16. Potongan Puzzle
Jika kamu mau, suatu saat kamu akan menjadi hal terbaik bagi seseorang. Tergantung cara kamu memperbaiki hari ini untuk besok dan besoknya lagi. Begitu seterusnya.
***
Sudah puluhan menit berlalu dan Lamanda masih diam di depan cermin besar dihadapannya. Ia mengamati beberapa bagian wajahnya yang memar. Perlahan tangannya terjulur menyentuh bagian bawah matanya, turun ke bagian pipi kemudian sudut bibirnya yang terluka. Ia yakin bahwa tidak butuh waktu yang sebentar untuk menghilangkan bekasnya dan itu hanya akan membuatnya terus mengingat kejadian kemarin.
Kejadian buruk yang seharusnya tidak perlu diingat. Tapi otak sepertinya tidak pandai menyaring, karena semua hal baik dan buruk saling berdesak masuk lalu mengendap menjadi memori.
Lamanda memilih duduk di kursi, menarik bagian rambut depannya ke belakang dan memakaikan headband orange cerah yang sejak tadi dipegangnya. Kemudian menyemprotkan sedikit parfum beraroma vanila ke bajunya.
Lamanda memejamkan matanya sejenak. Pikirannya menerawang pada saat setelah ayahnya pergi. Hari dimana terbukanya portal-portal yang membawanya hingga ke titik saat ini. Hari terberat dalam hidupnya, hidup Kalka.. terlebih Flora.
Lamanda mengingat jelas betapa berat beban yang ditanggung bundanya sejak Rian -ayahnya- pergi.
Flora menjadi tulang punggung keluarga. Bekerja mengurus kafe dan kios bunga yang dirintisnya sejak nol. Tidak cukup sampai disitu, beberapa bulan yang lalu Flora juga mulai bekerja di salah satu perusahaan multinasional yang basisnya ada di Jakarta. Meskipun begitu sibuk, ia tidak pernah mengabaikan kedua anaknya, membuat Lamanda ataupun Kalka tidak pernah merasa kurang kasih sayang.
Lamanda tahu tidak butuh uang yang sedikit untuk menyekolahkannya dan Kalka hingga saat ini, terlebih biaya sekolahnya waktu di Amerika meskipun sebagian terbantu oleh tantenya. Dan sekarang ia tidak ingin menambah beban lagi untuk bundanya. Ia tidak ingin membuat Flora khawatir dan berpikir untuk menyekolahkannya di rumah alias homeschooling, seperti rencana sebelumnya. Karena ia tahu bahwa biaya untuk homeschooling itu tidak sedikit terlebih ia tidak ingin jika masa-masa SMA nya dilalui sendiri di rumah.
Lamanda menghela napas kemudian mengambil masker dan memakainya. matanya teralih pada amplop berisi surat panggilan orangtua yang tergeletak di meja rias. Ia memang belum memberitahukannya pada Flora -karena bundanya itu sedang berada di luar kota- ataupun pada Kalka. Dan sekarang ia sudah mengambil keputusan bahwa ia akan memberitahu Kalka karena tidak ada pilihan lain. Ia juga ingin tahu lebih jauh hubungan antara Kalka dan Vero.
Setelah mengambil tasnya, Lamanda beranjak turun ke bawah. Saat dipertengahan tangga, ia menghentikan langkahnya ketika mencium aroma masakan yang sudah dapat dipastikan berasal dari dapur. Beberapa pertannyaan terlintas dan menghilang dikepalanya.
Apakah bunda sudah datang?
Perlahan ia melangkahkan kakinya kembali, sesampainya di dasar tangga ia berbelok untuk menuju ke arah dapur dan..
"Astagfirullah!" spontan Lamanda sambil menghentikan langkahnya, ia sedikit tersentak begitupula dengan Kalka yang saat ini berdiri di hadapannya.
"Bau-baunya lo ngira gue setan," sindir Kalka mendapati respon Lamanda tadi.
Lamanda nyengir lebar meskipun tidak kelihatan karena tertutup masker. "Gue kira bunda."
Kalka menggeleng. "Bunda belum balik."
Ada perasaan lega ketika Kalka mengatakan demikian. Setidaknya ia tidak perlu berbohong untuk hari ini jika Flora mengetahui keadaan wajahnya yang sekarang.
"Gue tadi lagi masak," kata Kalka kemudian kembali melangkah ke dapur diikuti Lamanda di belakang. Sebenarnya ia berniat membangunkan Lamanda kembali tadi tapi ternyata adik kembarnya itu sudah bangun dan rapi.
"Kok nggak bangunin gue? Kan biar gue aja yang masak."
"Tadi gue udah bangunin lo sampe teriak-teriak tapi lo nggak bangun." Kalka meraih piring di atas rak dan menyendokkan nasi goreng di atas wajan lalu mengulurkannya pada Lamanda. "Cobain."
Meskipun ragu Lamanda tetap menerimanya. Ia menghargai Kalka yang rela bangun pagi dan membuatkan sarapan untuknya.
Disaat seperti ini Kalka benar-benar sosok yang bisa diandalkan dalam hal apapun meskipun terkadang sangat menyebalkan.
Kalka mengambil satu piring lagi dan kembali menyendokkan nasi goreng ke piring. "Gue cuma bisa masak beginian. Itupun gue buka cookpad." Kalka terkekeh dan menoleh ke arah Lamanda. "Lo mau bawa bekal?"
"Nggak usah."
Kalka mengedikkan bahunya. "Yaudah, ayo makan," ia melangkahkan kaki ke arah ruang makan sambil membawa piring ditangannya.
Mereka duduk berhadapan. Kalka mulai makan dan mengunyah nasi goreng buatannya dengan semangat karena ia memang tidak makan dari kemarin malam jadi jangan kaget kalau sekarang ia jadi agresif dan bringas terhadap nasi goreng yang sepertinya kekurangan garam itu. Meskipun rasanya aneh Kalka tidak peduli, sudah kepalang tanggung.
Namun perhatiannya teralih pada Lamanda yang sama sekali tidak menyentuh makanannya.
"Lo nggak suka nasi gorengnya? Mau gue buatin bubur atau roti aja?" tanya Kalka yang otomatis menghentikan makannya.
Lamanda menggeleng dan mulai meraih sendoknya.
"Kalau flu lo belum sembuh mending nggak usah masuk aja dulu nanti gue bikinin surat ijin."
Kemarin Lamanda memang mengatakan sedang flu saat Kalka menjemputnya sepulang sekolah. Ia beralasan demikian karena memakai masker untuk menutupi luka-luka disekitar wajahnya. Lamanda hanya tidak ingin membuat Kalka khawatir.
"Nggak perlu"
Kalka mengernyit. "Ya udah dimakan nasi gorengnya," perintah Kalka sambil kembali menyendokkan nasi kedalam mulutnya.
"Ka.." panggil Lamanda
"Hm"
"Gue mau ngomong satu hal tapi lo jangan marah."
"Ngomong aja," ucap Kalka. Ia menghentikan kembali makannya dan memandang Lamanda.
Lamanda mengeluarkan amplop yang tadi disimpannya di tas lalu menyerahkannya pada Kalka. "Ngg, k-kemarin gue berantem," kata Lamanda takut-takut.
Tangan Kalka mulai membuka amplop tersebut dan mulai membaca surat didalamnya. Setelah itu ia kembali memandang Lamanda. "Nggak apa-apa itu wajar." Kalka tersenyum, "Jangan diulangi."
Mendengar itu Lamanda merasakan sedikit beban dipundaknya terangkat. Hatinya sedikit menghangat dan lega. Ia berpikir Kalka akan marah dan mengadukannya pada Flora tapi yang terjadi justru sebaliknya. Namun masih ada yang menjanggal di hati Lamanda. Tentang hubungan Kalka dan Vero.
"Apapun yang akan lo ketahui nanti lo janji nggak akan marah. Lo janji harus percaya sama gue," kata Lamanda seperti ketakutan bahwa Kalka tidak akan mempercayainya.
"Ada apa sih, Lam? Lo kalau ada masalah cerita ke gue. Biar gue berfaedah dikit jadi kakak lo," ucap Kalka. Ia sudah tidak tertarik pada nasi gorengnya. Fokusnya saat ini hanya pada Lamanda di hadapannya.
Lamanda terdiam cukup lama. Memang tidak seharusnya ia merahasiakan masalahnya pada Kalka karena Kalka bukan orang asing dihidupnya. Ia merasa seperti sosok hebat yang bisa menyelesaikan masalah sendiri, padahal tidak sama sekali.
Sekarang ia sadar bahwa orang yang kuat bukan orang yang melakukan semuanya sendirian karena pada dasarnya manusia memang makhluk sosial yang saling membutuhkan satu sama lain.
Orang yang kuat adalah orang yang mau menerima setiap kekurangan dan menjadikannya kekuatan dengan bantuan dan dukungan oranglain
"V-vero fitnah gue." Lamanda mengatakannya dengan tergagap. "Dia cium gue," lanjut Lamanda.
Kalka langsung terdiam. Nafsu makannya benar-benar hilang seketika. Ia mengepalkan tangannya agar tidak membanting piring dihadapannya sekarang juga.
"Gue nggak tau apa yang pernah terjadi antara lo sama Vero. Lo bilang kalian sahabat, kalau benar gitu seharusnya dia nggak kaya gitu sama gue, karena gue adik lo."
Mata Lamanda memanas. Menceritakan hal tersebut hanya membuat otaknya kilas balik memutar kejadian menjijikkan tersebut.
Kalka menyingkirkan piringnya kemudian mencondongkan tubuhnya dan membuka masker di wajah Lamanda. "Jadi Vero yang bikin lo begini?"
Satu tetes air mata mengalir dipipinya meskipun ia tidak ingin menangis, tapi ini refleks. Lalu Kalka mengusapnya, lembut.
"Sebenernya gue udah tahu dari tadi malem dan gue nunggu lo cerita. Tapi kayanya lo belum siap," tutur Kalka.
Jadi, saat Lamanda tidur tadi malam Kalka ingin meminjam ponsel Lamanda. Ia masuk ke kamar Lamanda dan mendapati adiknya itu tengah tertidur pulas. Kalka sempat shock mendapati wajah Lamanda yang terdapat banyak memar bahkan sempat ingin membangunkannya lalu meminta penjelasan tapi melihat raut lelah dalam tidur Lamanda ia mengurungkan niatnya dan berharap Lamanda bercerita keesokan paginya.
Lamanda menggeleng. "Bukan. Ini masalah lain."
"Masalah sama siapa lagi, Lam?" tanya Kalka dengan nada lelah.
"Gue dilabrak gara-gara disangka dekatin gebetan temen sekolah gue," kata Lamanda.
"Terus dia bikin lo babak belur gini?"
Lamanda tersenyum kecut. Ia merasa seperti pengecut sekarang. "Gue udah kaya anak SD yang beraninya cuma ngadu."
Kalka menghembuskan napas. "Enggak, Lam. Kalau lo nggak cerita, gimana gue bisa tahu masalahnya."
Lamanda menunduk, ia meremas roknya sebagai bentuk pelampiasan. Sepertinya ia butuh ruang kosong untuk berteriak agar semua yang mengganjal di hatinya perlahan terangkat.
"Dia bilang gue pembawa sial. Kalau aja gue nggak sekolah disana, cowok yang dia suka nggak bakal deketin gue."
"Terus?"
"Kenapa kehadiran gue selalu nggak diinginkan? Apa bener karena gue pembawa sial? Kayak yang pernah ayah bilang."
Kalka tercengang mendengar pertanyaan Lamanda. Ini yang paling tidak disuka Kalka dari Lamanda. Adiknya itu akan menyangkut pautkan satu masalah dengan masalah lain. Padahal tidak ada kaitannya sama sekali. Dan itu justru membuat masalah nggak selesai-selesai.
Lamanda tertawa sambil menangis. "Bener kata ayah kalau kehadiran gue itu suatu kesalahan. Gue nggak berguna, manja dan penyakitan.. nggak kaya lo," ia tersenyum ke arah Kalka.
"Lo selalu disayang ayah. Sejak kecil lo paling jago manajemen ataupun ekonomi bisnis yang sering diajarin ayah, lo sering juara futsal ataupun basket. Gue masih inget waktu ayah nonton lo tanding pas SMP dulu padahal disisi lain gue juga butuh ayah nemenin gue di rumah sakit."
Lamanda mengusap wajahnya sedikit kasar. "Gue sering iri kalau lihat lo sama ayah lagi ngobrol berdua. Gue juga pingin ikutan tapi gue pasti nggak akan ngerti sama bahasan kalian," ia terkekeh kecil.
"Saat gue udah bertekad dan usaha buat deketin diri sama ayah," suara Lamanda tercekat ditenggorokan. "Ayah pergi karena gue..."
"Lam, lo ngaco." Kalka mengintetupsi. Ia tidak ingin jika penyakit Lamanda kambuh karena hal ini. Tapi Lamanda mengangkat sebelah tangannya. Kemudian melanjutkan bicaranya.
"Kedua, saat gue merasa bahwa hidup gue akan baik-baik aja karena ada Davino disamping gue. Gue kembali jadi pembawa sial."
Rasanya sangat sulit ketika Lamanda mengucapkan nama Davino. Tapi ia tidak akan berhenti bercerita, ia butuh tempat untuk membuang sedikit bebannya.
"Dengan gegabah gue ambil keputusan yang bikin hidup gue kembali ke titik paling rendah. Gue bego banget," Lamanda dapat merasakan hangat menjalar kembali dipipinya. "Davino meninggal karena gue.. Dan sekarang, gue merasa emang seharusnya gue yang pergi bukan mereka," ia mulai terisak hebat dan menangkup wajahnya dengan kedua tangan
Kalka beranjak dari duduknya dan memeluk Lamanda, memberikan sedikit ketenangan. Ia mengusap kepala Lamanda dan mengecupnya singkat. "Jangan ngomong kaya gitu lagi. Semua bukan karena lo."
Lamanda menggeleng. "Gue takut setelah ini orang-orang yang gue sayang pergi ninggalin gue."
Kalka mengurai pelukannya. "Nggak akan. Percaya sama gue," ia mengusap jejak air mata dipipi Lamanda.
"Gue takut.."
"Lam, ada gue. Ada bunda. Ada Arsya dam Kaila. Kita nggak bakal kemana-mana."
Kemudian Lamanda menatap lekat mata Kalka yang membuatnya lebih tenang. lebar. Sedetik kemudian, ia menghambur ke pelukan Kalka dan menenggelamkan wajahnya di dada bidang kakak kembarnya tersebut. Ia kembali menangis, membiarkan sedikit bebannya terangkat.
Sementara.