"Booss… aku sudah menangkap wanita ini" kata Hani yang mendorong punggungku
"waaahhh… seperti yang kuharapkan—gladiatorku pasti takkan kalah"
"perintahmu boss"
"baiklah—bunuh dia!" balas si boss"
"maaf lancang boss, apa anda yakin untuk menghabisi nyawanya—gadis ini cukup berharga ditukar sebagai komoditas"
"ohhh apa kau menentangku demi dia?"
"bukan begitu boss, menurut gadis ini orang-orang desa akan menyerang markas. Kita bisa menggunakan gadis ini untuk menyerang balik ke pusat desa"
"hmmm… benar juga—kita akan menyerang desa mereka terlebih dahulu, sebelum warga desa menyerang kita. Mari kita tunjukkan kekuatan kita!"
Lalu Hani menjebloskanku ke sel tahanan.
"heei… bukankah ini tak sesuai kesepakatan? Bukannya kita akan menyelamatkan teman-teman—tapi mengapa kau malah menahanku di sini?" desisku
"prioritasku bukanlah menyelamatkan teman-teman, tapi adalah mendapatkan sesuatu yang ada di dalam brankas—itu lebih berharga daripada nyawa satu atau dua orang. Aku harus mendapatkannya, oleh karena itu aku akan mengumpulkan semua lencana yang tersebar!" tegas Hani sebelum meninggalkanku di sel sendirian. Rencana yang kami sepakati untuk menyelamatkan anak-anak yang diperdagangkan telah diingkari, sekarang Hani dan para mafia menuju desa untuk mendapatkan tangkapan lebih banyak.
Spekulasiku Hani tetap meilih berada dalam lingkup mafia, karena memiliki kepentingan sendiri—misi yang dipikulnya adalah mendapatkan seluruh lencana yang dimiliki siswa-siswi Singhasari High School. Hani percaya bahwa lencana tersebut memiliki kekuatan magis.
***
Dengan membawa persenjataan lengkap, mafia menyerbu desa. Mungkin ini adalah akhir dari penduduk desa Dewata, mayoritas warga desa yang ditinggalkan sudah melarikan diri dari desa mencari tempat tinggal yang lebih aman, sedangkan orang-orang yang tidak terima dengan nasibnya terus melawan mafia hingga titik terakhir.
Dua jam telah berlalu—waktu yang cukup untuk mencapai desa tersembunyi. Pasukan mafia sudah mengitari desa, siap menyerang dari lingkar desa. Dalam rencana ini, Hani menilai seekor nyamuk pun takkan bisa lolos dalam sergapan kali ini, dan penduduk Dewata akan benar-benar tamat.
Satu per satu wali desa berhasil diringkus dengan tepat, kemudian beberapa penduduk disergap saat berburu babi hutan. Kini Boss mafia telah mengumpulkan semua warga di depan rumah kepala desa.
Seperti yang biasa dilakukan boss, wanita dan anak-anak akan dijual keluar negeri, dan para pria akan dihabisi. Begitulah sistem perang dari dahulu hingga sekarang, menjarah dari musuh yang kalah adalah sebuah hadiah bagi sang penguasa.
Hani berlajan memeriksa rumah demi rumah, sesuai yang ia inginkan—menemukan tiga orang tawanan.
"baiklah sekarang sudah aman… Alice memintaku untuk menyelamatkan kalian"
"siapa kau?" kata Mawar
"aku adalah Hani dari kelas A. Situasinya menjadi tegang, sekarang desa ini sudah dikepung oleh mafia, dan warga sudah dikumpulkan di pusat desa. Satu-satunya cara keluar dari situasi ini adalah melumpuhkan boss mereka."
"lalau bagaimana dengan pasukan mafia, apa mereka membawa senjata api?" kata Leo
"yaa.. benar ini akan sedikit sulit, mungkin saja trjadi pertumpahan darah di sini. Sebisa mungkin aku ingin menghindarinya"
"itu bisa dihindari kok, aku akan mengurusnya, tapi aku butuh pengalihan apa kau bisa mengusahakannya?" kata Ringgo
"Oke… aku cukup ahli dalam hal ini" balas Hani.
Kemudian Hani kembali ke pusat desa, dan melaporkan penyelidikannya kepada boss.
"bagaimana Hani apa—sudah semuanya?" kata boss
"sesuai yang anda lihat boss, semua warga sudah ditangkap"
Lalu boss memerintahkan untuk kembali ke markas dengan semua barang rampasan, dan meminta prajurit untuk membunuh para pria. Pertaruhan memang tak selalu berkahir mujur, kehilangan satu atau dua orang memang tak bisa dihindari itu adalah pengorbanan yang dibutuhkan untuk menyelesaikan misi. Tetapi Ringgo tak berpikir sama seperti yang dipikirkan Hani.
Ringgo menggeledah gudang persenjataan warga desa ia mencari senjata yang digunakan warga desa untuk melumpuhkan dirinya yaitu tulup.
Tiupan Ringgo tepat mengenai leher prajurit sesaat sebelum ia melancarkan tembakan kepada warga. Jelas saat itu juga, prajurit yang lumpuh menjadi pusat perhatian semua orang.
Tiupan kedua mengenai mafia lainnya, ini adalah tembakan yang tersembunyi layaknya sniper. Beberapa warga berhasil lolos—sehingga terjadi kejar-kejaran antara mafia dengan warga. Hal ini membuat perhatian terpecah belah. Boss mafia yang mulai panik, semakin waspada melihat lingkungan sekitar mencari asal tembakan Ringgo.
Kondisi yang kacau itu membuat salah satu mafia mengambil tindakan untuk menembak kepala warga. Jarum bius berhenti untuk saat ini, Ringgo dan lainnya tak bisa melancarkan serangan. Di sinilah pengalihan yang dimaksud Ringgo, dengan tenang Hani Menghampiri mafia itu.
Hani berhasil menyembunyikan niatnya, hingga mafia itu tak curiga sedikit pun. Lantas Hani menendang selangkangannya, merebut machine gun untuk memukul kepala belakang orang itu.
"jadi ini pilihanmu Hani—dengan begitu kerjasama kita sudah berakhir. Aku akan membunuhmu di sini—dasar pengkhianat" Boss melancarkan serangan sekuat tenaga untuk menembus pertahanan Hani.
Berkali-kali Hani kualahan untuk menahan serangannya, kekuatan seorang pria memang lebih besar daripada wanita. Namun, dengan kelemahannya wanita memiliki kecepatan yang jauh di atas rata-rata pria.
"sayang sekali boss—sejak awal aku bukanlah anak buahmu"
Setiap hantaman boss sangat kuat, tak mungkin Hani terus-menerus menahan serangan itu. Hani teringat kekalahannya dengan Alice, menggunakan itu sebagai pembelajaran dirinya. Ia mengambil celah dari pukulan tangan kanan—menuju bawah, meraih tangan itu… lalu membantingnya.
Boss yang tersungkur di tanah mengeluarkan pistol dari saku—dengan kecepatannya Hani menendang pistol di tangan boss tepat sebelum menarik pelatuk.
Kini boss mafia dalam kondisi terpojok, para sandera mulai bebas, dan anak buahnya sebagian besar sudah dilumpuhkan. Melihat kenyataan ini boss, tak memiliki pilihan lain selain mundur.
Boss melarikan diri menuju truk, berharap menggunakan truk untuk kabur. Segera ia memutar kunci ke mode on, menginjak pedal gas, yang terdengar hanyalah suara mesin yang sekarat. Leo telah menyabotase truk mafia dengan mengeluarkan semuan bensin di dalamnya sudah pasti truk itu takkan bergerak se-inchi pun.
Dari kaca spion boss melihat Hani yang berjalan ke arahnya, lalu ia keluar dari truk dan berlari lebih cepat. Dari seberang Mawar telah menghadang boss mafia, ia sudah terkepung dari sisi kanan dan kiri pun juga ada Ringgo dan Leo. Ini bagaikan berburu babi hutan saja. Ringgo dan lainnya mengeluarkan jarum pelumpuh—siap untuk meniupkan pada target.
Sepersekian detik nasib berubah—semudah membalikkan telapak tangan. Sebuah helikopter turun dari ketinggian bersamaan terjadinya hujan peluru. Hal itu membuat semuanya berlari mencari perlindungan.
Jemputan sang boss sudah datang, helikopter itu menurunkan tangga supaya boss lekas naik ke dalam helikopter. Terlihat seorang perempuan gagah berada di dalam helikopter tersebut, perempuan yang belum pernah ditemui oleh Hani dalam organisasi mafia. Menangkap mangsa yang bisa terbang sangat sulit, kali ini Hani dan lainnya terpaksa membiarkan si boss kabur dengan helikopternya. Hani yang termenung melihat sosok gadis di dalam helikopter, teralihkan mengingat sesuatu yang dikatakan Alice.
"heeii kalian, sekarang serahkan lencana yang kalian miliki!" kata Hani
"waahh sayang sekali punyaku aku tinggal di kapal, sebelum berangkat Alice menyarankan untuk tidak membawa lencana bintang kami ke tempat ujian" kata Leo
Mendengar hal itu Hani menjadi kesal lalu menarik kerah Leo, "jangan bercanda kau! Lencana itu adalah perjanjianku dengan Alice—cepat serahkan!"
Lalu Rose menahan tangan Hani, "tenanglah… apa yang dikatakan Leo itu benar, kami tak membawa lencana sama sekali"
"Jika memang benar begitu perjanjiannya, kami akan membantu-mu menemui Alice, perjanjian adalah perjanjian" balas Ringgo
Sementara itu Alice, masih dalam penjara markas mafia yang ditipu oleh Hani. Di dalam penjara Alice mengamati berbagai orang-orang yang menjaga sel tersebut.
"heeii… pak penjaga! Pak penjaga… aku mau ke toilet, sudah dipucuk nih"
Beberapa panggilan kemudian terjawab, dua orang penjaga menghampiri untuk mengantarku ke toilet. Satu penjaga yang di depan adalah pemegang kunci sedangkan yang di belakang siap menodongkan pistol ke-kepalaku, terlihat sinar inframerah memencar pada dahiku.
Kedua orang itu menjagaku dari belakang—menggiringku ke toilet. Aku harus lepas dari pengawasan mereka. Kemudian aku menginjak kaki kiriku sehingga terjatuh, hal itu membuat penjaga pertama membungkuk untuk mengangkat lenganku.
Dengan cepat aku menyayat kedua matanya menggunakan pisau, lantas berlindung menggunakan tubuhnya untuk menghindari hujan peluru dari pistol penjaga kedua. Tepat usai peluru ke-duabelas, aku meraih tulup di sakuku mengisinya dengan jarum—lalu meniupnya tepat mengenai hidung orang itu.
"maafkan aku yaa terpaksa menggunakanmu sebagai tameng"
Untung sekali aku bisa mengambil pisau dan tulup dari si pria mulut kotor, ocehan-nya sebelum masuk ke markas ini membuatnya lengah hingga aku bisa merebut pisauku dengan bonus tulup ini. Sekarang aku harus membebaskan semua tahanan di sini, hanya tinggal masalah waktu penjaga yang lain akan datang kemari.
"hoooiii… gadis tengik! Di sini!" seseorang memanggilku, sepertinya itu panggilan yang tak asing bagiku. Aku berbelok menuju ke arah suara itu, segera aku membuka pintu sel menggunakan kunci yang kudapat dari penjaga pertama. Meski begitu, ia tak berterimakasih malah ngomel-ngomel tanpa henti.
Aku membagi tugas dengan pria itu, ia berinisiatif untuk melepaskan para tahanan—sudah jelas kekasihnya adalah salah satu dari mereka yang membuatnnya termotivasi. Sedangkan aku menuju ruang kendali, untuk menentukan rute pelarian. Selain itu aku juga harus tau, siapa dalang dibalik semua ini, para mafia ini pasti takkan membiarkan kami hidup tenang.
Suatu saat mereka akan membalas kami karena telah menghancurkan bisnisnya, sebelum itu terjadi aku harus sudah tiga langkah di depan. Rencana ini begitu mulus seperti yang kuperhitungkan. Dengan memanipulasi informasi bahwa warga desa, akan menyerang markas ini akan membuat mereka berpikir untuk menyerang warga desa yang ditinggalkan oleh para petarung—padahal itu adalah informasi palsu yang kubuat.
Kemudian mafia yang berada di markas ini akan terbagi menjadi dua kelompok yaitu, satu kelompok penyergap desa dan satu kelompok penjaga markas. Dengan begitu kekuatan penjagaan di sini akan melemah limu puluh persen.
Aku harus cepat, lagipula aku tak tau kapan para mafia itu akan kembali dari desa—itu pun kalau mereka bisa lolos dari Hani dan lainnya.
Memasuki ruang kendali, kulihat tiga layar lebar di hadapanku, yang kubutuhkan hanyalah tombol kebakaran—jika aku nyalakan pasti semua pintu akan terbuka. Aku terus berusaha mencari tombol yang paling benar, telah aku pencet satu per satu melihat respon yang terjadi. Setelah sekian kali kumencoba, akhirnya dari layar monitor terlihat gerbang telah terbuka, dengan begini para tahanan bisa meloloskan diri.
"ternyata firasat burukku tepat sekali, untung aku segera kemari" kata seseorang yang memasuki ruang kendali
Aku langsung berada dalam mode siaga, prioritasku adalah kabur dari tempat ini.
"kepala cabang di sini memang tak bisa diharapkan yaa.." kata gadis dengan gaya rambut kuncir bola-bola. Lalu ia mengeluarkan pistol dibalik saku jaket jeans yang ia kenakan.
Ini benar-benar gawat—amunisi jarum pelumpuhku sudah habis total, aku gunakan untuk melewati berbagai penjaga untuk sampai di sini. Melawannya dengan tangan kosong itu gila!
Tanpa segan gadis jeans menutup pintu ruang kendali, jelas sekali ia tak menginginkanku keluar dari tempat ini. Lalu aku melirik seseorang yang terbaring dua meter di dekatku. Ia adalah salah satu penjaga yang berhasil aku lumpuhkan, kurasa aku harus mengambil pistol darinya.
Bergegas aku lari ke arah orang yang terkapar—sayangnya lawanku mengetahui akal bulusku. Ia menembak dua kali ke arah yang ku tuju, sigap aku melompat ke balik meja untuk bersembunyi. Menunggu untuk melakukan dia mengisi pelurunya juga takkan sempat, karena jarak aku tak bisa menyerangnya dari dekat… bisa-bisa aku tertembak sebelum bisa mendekatinya.
Apapun yang terlihat dariku segera ia tembak, entah itu bayangan atau sehelai rambut dia sangat berambisi. Aku menoleh ke sisi lain, serangkaian pelurunya menembus jendela, akan kugunakan itu untuk memancingnya.
Lalu aku lempar tulup ke sisi seberang, bersamaan aku mengeluarkan pisau—berlari mendobrak kaca jendela yang sudah rapuh. Hanya inilah satu-satunya jalan keluar. Serpihan kaca menancap di tubuhku, belum lagi salah satu pelurunya mengenai kakiku. Aku melompat sekencangnya, beruntung aku masih selamat hingga saat ini. Bisa melewati ancaman mau tadi benar-benar menguras adrenalineku. Kini aku hanya bisa menelan ludah.
Kukira keadaan di bawah akan menjadi lebih buruk—untuk pertama kalinya aku berterimakasih pada pria mulut kotor yang sudah menjemputku di bawah. Sesuai rencana kami kembali menuju pak kusir—kuda hitam pasti sudah menunggu kami.