Chereads / Alta dan Allamanda / Chapter 19 - Bab 9 B | Bermain Insting

Chapter 19 - Bab 9 B | Bermain Insting

Bu Tara sudah berdiri di hadapan Alta yang dengan tidak tahu dirinya berdiri dengan tampang tidak berdosa. Seolah anak itu tidak berbuat salah,  padahal yang terjadi sebaliknya.

"Dari kelas sepuluh kamu selalu saja melanggar aturan. Kamu nggak capek hampir setiap hari dihukum. Kamu nggak malu?"

Alta diam. Ia membiarkan Bu Tara mengoceh sepuasnya. Alta tidak perlu menjawab karena itu semua percuma. Bu Tara akan tetap menang pada akhirnya.

Di sekolah undang-undangnya simple. Pasal satu, guru tidak pernah salah. Pasal dua, kalau guru salah kembali lagi ke pasal satu. Jadi intinya murid yang selalu salah.

"Kenapa nggak pakai seragam?"

Satu pertanyaan yang jika dijawab akan bertambah rumit dan berkepanjangan tapi jika tidak dijawab telinganya bisa copot mendengar ceramah Bu Tara. Alta mendengus, "Dipinjam." ia tidak berbohong karena kemejanya memang dipinjam. Lebih tepatnya dipinjamkan.

"Alasan saja kamu. Sudah berapa kali saya bilang kamu itu harusnya tobat, Alta. Dosa kamu itu sudah seabrek."

Melihat Alta diam saja, Bu Tara menghela napas. Ia mengusap wajahnya ketika melihat tepat rambut Alta, "Ganti warna rambut kamu!" perintah Bu Tara.

"Udah,"

Bu Tara jadi greget sendiri, "Ganti hitam bukan coklat seperti itu!"

Alta memang sudah mengganti warna rambutnya sesuai perintah Bu Ramti kapan hari. Alta mengganti rambut blondenya jadi dark brown. Menurut Alta itu sudah bagus karena tidak mencolok. Dan sekarang ia disuruh mengganti warna rambut lagi? Menyebalkan. Masih untung ia tidak memakai saran Bu Ramti yang waktu itu. Warna apa katanya? Warna pelangi, huh?

"Kamu dengar saya ngomong kan, Alta?"

Alta hanya hanya berguman tidak jelas. Ia sangat malas menanggapi Bu Tara.

"Sekarang kamu bersihkan lapangan outdoor setelah itu berdiri sampai istirahat kedua!"

"Tap--"

"Kerjakan atau saya telfon mama kamu!"

Jika sudah begini Alta mau tidak mau menuruti perintah Bu Tara. Alta tidak mau mamanya repot karenanya apalagi saat ini mamanya sedang ada di luar kota.

Alta segera beranjak ke arah lapangan sekolah dengan malas. Langkahnya terhenti ketika matanya bertemu dengan mata Lamanda. Hanya sekilas karena Alta memutuskan kontak mata lalu kembali berjalan tanpa melihat ke arah gadis itu lagi.

Lamanda yang sedari tadi hanya diam di tempat merasa bersalah karena sudah mendengar percakapan Alta dan Bu Tara. Jadi, Alta dihukum karenanya.

Pikiran Lamanda gamang. Antara menghampiri Alta atau kembali ke kelas. Namun saat kedua sahabatnya menariknya jadi ia ikut saja. Kembali ke kelas.

Lamanda pikir, lebih baik memang begitu. Ia tidak ingin terkena masalah lagi karena berdekatan dengan Alta. Dan untuk kemeja yang belum ia kembalikan ia akan memikirkannya nanti saja. Toh, kemarin Alta yang memaksanya. Seharusnya Lamanda memang tidak perlu merasa bersalah.

Sedangkan Alta yang sudah sampai di lapangan, ia terperangan dengan keaadan di hadapannya. Alta menghembuskan napas kesal lalu berjalan mengambil sapu disudut lapangan dan mulai menyapu daun-daun kering disekitarnya.

Ia melirik Bu Tara yang masih setia mengawasinya di tempat duduk depan kelas. Jika begini Alta tidak bisa kabur. Alta merutuki pepohonan yang menurut Alta dengan sengaja menjatuhkan daunnya ke sisi yang sudah Alta sapu sehingga membuat lapangan kotor lagi dan lagi.

***

Sekolah telah sepi ketika Lamanda masih duduk di kelas, ia sedang menunggu jemputan karena Kalka ada turnamen futsal hari ini jadi ia pulang terlambat dan Lamanda yang notabene nebeng pada Kalka harus bersabar menunggu Kalka.

Lamanda melirik paper bag ditangannya. Ada hal yang harus dipikirkannya baik-baik jika tidak ingin mengulang kesalahan seperti pertemuannya dengan Alta waktu itu. Ia harus mengembalikan kemeja Alta tanpa sepengetahuan siapapun, entah bagaimana caranya Lamanda tidak tahu. Jika Lamanda harus menemui Alta kembali maka itu adalah pilihan yang sangat salah karena ia akan membangunkan murka fans-fans Alta. Mungkin Lamanda bisa menyuruh Raskal saja nanti mengingat Raskal adalah teman Alta, tapi itu tidak sopan.

Lamanda berjalan keluar kelas. Dilihatnya sekolah yang sudah sedikit sepi. Hanya ada beberapa murid yang masih berada di sekolah. Saat berjalan di koridor, Lamanda menghentikan langkahnya lalu menuju ke mading terdekat. Diamatinya denah sekolah yang tertempel di sana. Tangannya mulai menyusuri kotak-kotak dengan nama ruangan di kertas karton itu. Ia sedang mencari ruang musik.

Saat ditemukannya letak ruangan tersebut ia segera berbalik dan melangkahkan kakinya dengan semangat. Sejak berencana masuk ke sekolah ini Lamanda memang telah memutuskan untuk ikut ekskul musik dari jauh-jauh hari.

Ia menapaki anak-anak tangga menuju lantai dua. Cukup menguras tenaga karena bangunan lantai dasar yang tinggi. Selanjutnya adalah menuju lantai tiga. Lain kali Lamanda akan memasukkan saran di kotak saran depan ruang OSIS agar menyediakan lift untuk sekolah ini.

Sesampainya di lantai tiga Lamanda berhenti sejenak. Ia mengatur napasnya. Lalu sudut matanya melihat dua orang siswa baru saja keluar dari dalam lift. Tunggu, apa tadi? Lift? Betapa bodohnya Lamanda tidak mengetahui hal tersebut. Lamanda menarik dasinya kesal. Dengan segera Lamanda beranjak dari tempatnya. Kembali mencari ruang musik.

Langkahnya terhenti mendapati ruangan yang ia cari sedari tadi.

Music Room

[Welcome to the world's best]

Setidaknya Lamanda sudah tahu dimana tempat ia akan menghabiskan sebagian waktunya saat di sekolah. Selanjutnya tinggal mendaftar. Lamanda mendekat ke arah mading samping pintu. Ia segera mencatat contact person untuk pendaftaran. Selesai.

Lamanda melihat jam di pergelangan tangannya. Hampir jam empat pasti Kalka sudah menunggunya di depan. Ia cepat-cepat berbalik dan melangkah namun langkahnya terhenti ketika ia mendengar dentingan piano mengalun. Lamanda mengenali nada tersebut.

Instrument piano If You Were By My Side.

Jantung Lamanda berdetak kencang. Lagi dan lagi tangannya dingin.

"Dont be afraid. Youre brave."

"Dont be confused. All is certain"

"Dont be sad. You can laught"

"And dont give up. I am here."

"You should know. I am yours."

Lamanda otomatis mengingat kata-kata itu. Sudah bertahun-tahun ia mencoba melupakan semuanya, tapi dalam satu rangkaian melody yang diciptakan tuts-tuts piano itu,  semuanya gagal. Otaknya kembali memutar memori-memori lamanya,  menampakkannya kembali ke permukaan seolah mengejeknya.

Ia ingin cepat meninggalkan tempat itu tapi rasa penasaran lebih mendominasi dirinya saat ini.

Maka sekuat hati Lamanda berbalik. Ia menghampiri pintu kayu putih di hadapannya. Dengan tangan bergetar Lamanda meraih gagang pintu ruang musik. Ia membukanya perlahan.

Cahaya langit langit barat yang masuk melalui jendela kaca besar tepat di depan piano menabraknya, membuat Lamanda memicingkan mata.

Ruangan musik itu bernuansa hitam putih. Luas dan rapi. Beberapa alat musik tertata rapi di dekat stand partitur seperti angklung, drum, gitar, bass yang digantung di dinding, beberapa macam piano dan lainnya . Sisanya hanya ruang kosong dengan sofa putih di beberapa sudut ruangan.

Tapi pandangan Lamanda langsung tertuju pada seseorang di balik grand piano putih yang saat ini sedang memunggunginya. Orang itu tidak berhenti memainkan jari-jarinya si atas tuts piano.

Lamanda melangkah mendekat dengan kaki bergetar. Namun orang didepannya sama sekali tidak merasa terusik dan masih terus memainkan piano.

Hanya tinggal beberapa langkah lagi dan Lamanda akan mengetahui kebenarannya. Apakah sesuai dengan yang ia pikirkan atau tidak meskipun Lamanda sangat berharap bahwa orang itu benar dia. Meskipun mustahil.

Saat mata Lamanda menangkap jari tangan yang bermain lincah di atas tuts piano itu Lamanda tahu bahwa saat ini ia benar. Lamanda masih ingat jelas bagaimana cara jari-jari itu bermain piano. Ia menatap nanar punggung orang tersebut. Tepatnya pada angka 24 yang tertera di kaos basketnya.

Lamanda menenangkan dirinya. Mengatur detak jantungnya. Ia menggigit bibirnya karena matanya mendadak sakit dan panas.

Matanya memburam.

Saat tinggal selangkah lagi matanya langsung melebar. Ia menutup mulutnya agar tidak berteriak.

"Dav?!"

***

Terimakasih sudah membaca sejauh ini:)

Bilang ke gue,  gimana perasaan kalian setelah baca ini.