Chereads / Alta dan Allamanda / Chapter 43 - Bab 23 | Past Space

Chapter 43 - Bab 23 | Past Space

23. Past Space

Kita hanya perlu keyakinan akan berhasilnya masa depan untuk mengalahkan ketakutan pada bayangan masa lalu.

***

Saat itu memasuki sore hari ketika Lamanda bangun dari tidur siangnya. Ia mulai mendudukkan diri di atas kasur sambil berusaha mengumpulkan kesadarannya. Lalu ia melihat jam digital yang menunjukkan angka 16:54:12 di atas nakas. Hampir 10 jam ia tertidur sampai suara berisik di luar membangunkannya. Mengingat hal itu, Lamanda turun dari tempat tidur dan berjalan keluar.

Lamanda menuruni tangga sambil sesekali mengucek matanya. Keributan itu semakin jelas terdengar di telinganya. Suara teriakan, bentakan, sampai gebrakan membuat Lamanda cepat-cepat berjalan karena khawatir akan hal buruk yang mungkin terjadi. Sampai ia sepenuhnya sadar kalau ia mengenali pemilik suara itu. Lamanda refleks menghentikan langkahnya di ujung tangga ketika mendapati sosok yang terlintas dipikirannya barusan duduk berhadapan dengan bundanya di ruang tamu. Mereka terlihat sedang adu mulut lalu diam tanpa pembicaraan.

"Masuk."

Lamanda belum sempat menjawab ketika Kalka menariknya masuk ke dalam ruangan dekat tangga yang biasa digunakan Kalka untuk keperluan vlog nya. Sebut saja ini studio atau ruang kerja Kalka. Kemudian Kalka menutup pintu dan memutar tubuhnya menghadap Lamanda.

"Diem disini jangan kemana-mana."

Lamanda menghembuskan napas. "Gue mau kesana, Ka. Jangan halangin gue." Lamanda mencoba menyingkirkan tubuh Kalka yang menghalangi pintu. Ia menariknya namun tidak sedikitpun membuat Kalka beranjak.

"Diem, Lam. Biarin mereka bicara dan nyelesaiin masalahnya." Kalka mendorong Lamanda untuk duduk di salah satu sofa di ruangan itu namun Lamanda berontak.

"Lo nggak berhak halangin gue. Minggir nggak!" teriak Lamanda mulai emosi. Ia hanya ingin keluar dan bertemu dengan seseorang yang telah lama tidak dilihatnya itu dan Kalka malah menghalangi membuatnya kesal.

Lamanda mendorong tubuh Kalka ke samping lalu berlari ke arah pintu. Namun tangan Kalka lebih cepat meraih lengannya.

"Gue bilang tetep disini! Jangan keluar dulu!" tegas Kalka lagi. Ia juga mulai emosi karena Lamanda tidak menurut padahal yang dilakukannya adalah untuk kebaikan bersama.

Lamanda menatap tajam Kalka. "Gue mau ketemu ayah! Jangan halangin gue!!"

"Dia bukan ayah lo," ucap Kalka spontan.

Tubuh Lamanda menegang. Ia sontak melepaskan pegangan tangannya pada baju Kalka. Tatapan tajamnya tadi perlahan berubah menjadi datar. Hal itu membuat Kalka sadar bahwa ia salah mengucapkan kata.

"Mm maksud gue nggak gi-"

Lamanda mengangkat sebelah tangannya memberi isyarat untuk Kalka tidak bicara.

"Lam.." Kalka meraih tangan Lamanda.

"Gue cuma mau lihat ayah," ucap Lamanda dengan suara rendah kemudian membuka sedikit pintu dan mengintip dari dalam. Sekarang ia dapat mendengar dengan jelas lagi obrolan dua orang di ruang tamu itu.

***

"Aku yang ngurus mereka selama ini. Sejak kamu nggak ngakuin mereka lagi mereka sudah bukan anak kamu! Kamu nggak berhak bawa salah satu dari mereka!" kata Flora dengan nada sedikit tinggi. Wanita itu menatap sengit ke arah Rian, seseorang yang mungkin masih ia cintai hingga kini. Seburuk apapun perlakuan Rian padanya.

"Selama apa? Empat tahun belakangan ini aja 'kan? Aku juga ikut andil ngurus mereka meskipun mereka ternyata bukan anak aku!!"

"Sekarang aku cuma mau ambil Kalka. Aku udah didik dia dari kecil. Aku mau dia buat nerusin perusahaan aku. Harusnya kamu bersyukur karena anak kamu itu aku tampung!!" Rian mulai berdiri dari duduknya. Ia mengeluarkan ponselnya lalu menjawab telfon dari seberang.

Setelah selesai dengan obrolannya dengan seseorang di seberang,  ia kembali memandang Flora yang menangis.

Flora tidak masalah jika Rian tidak menganggapnya istri lagi karena meskipun tidak bercerai secara hukum lelaki itu sudah mentalaknya berkali-kali. Dan itu sah dalam agama.

Flora hanya ingin Rian menganggap Kalka dan Lamanda anaknya. Tidak lebih.

"Ayo tes DNA lagi," kata Flora kemudian dengan suara lebih rendah.

Rian berdecih. "Buang-buang waktu, Flo. Mentang-mentang sekarang kamu punya uang terus kamu merasa sanggup buat nyogok dokter agar tes DNA mereka beda dengan yang dulu. Aku nggak mau."

"Tapi mereka memang anak kamu, Rian!!"

"Sayangnya, kenyataannya nggak begitu," ucap Rian kemudian tersenyum sinis.

Flora berdiri. "Bahkan aku curiga jangan-jangan kamu yang rencanain semuanya waktu itu biar kamu bisa lanjutin hubungan sama perempuan iblis itu. Sama Re--"

Plakk

Rian mencengkram dagu Flora. "Jangan pernah kamu ngehina Rea!! Dia lebih baik daripada kamu!!" kemudian Rian menghempaskannya dengan kasar.

"Dari awal, kamu yang pengganggu hubungan aku sama Rea! Harusnya kamu sadar diri!!"

Raut wajah Rian memerah. Ia benar-benar marah. Rasanya ia ingin menghancurkan barang-barang didekatnya. Atau bisa saja ia membunuh wanita didepannya.

"Kalau saja kamu nggak menyetujui perjodohan tolol itu semuanya nggak akan seperti sekarang ini."

Flora menggeleng tidak percaya. "Tapi mereka memang anak kamu."

"Bukan. Mereka bukan anak aku."

Flora mengusap airmatanya. "Daridulu kamu emang nggak pernah mau percaya dan buka hati untuk aku. Jadi percuma aku jelasin."

"Buka hati buat kamu? Kamu jalan dan selingkuh sama sahabat aku dan aku harus buka hati buat kamu!"

"Aku nggak selingkuh!!"

"Nggak selingkuh tapi sampai hamil anak dia. Murahan."

Flora semakin terisak. "Mereka anak kamu!! Hati kamu udah tertutup gara-gara perempuan itu makanya kamu nggak pernah mau percaya sama aku!!"

Rian sontak menarik rambut Flora. "Jangan pernah salahin Rea. Dasar jalang!!" ia lagi-lagi menghempaskannya dengan kasar.

Brakkk

Tubuh Rian tersungkur ke lantai. Ia melihat Kalka berdiri sambil merangkul Flora.

"Jangan pernah ngerendahin bunda gue. Karena lo jauh lebih rendah dari bunda," ucap Kalka tajam.

Di sisi lain Lamanda mencengkram kuat kusen pintu agar tubuhnya tidak merosot melihat kejadian barusan. Tubuhnya bergetar. Air matanya bahkan sudah sejak tadi mengalir.

Rian berdiri. Memandang Kalka dengan emosi kemudian beralih pada Flora. "Jadi ini hasil didikan kamu?! Nggak punya attitude sama seperti kamu!!"

Kalka maju selangkah, memandang remeh Rian. "Lo nggak punya kaca ya di rumah? Harusnya lo ngaca siapa yang nggak punya attitude disini. Masuk rumah orang sembarangan dan bikin keributan. Memangnya lo siapa?"

"Sekarang kamu berani ngelawan ay--" Rian tidak menyelesaikan ucapannya. Ia mengusap wajahnya kasar. Hampir saja ia salah bicara.

"Berani apa? Ngelawan ayah? Oh maaf maksud gue om Rian?" Kalka terkekeh. "Ngapain takut. Udah tua juga."

Rian hendak melayangkan gamparannya pada Kalka namun kalah cepat dari tepisan Kalka. Hal itu membuat Rian semakin geram.

"Jangan kurang ajar kamu! Mau jadi anak durhaka?"

"Gue bukan anak lo kalau lo lupa."

"Meskipun kamu bukan anak saya setidaknya saya juga pernah ikut merawat kamu sejak eacil. Jangan jadi manusia yang tidak tahu terimakasih kamu."

Kalka berdecih.  "Perhitungan banget sih jadi orang."

Jelas Rian shock akan perubahan Kalka. Biasanya anak itu selalu menurut dan dekat dengannya tapi sekarang malah berubah.

Rian memilih tidak ambil pusing. Ia mulai merapikan kemejanya yag sedikit berantakan lalu mulai menatap Flora. "Aku cuma mau bilang hal tadi. Kalka ikut aku. Setelah lulus dia kuliah di Inggris."

"Gue nggak mau, lo aja sana kuliah di Inggris," tolak Kalka ketus.

"Percuma kamu nolak. Nggak akan ngaruh!"

"Bodo amat. Mending lo pergi deh."

Rian menggeram kesal namun tak urung bergegas keluar rumah. Menghadapi Kalka bisa membuat tensi darahnya naik. Lama-lama ia bisa struk. Namun ia mendengar suara derap langkah seperti orang berlari mendekat ke arahnya. Sedetik kemudian tangannya dicekal seseorang. Membuatnya berbalik.

"Ayah apa kabar?"

Dari dulu Rian membenci orang dihadapannya saat ini. Wajah yang sama seperti milik Flora.

Rian menghempaskan tangan kurus yang mencekalnya tadi. "Saya bukan ayah kamu."

"Berarti Kalka juga bukan anak ayah."

"Meskipun dia bukan anak saya dia masih bisa diandalkan. Tidak seperti kamu. Nyusahin, penyakitan, pembawa si--"

"Bacot lo!!" Pergi nggak!!"

Kalka mendorong kasar tubuh Rian tapi Lamanda menarik kemeja Rian.

"Enggak. Ayah nggak boleh pergi lagi Kalka. Nggak boleh!!"

Flora menghampiri Lamanda dan meraih bahu anaknya itu. "Lam, nggak boleh gitu. Lepasin," perintahnya lembut sambil meraih tangan Lamanda yang mencengkram kemeja Rian.

"Tapi Lamanda kangen ayah. Ayah jangan pergi lagi! Ayahh!!!"

Lamanda semakin terisak ketika Rian sama sekali tidak menanggapinya lalu benar-benar keluar rumah membuat Lamanda histeris sambil berontak dari pegangan Flora dan Kalka.

"Ayah!! Jangan pergi!!"

Ini seperti beberapa tahun silam ketika ayahnya pergi. Lamanda hanya dapat menatap punggung tegap itu menjauh tanpa sedikitpun menoleh.

Pandangan Lamanda mendadak buram. Lamanda merasakan sesak dan sakit dadanya. Sangat sesak tidak seperti biasanya. Tidak sedikitpun udara bisa masuk. Lamanda megap-megap sambil mencengkram dadanya.

"Bun..da.." bisik Lamanda dengan suara bergetar.

"Bunda disini." Flora mengusap lebut kepala Lamanda. Ia membawa gadis itu dalam dekapannya. Namun ia kemudian dapat merasakan tubuh Lamanda menegang lalu mendadak melemah dan menimpa tubuh Flora. Membuatnya sedikit terhuyung.

Flora langsung duduk di lantai. Ia menahan napas. "Lamanda, bangun!!" ucapnyaa sambil menepuk pipi Lamanda.

Kalka itu jongkok. Wajahnya pias melihat mata Lamanda tertutup rapat dan segar mengucur di hidung adik kembarnya itu. Ia segera meraih tubuh gadis itu dan membawanya masuk ke dalam mobil. Tujuannya hanya satu.

Rumah sakit.