satu langkah ku ambil pelan saat ku mendekatinya.
"Dulu, saat pertama bertemu denganmu adalah saat paling sial bagiku. Aku adalah seorang pendiam yang tak suka berkomunikasi dengan orang lain, terjatuh untuk kedua kalinya pada hari itu. Seorang wanita menabrak ku keras sekali pada saat itu. Meski dia tomboi, dia sangat manis dengan rambut pendeknya." Ucapku keras seolah berteriak sembari mendekati Dita, Membuat Dita menoleh ke arahku dan menyeka air matanya karena dia mendengar ucapanku meski dengan jarak yang agak jauh.
"dulu aku berpikir, cewek itu adalah sebuah kesialan dalam kehidupanku. hingga saat beriringnya waktu, aku sadar jikalau dia adalah sebuah anugerah yang Tuhan coba berikan untukku. tidak ada yang mengira jikalau cewek itu akan merubahku sebegitu drastisnya. sampai jadilah aku seperti sekarang. aku yang kuat dan tak lagi menjadi pria bodoh yang pendiam." kemudian tak ku sangka Dita langsung berlari menghampiriku dan memelukku erat. Ia menangis, meluapkan segala emosinya di dalam pelukanku.
"maaf, aku baru bisa mengatakannya sekarang. makasih udah merubahku menjadi lelaki yang kuat seperti ini." ucapku dengan suara lembut. Ku coba menahan air mataku agar mereka tak jatuh membasahi pipiku dan membuat Dita semakin bersedih karenaku.
"Adi, aku juga. aku gak mau pergi." suara Dita bergetar.
"enggak. bukan gitu, kamu gak boleh ngelakuin itu. bukan itu yang aku mau." ku belai lembut rambut Dita. ku lihat kedua orang tua Dita menatapku lirih. Nampak mereka mengerti jikalau aku hanya mencoba menenangkan Dita, dan mengetahui jikalau sebenarnya aku pun merasakan sakit yang sama seperti yang Dita rasakan.
"pergilah, biarkan cinta yang membuat jalannya sendiri. Cinta akan membuktikan, seberapa kuat dia." ucapku kembali berbisik di telinga Dita. Dita memelukku semakin erat.
"aku sayang kamu, Dita. Aku akan tetap menunggumu." ku usap air mata Dita, ku coba untuk menunjukkan senyumku di hadapannya. Mencoba membuatnya yakin dengan keputusannya.
"aku juga sayang kamu di. Terimakasih." Dita melepas pelukannya, dan berjalan pelan meninggalkanku. Segera ku buka isi tas ku, ku ambil buku puisi buatanku.
"Dita, tangkap!" Ku lempar buku puisi buatanku kepada Dita, "kini aku sudah tau, untuk siapa puisi yang ku buat selama ini. Bacalah saat kau berada disana." Teriak ku sembari melontarkan senyuman kepada Dita. Ku lihat Dita mulai tersenyum, meski pancaran matanya menandakan rasa tidak rela untuk meninggalkan ku berdiri sendiri. Aku terus melambaikan tanganku hingga dia hilang tak terlihat ditelan keramaian. Dan tanpa kusadari, airmata ku kembali menetes untuk kesekian kalinya.