Alta mematikan kompor lalu menuangkan indomie ke dalam mangkok. Ia meraih sendok dan garpu lalu diam sebentar. Sejak tadi ia merasakan gelayar aneh dan perasaannya tidak enak.
Alta berjalan ke arah wastafel dan membasuh wajahnya agar sedikit rileks. Kemudian, ia mengambil kembali mangkok berisi mienya lalu berbalik.
"DARRR!!"
Suara gertakan itu kemudian disusul oleh suara pecahan akibat mangkok yang beradu dengan lantai.
"Sh*t!!" umpat Alta. Ia mengibaskan tangannya yang terkena tumpahan kuah lalu menatap mienya yang sudah mendarat sempurna di lantai.
Ia menaikkan pandangannya dan menatap tajam dua orang dihadapannya. Raskal dan Satya. Kedua temannya itu awalnya nyengir lebar namun kemudian berganti senyum kikuk ketika melihat sorot kemarahan di wajah Alta.
"Hehe sorry nggak senga--"
"Bersihin," sela Alta penuh perintah. Ia berjalan melewati kedua temannya yang mulai ribut menyalahkan satu sama lain. Alta berjalan ke kamarnya dan menutupnya dengan batingan keras.
Ia meraih ponselnya yang tergeletak di atas kasur lalu membuka lock screen karena ada notif line. Sepertinya penting karena Alta filter line dan hanya orang-orang dekatnya saja yang berteman dengannya di line. Alta mulai membuka pesan teratas dan membacanya.
Setelah itu Alta menghela napnas. Ia mengambil random jaketnya dan meraih kunci mobil di atas nakas. Ia berjalan keluar melewati Keral yang duduk di sofa ruang depan dengan kaki berselonjor di meja.
"Mau kemana lo?" tanya Keral tanpa mengalihkan pandangan dari layar televisi.
Alta tidak menjawab. Ia bergegas keluar pintu lalu benjalan cepat menuju lift. Sampai di basement, Alta memasuki mobilnya dan menyetir dengan kecepatan sedang karena hujan ia tidak ingin ambil resiko.
Sekitar dua puluh lima menit Alta berhenti di pelataran rumah sakit. Ia memarkirkan mobilnya dan berlari menghindari air hujan menuju lobi.
"Alta?"
Alta berhenti berjalan ketika sebuah suara yang sedikit familiar tertangkap telinganya. Lalu Alta menoleh.
"Mau jenguk Lamanda, ya?" Alta mengangkat sebelah alisnya saat mendapati Flora didepannya. Kemudian ia memilih tersenyum lalu mengangguk.
Flora membalas senyumnya. "Ayo," ajak Flora kemudian.
Alta mengikuti langkah Flora tanpa banyak bicara. Mereka memasuki lift dan keluar di lantai 3 lalu kembali berjalan melewati lorong rumah sakit yang sedikit lengang. Tidak lama mereka berhenti berjalan dan memasuki ruang rawat nomor dua dari ujung.
Setelah masuk, Alta dapat melihat Kalka yang tiduran di sofa. Kemudian pandangannya teralih pada sosok yang sedang tidur miring diatas brankar. Alta memandang Flora. Flora tersenyum kecil.
Kemudian Flora mendekati Lamanda dan mengusap pelan kepala gadis tersebut. Menyadari Lamanda menangis, wanita itu bertanya.
"Kok nangis?" Nihil. Lamanda tidak menjawab. Kemudian ia menjatuhkan pandangan pada Kalka yang saat ini sudah duduk. "Kalka marahin kamu?"
Lamanda tetap tidak menjawab. Flora menghembuskan nappas kemudian mencium singkat kepala Lamanda. "Ada yang mau ketemu kamu tuh," bisik Flora sebelum beranjak dan menarik Kalka keluar. Memberi waktu untuk Alta dan Lamanda.
Alta yang sejak tadi hanya diam akhirnya mendekat dan duduk dipinggiran brankar lalu tangannya menyentuh lengan Lamanda yang masih memiringkan tubuhnya. Ia mengguncangnya pelan.
Lamanda bergeming. Ia masih terisak. Ia masih merasakan dingin yang teramat. Ia masih dilanda ketakutan.
"Ini gue."
Mendengar suara itu, perlahan tangisan Lamanda mereda namun urung membalikkan tubuhnya.
"Jangan tidur miring gitu. Sini." Alta menarik pelan tubuh Lamanda agar tidur dengan benar. Ia mengangkat sedikit kepala Lamanda. Tangan kirinya membenahi letak bantal lalu meletakkan kembali kepala Lamanda.
Ia memandang gadis didekatnya lekat-lekat. Wajah gadis itu sembab dan pucat dengan kanula nasal terpasang dihidung. Lalu Alta mengernyit ketika Lamanda kembali terisak.
"Kenapa?"
Lamanda menggeleng. Alta jadi bingung sendiri.
"Ada yang sakit?"
Lagi-lagi Lamanda menggeleng membuat Alta menghembuskan napas berat. "Jangan nangis dan diem aja. Gue bingung kalau lo nggak ngomong."
"Kamu kemana aja?"
Alta berdeham. Ia membuka jaketnya yang sedikit basah dan menyampirkannya di sandaran kursi. Ia kembali menatap Lamanda.
"Kenapa lo bisa sampai masuk rumah sakit gini?" Alta bertanya balik.
"Dav.." panggil Lamanda. Ia tahu bahwa Alta sedang mengalihkan pembicaraan.
"Lam," seru Alta tidak suka dengan panggilan Lamanda.
"Alta, aku tanya."
Ia mengusap hidung lalu rambutnya ke belakang seolah sedang menenangkan diri. Ia menatap Lamanda yang mulai berhenti menangis. "Gue ada urusan."
"Apa?"
"Nggak penting. Mending lo istirahat dulu dan jangan banyak ngomong."
"Tadi aku diem disuruh ngomong."
Alta sedikit membungkuk dan mendekatkan wajahnya. Tangannya bertumpu pada kasur. Ia melihat Lamanda melebarkan matanya dengan kedua pipinya yang merebak merah.
"Gue gini terus aja biar lo diem."
Lamanda memalingkan wajahnya kesamping. "Jangan gitu," cicitnya malu.
"Kenapa?"
Lamanda mengeluarkan tangannya yang berada dalam selimut lalu mendorong tubuh Alta menjauh. "Kamu terlalu deket. Jantung aku detaknya keras banget. Aku sampe susah napas."
Alta tersenyum simpul. Ia menjauhkan tubuhnya. "Udah makan?" ia bertanya hal lain.
"Udah."
"Kapan?"
"Kemarin."
"Kenapa nggak makan lagi?"
"Nggak mau."
Alta menatap tajam Lamanda. Lamanda malah tersenyum kecil. Entah kenapa Alta membawa sedikit kehangatan. Setidaknya ia sudah tidak lagi terlalu menggigil sekarang. "Aku nggak bisa makan. Kata dokter aku makannya lewat infus dulu," jawab Lamanda polos.
Jawaban yang membuat bagian dari diri Alta terenyuh.
Kemudian tangan Alta terjulur mengusap kepala Lamanda. Alta dapat merasakan suhu dingin itu. Ia memandang Lamanda. "Dingin?"
Lamanda mengangguk.
Alta membenahi kembali selimut Lamanda dan membawa tangan gadis itu kembali ke dalam selimut. "Yaudah lo istirahat aja ya," ucap Alta sebelum turun dan duduk di kursi samping brankar.
Lamanda menggeleng. "Aku takut."
"Takut kenapa?"
"Aku takut nggak bisa bangun lagi."
Alta tercekat. "Ngaco."
"Tadi aku pingsan. Nggak bangun-bangun."
Alta diam. Ia mengacak-acak rambutnya yang basah agar lebih kering. "Terus?"
"Tiba-tiba aja aku sendirian. Aku nggak tau dimana. Aku cari jalan keluar dan waktu aku buka mata aku udah disini. Tapi aku nggak bisa gerak atau ngomong."
"Itu cuma sleep paralys, Lam."
"Enggak, Al. Waktu aku tutup mata lagi aku kembali ke tempat awal. Aku sendirian lagi. Aku takut," tubuh Lamanda bergetar karena gadis itu kembali terisak.
Alta menghela napas. "Lo cuma ngalamin sleep paralys terus mimpi. Jadi nggak usah takut."
Lamanda menggeleng. "Tadi aku kejang-kejang. Kata dokter jantung aku juga mendadak berhenti."
Alta menatap Lamanda mencoba menelisik mata gadis itu dan tidak mendapati kebohongan disana.
"Aku nggak mau tidur. Aku.. Aku takut nggak bangun lagi."
"Lamanda.."
Alta berdiri dan mencondongkan tubuhnya. Ia mengusap air mata yang mengalir dipipi Lamanda lalu mengecup singkat keningnya. "Udah jangan nangis."
Lamanda melingkarkan tangan kanannya di leher Alta lalu menariknya. Ia merengkuh tubuh Alta membuat lelaki itu terhenyak.
"Aku kedinginan banget."
Beberapa menit Alta memilih diam, merasakan suhu tubuh Lamanda yang ternyata memang sangat dingin. Setelah itu Alta meraih tangan yang melingkar di lehernya dan melepaskan pelukan gadis itu.
Alta menggenggam tangan tersebut lalu mengusapnya sambil sesekali meniupkan napas hangatnya disana.
"I need you, please don't ever leave me alone," ucap Lamanda dengan pipi bersemu merah.
Alta menghentikan kegiatannya lalu menatap Lamanda. "You need me?"
Lamanda mengangguk.
Alta tersenyum senang karena Lamanda membutuhkannya. Karena secara tidak langsung Lamanda mulai bergantung padanya.
Ia mengacak rambut Lamanda lalu melepas genggamannya dan meletakkan tangan Lamanda didalam selimut. "Sekarang tidur."
Lamanda menggeleng. Alta menghembuskan napas berat. Bagaimanapun ia harus membuat Lamanda cepat tidur.
"Mau jalan-jalan nggak?" tanya Alta ketika sebuah ide melintas dibenaknya.
"Kemana?"
"Tutup mata dulu."
Lamanda menggeleng. Nggak mau."
Alta berdecak. Karena tidak sabar, ia menjulurkan tangannya dan menutup mata Lamanda dengan telapak tangan. "Diem atau gue pulang," ancam Alta ketika melihat Lamanda hendak berontak. Lamanda menurut. Ia diam.
"Bayangin lo lagi ada di Matamata. Berdiri di tengah-tengah padang rumput. Didepan lo banyak domba lagi mak--"
"Aku nggak tau Matamata dimana."
Alta mendengus. "New Zealand, Lamanda. Setting The Lord of The Rings itu."
Lamanda membulatkan bibirnya seakan paham. "Terus?"
"Hitung dombanya sekarang."
"Aku nggak kelihatan jadi nggak bisa."
Alta menhembuskan namenggeram frustasi. "Makanya dibayangin."
Lamanda diam sejenak. Ia mencoba menempatkan dirinya di tengah-tengah padang rumput. Di depannya rumah-rumah hobbit berjejeran. Lalu ia melihat domba-domba sedang memakan rumput, beberapa berlarian mengejar satu sama lain. Mereka semua berwarna putih dan gembul-gembul seperti balon.
"One sheep," Alta membuka suara seakan memberi arahan. Lamanda mendengarnya.
"Two sheep," ucap Alta lagi.
Setelah paham Lamanda mulai melanjutkan.
"Three sheep,"
Perlahan tangan Alta tidak lagi menutupi mata gadis itu. Lamanda memejamkan matanya sendiri sambil terus menghitung. Entah kenapa ia jadi menuruti perintah konyol Alta.
"Ninety one sheep.." suara Lamanda mulai memelan. Alta yang sejak tadi mulai mengantuk karena menunggu Lamanda selesai menghitung jadi antusias kembali.
Pada akhirnya Alta bernapas lega ketika Lamanda mulai berhenti menghitung domba ke-91 dan tertidur.
Waktu kecil Alta juga sering melakukan hal tersebut ketika tidak bisa tidur. Biasanya ia akan tertidur pada hitungan domba ke-72, tidak lebih. Tidak seperti Lamanda.
Alta memandang Lamanda yang matanya tertutup rapat. Napas gadis itu juga terdengar teratur. Alta menepuk-nepuk pelan pipi Lamanda.
"And now its time to sleep," ucap Alta.
Kemudian Alta berdiri dan memasang kembali jaketnya. Ia memandang sebentar sosok Lamanda sebelum akhirnya keluar ruangan.
Sesampainya di luar ia mendapati Kalka dan Flora sedang duduk di kursi depan. Setelah mengatakan Lamanda sudah tidur, Alta memilih pamit.
Sambil berjalan menyusuri lorong rumah sakit. Alta merogoh ponselnya di saku celana. Ia membaca kembali pesan yang diterimanya tadi.
Kendy
Alt
Gue lagi di rumah sakit btw
Lo gamau kesibi
kesini
Temenin gye
gue
Napa lo read doanh
Tai ah
Kesini buru
an
Setelah itu Alta menutup jendela pesan linenya dan meletakkan kembali ponselnya sambil terus berjalan menyusuri lorong rumah sakit yang mulai sepi.
Tujuannya hanya satu.
Kendy.
***
Oke ini mungkin nggak ngefeels etapi bodo amat behahaha
Jangan lupa komentarnyaaa
Grup WA chat di 082329534750, jadi ini grup buat info update dan lain2 soal Grey dan ceritaaaa akuuuu lainnya oke. Buat ngerumpi juga hahahaha. Buat curhat, sharing, dan apapun ituuu.