Chereads / SI KELINCI PUTIH / Chapter 19 - CHAPTER 19 : MALAM KEDUA

Chapter 19 - CHAPTER 19 : MALAM KEDUA

Desa tak berpenghuni yang dikunjungi Alice dan lainnya memiliki sebuah misteri dibaliknya, karena kepergian warga desa sangat ganjil. Jika terjadi musibah letusan gunung berapi pasti kondisi rumah sudah rusak, mungkin warga meninggalkan desa ini karena unsur kesengajaan.

"Sudahlah Alice… jangan terlalu dipikirkan, warga desa ini pasti baik-baik saja" kata Mawar

"yaa kau benar—mungkin aku terlalu terbawa suasana"

Setelah menjelajahi seluruh isi desa, kami berempat pergi meninggalkan desa. Tak lupa kami menjamah berbagai peralatan yang bisa dipakai di alam bebas. Kurasa pisau dapur ini berguna untuk mengupas kulit buah atau sejenisnya.

Sampai sekarang aku masih belum menemukan checkpoint padahal dari sini terlihat jelas tower yang di tengah pulau—atau ini memang jalur yang salah. Aku menjadi tak enak kepada teman-teman yang mengikutiku, dikerumuni tekanan bersalah akhirnya aku meluapkan perasaanku.

"teman-teman kurasa ini jalan yang salah—maafkan aku, apa sebaiknya kita kembali?"

"apa yang kau katakan Alice? Kami mengikutimu atas kemauan sendiri tanpa paksaan, tak perlu minta maaf" balas Leo. Kedua lainnya menampakkan senyum ikhlas kepadaku, itu malah membuatku semakin bersalah—dasar teman sialan!

Aku memejamkan mata memaklumi keegoisan mereka, kupikir mereka akan semakin ribut karena besar kepala. Ternyata malah diam, suasana menjadi hening, hanya langkah kaki saja yang terdengar. Kemudian aku menengok ke belakang—ketiga orang itu susah tidak ada.

Heeeii… heeii… ini bukan waktunya bermain petak umpet lhoo… apa mungkin mereka memutuskan kembali? Jika benar—itu waktu yang sangat cepat untuk menghilang, hanya hantu yang bisa melakukannya.

Aku menjadi siaga dan memasang kuda-kuda, satu serangan mengarah padaku. Itu adalah sebuah peluru yang nampak seperti jarum. Aku melompat mundur—menghindarinya. Serangan kedua muncul dari atas pohon, dengan tepat aku berhasil menangkisnya menggunakan pisau.

Sudah kuduga firasat burukku ini selalu membawa petaka, pasti mereka yang menculik teman-teman. Sepertinya jarum itu sudah dilumuri obat tidur—setara dosis gajah. Aku yakin sebab itu Mawar dan yang lain tiba-tiba menghilang tanpa suara.

"siapa kalian? Apa yang kalian inginkan dari kami?" aku mencoba berkomunikasi dengan mereka, bisa jadi ini cuma salah paham.

"sepertinya kelinci yang satu ini cukup gesit" seorang pemuda melompat dari atas pohon tepat di depanku.

"menyerahlah dasar penculik!" kata pemuda di depan ku yang menundingkan telunjuk.

"apa yang kau maksud? Bukannya kau yang menyerang kami terlebih dahulu?" balasku

Sepertinya terjadi kesalahpahaman di sini, aku berusaha mencerna kata-kata pemuda yang tampak marah ini. Aku harus meluruskan situasi ini—jangan sampai malah membuatnya semakin runyam.

"dengar! Kami adalah murid dari Singhasari High School yang melakukan ujian tengah semester di pulau ini, bahkan kami sudah dapat ijin dari pemerintah setempat" tegasku

"Bohong!!! Aku melihat kemarin orang-orang yang memakai seragam sepertimu telah menculik bagian dari kami?" sanggah sang pemuda

"apaa? Itu tidak mungkin!" aku menyangkalnya

"sudaah!!! Tak usah banyak omong, takdirmu ada di tanganku!!"

Bergegas ia melancarkan serangan dari depan, aku menghindarinya berliku-liku kenan dan ke kiri. Inilah keuntungan memiliki tubuh wanita, aku bisa lebih cepat dan bergerak lebih mulus. Seseorang pernah mengajariku, fisik wanita memang lebih lemah daripada pria, dan ukuran tubuh kami juga bisa dibilang setengah dari tubuh pria. Kekuatan bukanlah satu-satunya jalan untuk menang, kami masih memiliki kesempatan untuk mengalahkan pria, yaitu dengan kecepatan dan kelincahan. Oleh karena itu aku juga mempelajari seni bela diri judo, yang menfaatkan kekuatan lawan untuk menyerang balik. Dengan waktu yang tepat dan akurasi yang tajam kemenangan menjadi sangat mungkin bagi kami. Para wanita hanya harus bertindak dua atau tiga kali lebih cepat daripada pria.

Aku memang berhasil dari tiap serangan pemuda ini, namun aku kalah oleh serangan dari arah yang tak kuketahui, sebuah jarum sudah menusuk leherku—beberapa detik saja aku sudah kehilangan kendali, rasanya seperti melayang jiwaku ini copot dari badan.

Entah berapa lama aku pingsan—akhirnya aku terbangun. Aku tak bisa bersuara, mulutku dibungkam, tangan dan kakiku juga terikat. Seingatku ini sudah keuda kalinya aku terjebak dalam kondisi menyedihkan. Beruntung dulu ada Obama yang menyelamatkan-ku waktu tragedi di pabrik kertas, kalau sekarang rasanya mustahil terjadi, aku tertawa dalam hati sembari menghela nafas.

Bekerja sama dengan Obama sudah tak bisa diharapkan lagi, aku harus mencari akal keluar dari situasi menggunakan perantara seadanya.

Teman-teman juga tertangkap, lekas aku menyenggol Mawar yang berada di balik punggungku. Balasan senggolan kuterima darinya, nampaknya dia baik-baik saja. lalu aku berusaha berteriak, meski tak mengeluarkan suara, serta melototkan mataku setidaknya ini bisa menarik perhatian musuh.

"heeii… heeii… jangan berulah! Atau kuretakkan ginjal kau ini!" kata penjaga

Tuuh kan benar dia jadi melihatku-tak ada lelaki yang tahan dengan pesonaku.

Akhirnya muncul juga, si pemuda brengsek yang melawanku sebelumnya, dasar lemah! Melawan perempuan saja kau berbuat curang! Mentalmu benar-benar tak sejantan ototmu bro!

"baiklah… dimana kau sembunyikan gadisku?" kata pemuda berotot usai melepas kain yang menyumpal mulutku.

Dasar bucin! Ternyata orang ini sudah punya pacar, pasti semangatnya yang meluap-luap itu digerakkan oleh cinta. Gawat! Aku harus menyiapkan jawaban yang tepat untuk pertanyaan ini.

"aku tak tau wanita yang kau maksud! Kami tak ada hubungannya dengan semua ini!" balasku dengan tegas.

Dia langsung menamparku—kukira jika aku berkata jujur, mereka akan langsung percaya—tentu saja tidak. Kurasa aku akan sedikit berbohong kali ini, coba liat bagaimana responnya selanjutnya. Tidak puas dengan jawabanku, ia menghampiri satu per sastu dari kami, sudah pasti jawaban yang sama yang kau dapatkan.

"tunggu… kami menyerah… aku akan membelot kepada bos—kubantu dirimu menemukan apa yang kau cari" balasku

"hahaha… tentu saja itu yang aku mau—tapi bagaimana jika kau mengkhianatiku dan menusukku dari belakang?" balas pemuda itu yang mengarahkan pisau dapur milikku tepat di depan mata kananku.

"yaa.. tentu saja kau bisa menusuk Leo—temanku" Mendengar perkataanku, Leo yang masih terbungkam menjadi kikuk dan bingung ketakutan sendiri—tapi itu yang membuat dia imut. Keringat dingin mulai mengucur dari dahinya, terlihat jakunnya yang baru saja menelan ludah.

"menarik sekali kau berani mengorbankan teman-mu dasar gadis jalang! Wahahaha… cepat masukkan mereka bertiga ke dalam penjara! Aku punya urusan dengan gadis ini"

"hoooii… bukan begitu perjanjiannya! Itu tidak adil!" aku begitu naif, ternyata ucapannku masih kurang untuk memperdaya orang ini. Aku tak boleh ceroboh untuk yang kedua kalinya bisa-bisa nyawa teman-teman yang jadi taruhannya.

"antar aku ke tempat kau kehilangan wanitamu!" tegasku yang mengurut pelan pergelangan tangan.

"ohhh.. cepat juga pemikiranmu gadis tengik"

Orang ini memang belagu, yang lebih parah adalah ucapannya yang terus-menerus menghinaku. Padahal aku belum pernah bertemu dengan pria ini, tapi sepertinya dia memiliki dendam terhadapku.

Pemuda bermulut kotor mengajakku menaiki delman yaitu, kereta berkuda. Tidak buruk juga—serasa nostalgia bersama kakek… pikirku. Kuda hitam adalah lambang ksatria pemberani membawa kami menuju tempat yang dimaksudkan. Semoga kebohonganku ini tak berujung pada nasib buruk, lebih baik sekarang aku ikuti dulu arusnya… sebelum aku jadi ikan salmon.

Jalan yang dilalui delman tidak kukenal… padahal sejak kemarin aku sudah memasuki hutan—ternyata pulau ini lebih luas daripada yang aku kira. Padahal kami melalui pepohonan padat nyatanya tak membuat kuda ini kesusahan, dia cukup lihai untuk menghindari bebatuan dan jalan terjal, tentu saja tak lepas dari sang kusir yang sudah melatihnya bertahuhn-tahun.

Beberapa saat jumlah pepohonan nampak semakin renggang, kami kembali ke jalan raya. Sejujurnya ini membuatku lebih lega, daripada harus terus-menerus memegangi ujung kursi akibat goncangan yang ditimbulkan jalanan yang tidak rata. Saat seperti inilah aku bisa menikmati angin yang membelaiku.

Ksatria hitam pun berhenti, dia menjulurkan lidahnya, nafasnya juga tersengal, sepertinya dia kelelahan—kupikir begitu. Nyatanya, sang kusir yang menghentikan dia, mulai dari pinggir jalan ini aku dan pemuda mulut kotor harus berjalan. Sang pemuda mengangkat jemari memberikan kode kepada sang kusir untuk menunggunya.

Kami tiba di sebuah tugu peringatan, ada sebuah tulisan yagn tercantum pada tugu itu. Tugu ini memiliki tinggi sekitar tujuh meter berbentuk seorang pria yang gagah—dilihat dari posenya sepertinya dia termasuk golongan orang penting. Belum sempat aku membaca history pada tugu ini, si pemuda menarikku untuk sembunyi.

"cepat kemari gadis tolol!"

"bisa gak sih kau sedikit lembut terhadap perempuan? Dasar mulut kotor!" balasku

"kau bisa membuatku tertangkap, berdiri di depan tugu seperti itu menarik perhatian saja! apa memang itu tujuanmu? Gak ada otak bangsat" dia mengarahkan pisau kepadaku

"Tentu saja tidak—aku hanya penasaran dengan tugu yang gagah itu. ngomong-ngomong berhentilah memanggilku dengan kata-kata kotor, aku juga punya nama. Panggil aku Alice saja itu lebih enak didengar!"

"bodo amat!"

Perseteruan kami berhenti karena tampang pria itu sudah memasuki mode serius, aku bisa mengetahui dari gestur wajahnya. Ia mulai menjelaskan menunjukkan denah markas musuh. Dia menyuruhku untuk membawa kembali kekasihnya yang telah ditangkap oleh seseorang yang dicurigai dari pihak kami. Setelah menemukan lokasi penyekapan aku harus mencari rute pelarian, dan kembali ke sini. Sebagai pertukaran nyawa Mawar, Ringgo, dan Leo akan selamat—nyawa dibayar dengan nyawa.

"baiklah kalau begitu… tak ada pilihan lain yaa?" usai melihat denah, aku lekas berdiri menatap rendah dirinya—seketika aku lancarkan tumitku tepat di atas kepala pria dengan mulut yang menjijikkkan itu.

"sayang sekali yaa… kau dan mulut kotormu sebaiknya diam!"

Keadaan menjadi lebih rumit, di tengah-tengah ujian semseter kami malah terlibat dengan kasus penculikan. Alam bebas bukan lagi menjadi ancaman bagi kami, yang lebih buruk adalah para manusia yang saling berkonflik di sini. Aku tak tau apa tujuan dibalik penculikan ini, harusnya aku tak terlibat lebih dalam. Namun, mengingat Mawar dan yang lain tertangkap oleh komplotan pria kotor ini—jelas aku tak bisa kembali dengan tangan kosong.

Ada satu ganjalan yang mengangguku, kenapa pria ini berpikir bahwa orang yang yang memakai seragam sekolah seperti kami terlibat dalam penculikan pacar nya? Apa mungkin ada seseorang dari singhasari high school yang menjadi dalang dari semua ini? Aku tak bisa berpikir lebih jauh lagi, semuanya hanya pradugaan tanpa bukti. Aku harus mencari tau kebenarannya, pertama-tama aku harus menyerahkan pria ini kepada musuh, biarkan mereka menyelesaikan urusan mereka masing-masing, dan aku akan menyelesaikan masalahku sendiri.