***
Angin menghempas anak-anak rambut Lamanda, gadis itu memejamkan mata merasakan sapuan angin pada wajahnya. Alta membawanya ke The Hermitage Hotel, lebih tepatnya rooftop hotel yang disulap menjadi kafe dan bar, La Vue. Saat ini tidak banyak pengunjung yang datang hanya ada beberapa orang yang duduk di sofa.

Ia dan Alta sendiri sedang duduk di salah satu kursi bar yang menghadap langsung ke kota Jakarta. Lamanda dapat melihat keseluruhan sudut kota tanpa terhalang sedikitpun oleh bangunan atau pepohonan karena letak kafe yang berada di lantai 9 gedung hotel dan berada di tengah-tengah kota.
Ia menoleh ke arah Alta yang tertangkap sedang memperhatikannya dengan raut datar. Lamanda tersenyum hingga matanya menyipit.
"Bagus." katanya lalu mengarahkan pandangan kembali ke hamparan kota Jakarta di depannya.
"Makan dulu," perintah Alta lantas menggeser piring berisi Spaghetti Vongole ke dekat Lamanda. Ia mengingat jelas pesan Kalka bahwa Lamanda tidak boleh telat makan karena punya maag.

Alta melihat mejanya yang penuh makanan, karena konsepnya bar jadi memang agak sempit. Ia sudah mengajak Lamanda untuk duduk di sofa tapi gadis itu menolak dan memilih duduk di area bar yang viewnya memang lebih bagus untuk melihat hamparan kota.
"Gue masih mual, nggak bisa makan," kata Lamanda jujur.
"Yaudah makan ini aja dulu. Biar perut lo isi meskipun dikit," ucap Alta dan meletakkan piring berisi chocolate marble di depan Lamanda. "Suka coklat 'kan?"

Lamanda menarik kue tersebut, mengamatinya sesaat dan menghadap Alta. "Lo nggak makan?
Alta menggeleng lalu menenggak habis erdinger miliknya. "Cepet makan, Lam," perintah Alta melihat Lamanda masih bengong.
"Itu apa?" Lamanda menunjuk minuman di tangan Alta.
Alta mengangkat sebelah alisnya dan melirik gelasnya. "Beer," jawabnya santai.
"Lo bisa mabuk, Al. Bahaya, apalagi nanti lo nyetir," nasehat Lamanda. "Lagian alkohol nggak ba--"
"Erdinger kandungan alkoholnya 0,5 persen. Jadi nggak akan. Udah makan sana," potong Alta sebelum Lamanda menyelesaikan ucapannya.
Lamanda menghembuskan napasnya lalu mulai melahap makanannya. Sesekali ia melihat langit barat yang perlahan mulai meredup disertai cahaya kemerahan dan jingga di langit. Hari ini, hujan tidak jadi datang.
"Alta lihat!!" teriak Lamanda tiba-tiba dengan wajah berbinar. Alta mengikuti arah telunjuk Lamanda. Alta dapat melihat lampu-lampu jalanan dan bangunan satu persatu mulai menyala.
Alta tersenyum. "Lo suka?"
Lamanda mengangguk cepat. Ia mengabaikan makanannya dan kembali menikmati pemandangan di hadapannya.
"Kapan-kapan gue ajak ke tempat yang lebih tinggi dari ini, mau?" tanya Alta lagi.
"Dimana?"
"Angkasa." Alta meraih spaghetti volonge yang tadi disodorkan pada Lamanda, lalu memakannya.
Lamanda tidak menanggapi. Ia memilih melihat-lihat kota Jakarta lagi.

"Lam," panggil Alta membuat Lamanda menoleh. Alta menyodorkan gulungan spaghetti pada Lamanda, menunggu gadis itu membuka mulut.
Dengan ragu Lamanda membuka mulutnya dan memakan makanan khas Italy tersebut. "Udah ya, gue masih mual," ucap Lamanda.
Alta menyingkirkan piringnya dan menatap lekat Lamanda disampingnya.
Beberapa menit hanya dilalui dengan diam seakan mereka sama-samamemberi sedikit ruang sebelum pembicaraan yang menguras emosi dimulai.
"Apa yang membuat lo nggak percaya kalau gue Davino? Muka gue?" tanya Alta tiba-tiba.
Lamanda menoleh lantas mengamati wajah Alta. Mulai dari mata abu milik Alta, hidung perlahan turun ke bibir kemudian mata lagi. Ia membiarkan Alta berbicara lebih lanjut.
"Apa karena gue berbeda jadi lo nggak percaya sama gue?" tanya Alta. Lagi.
"Gue masih belum percaya aja," jawab Lamanda. Ia kembali mengalihkan pandangan ke hamparan kota Jakarta di bawah.
"Kenapa?"
"Semua bilang Davino meninggal. Dan emang mustahil kalau misalnya dia masih hidup setelah kecelakaan itu." Lamanda merasakan suaranya tercekat ditenggorokan. "Stop main-main dalam masalah ini. Gue nggak tahu darimana lo tahu semua hal tentang gue." Lamanda memandang Alta. "Jangan kaya gini.."
Berhadapan dengan Alta seperti sekarang ini membuat jantung Lamanda berdegup kencang apalagi setelah pengakuan Alta.
Bagaimana jika Alta benar Davino?
Tapi itu mustahil.
Lamanda terperajat ketika Alta memeluknya. Ia tidak bisa memberontak seakan sendi-sendinya lumpuh.
"Gimana bisa lo nggak percaya sama gue?" gumam Alta. Ia meletakkan kepalanya di ceruk leher Lamanda.
"Gue benci sama lo dan sempat berniat buat balas dendam. Tapi ternyata rasa cinta gue ke lo lebih besar."
"Lo orang pertama yang ada buat gue saat semua orang nggak sedikitpun peduli sama gue," Alta menciumi rambut Lamanda dan enggan melepaskan pelukannya. "Gue masih inget semuanya.. waktu pertama kita ketemu sampai kecelakaan waktu itu," terdengar hembusan nalas Alta.
"Setelah itu lo ninggalin gue. Saat gue koma pun lo nggak pernah dateng buat gue. Jenguk gue sekali-kali. Iya 'kan?"
Lamanda mencengkram kemeja Alta menahan isakannya. Ia ingin mengucapkan suatu hal namun tercekat di tenggorokan. Ia semakin menenggelamkan wajahnya ketika Alta mengusap rambutnya pelan.
"Karena gue cinta sama lo, gue bermaksud memulai lagi dari awal. Saat gue berpikir semuanya akan lebih mudah dan mencoba ngejelasin semuanya sama lo, lo malah nggak percaya."
Lamanda mencoba mengurai pelukannya, Alta membiarkan. "Lo ngarang iya kan?" suara Lamanda terdengar gemetar.
Alta tersenyum. "Waktu kita ketemu di ruang musik , lo ngira gue Davino kan?"
Alta benar. Tapi entah kenapa saat Alta mengatakan demikian sebagian dirinya tidak percaya. Ada banyak hal yang tidak ia tahu dan saat Lamanda ingin menanyakannya ia malah bingung harus bertanya apa.
"Kalau lo emang Davino, siapa yang donorin mata ke gue?"
Alta menghela napas. "Masalah itu gue nggak tahu. Gue koma dan nggak tau kalau lo sempat buta. Seharusnya, lo tanya ke ke keluarga lo." Alta mengamati wajah Lamanda.
"Mereka bilang, Davino yang donorin matanya buat gue."
"Kalau benar gitu, harusnya mereka tahu dimana makam Davino," balas Alta.
Lamanda bingung. Semua orang mengatakan kalau Davino yang mendonorkan mata untuknya dan sekarang Alta mengucapkan pengakuan yang membuatnya semakin bingung. Ternyata ada banyak hal yang Lamanda tidak tahu selama ini.
"Lamanda.." panggil Alta.
Lamanda menoleh. Ia menahan napas ketika perlahan Alta mendekatkan wajahnya.
"Tau bunga baby breath?" tanya Alta pelan.
Mata Lamanda sedikit membulat membuat Alta tersenyum. Kemudian Lamanda mengangguk.
Alta menjauhkan kembali wajahnya. "Baby breath itu cuma nyelip-nyelip diantara krisan, lili, anyelir, ataupun mawar di karangan bunga yang bunda lo buat. Tapi entah kenapa, gue suka. Baby breath itu kayak lo. Ada banyak wanita yang dekatin gue tapi entah kenapa gue tertariknya sama lo." Alta menarik wajah Lamanda agar menatapnya. Ia tersenyum setelah menemukan mata abu Lamanda. "Lo itu beda. Seperti napas bayi.. polos. Makanya gue sayang banget sama lo, sampai sekarang."
Lamanda merasa deja vu. Ia menatap Alta dengan mata yang mulai merabun karena air mata yang kembali menggenang di kelopak matanya. "D-dav?"
Alta tersenyum lalu kembali membawa Lamanda dalam dekapannya. "Ya?"
"I-ni D-ddavino?"
Alta memejamkan matanya. Menghirup aroma strawberry yang menguar dari rambut Lamanda. "Ini Davino.." bisiknya.
Alta dapat merasakan Lamanda yang kembali terisak lebih dari tadi. Tangannya terjulur merapikan rambut Lamanda. Kemudian berbisik kembali.
"Lam. Please, start for all with me. Believe me, i'm Davino," merasakan Lamanda membalas pelukannya dengan erat, Alta tersenyum.
Akhirnya, semua yang diinginkan Alta akan segera dimulai.