Chereads / SI KELINCI PUTIH / Chapter 22 - CHAPTER 22 : APA AKU LAYAK DISEBUT "TEMAN" ?

Chapter 22 - CHAPTER 22 : APA AKU LAYAK DISEBUT "TEMAN" ?

Kami para tahanan berhasil melarikan diri dari markas mafia—sesuatu pencapaian yang luar biasa. Namun, juga memiliki harga yang setimpal tubuhku tersayat pecahan kaca, kemudian kaki-ku terkena tembakan. Diriku sudah tak berdaya lagi, apa aku akan menyerah di sini?

"heeeii.. gadis tengik kenapa kau jadi murung begitu? Aku jadi tak bisa mengejekmu jika kau diam saja!" kata pria yang menggendongku

"berisik sekali mulutmu—aku hanya lelah"

"sebentar lagi kita akan sampai di tempat yang dijanjikan, aku juga capek menggendongmu!"

"yaa… sudah turunkan aku!" sambil menepuk pundaknya

Tetapi dia malah tertawa, dan tak mau menurunkan aku—dasar pria brengsek. Lagipula aku jadi malu, karena kekasihnya terus melototiku sejak tadi. Apakah ini yang dinamakan rasa cemburu? Luar biasa sekali orang ini bisa selingkuh di depan mata kekasihnya.

Kami kembali menuju delman yang telah disembunyikan, hanya itulah satu-satunya alat transportasi untuk kembali ke desa.

Satu kilometer jauhnya semuanya berlari kecuali diriku yang terluka ini, akhirnya tiba di tempat perjanjian. Kenyataanya satu delman takkan mampu menampung duapuluh orang lebih. Itu berarti sisanya harus menunggu jemputan kembali ke tempat ini.

Lepas dari semua itu aku tak peduli, sekarang aku harus kembali ke arena. Kami sedang dalam ujian yang menentukan kelulusan kami. Apalagi desa dengan tower menuju arah yang berlawanan, sepertinya ini adalah waktunya berpisah.

"Sepertinya kami sampai di sini saja, kami harus melanjutkan perjalanan menuju tower"

"haah? Kenapa bukankah teman-temanmu ada di desa kami?" kata sang pria

"ohh benar juga—jika kau bertemu dengan mereka, tolong beritahu untuk menemuiku di tower"

"kau memang benar-benar keras kepala yaa gadis tengik! Tak ada pilihan lain, setidaknya biarkan aku mengobati lukamu"

"untuk pria yang suka berucap rusuh sepertimu ternyata juga memiliki sedikit rasa peduli yaa"

Tanpa segan ia mengambil kotak P3K yang di dalam delman. Menggunakan alkohol dan obat merah ia mengobati lukaku, beruntungnya peluru tak sampai menembus dagingku hanya tersayat saja, meski begitu rasa nyeri yang lumayan ini sudah membuatku kesulitan untuk bergerak. Dengan sentuhan terakhir ia, membalut perban di seluruh luka-lukaku, kini aku layaknya zombie—tawaku dalam hati.

"te-terima kasih yaa… anu… emm…" jujur saja aku sangat gengsi untuk berterimakasih pada pria ini, sejak awal bertemu ia selalu mencaci maki diriku, tapi bagaimana lagi dia sudah repot-repot mengobatiku.

"yaa… yaa… yaa… panggil saja Wayan"

Tersipu malu aku langsung berdiri dan membalikkan badan, kemudian mengajak ke-empat anak kelas A untuk lekas pergi. Tanpa sepatah kata lagi, aku meninggalkan gerombolan itu

"hati-hati yaa Alice—semoga lulus ujian" kata Wayan sambil melambaikan tangan melepas kepergian kami.

Melihat kondisiku mungkin perjalanan ke tower akan menghabiskan waktu dua hari. Aku benar-benar dalam kondisi down, bisa lanjut jalan saja sudah sangat bersyukur. Tubuhku semakin berat rasanya—kemudian aku mencari kayu untuk kugunakan sebagai alat bantu jalan.

Selain itu masih ada hal yang harus kuselesaikan, melakukan perjalanan dengan empat perempuan yang tak kukenal jadi canggung rasanya. Apalagi jelas-jelas mereka menjaga jarak dariku, seenaknya sendiri berjalan di depan membiarkanku melihat punggung mereka.

"namamu Alice kan?" salah satu dari mereka mencoba membuka pembicaraan. Sebaiknya aku menjawabnya untuk mencairkan suasana.

"yaa… benar, kalau kamu?"

Kemudian ia keluar dari grup depan, dan menemani langkahku, "aku Sora—salam kenal, kamu dari kelas C yaa?"

Waaaww hebat juga anak ini, dia menyerangku bertubi-tubi dengan serangkaian pertanyaan

"iyaaa he.. he…"

"ngomong-ngomong dimana Hani berada?" tanya gadis lainnya dengan nada tinggi

"emm.. kurasa saat ini dia, berada di desa warga yang bersama kita tadi" jawabku

"haaah… kalau begitu seharusnya kita ke desa dong menjemput Hani, untuk apa malah pergi ke tower menemanimu?"

Waaahh… akhirnya hal yang merepotkan terjadi juga, "bukankah tujuan ujian ini pergi ke tower? Sudah seharusnya bukan kita pergi ke tempat itu? kalau kalian memang ingin menemui Hani terserah saja—aku juga tak memaksa kalian untuk mengikutiku" jawabku

Sejenak anak itu tak membalas perkataanku, "dasar anak kelas C, gak usah belagu kau! Hani adalah prioritas utama kami dia adalah pemimpin kami. Lebih baik aku ke tempat Hani daripada bersama anak kelas C seperti dirimu!"

Yaaahh… jadi begitu kah? Hanya karena aku kelas C mereka tak menganggapku setara dengan mereka—ah sudahlah.

Gadis tempramen itu mulai memprovokasi ketiga anak lainnya, Sora yang semula mencoba menaruh simpati kepadaku dilema akan situasi yang panas.

"sudah tak apa Sora, aku akan pergi sendri ke tower, lebih baik kau ikut teman-teman kelasmu!"

Melihat responku, Sora akhirnya memantabkan hatinya untuk mengikuti gerombolan gadis kelas A untuk menjemput Hani.

Mulai sekarang aku harus bergegas mencari tempat berlindung siapa tau cuaca juga tidak bersahabat kepadaku. Aku terus melangkah maju melewati semak-semak sembari memetik jamur, buah-buahan, dan apapun itu yang bisa dimakan. Sesekali aku memandang tower yang menjulang ke atas, rasanya sudah dekat tapi juga tak sampai-sampai. Apa mungkin tower itu hanya halusinasiku saja?

Langit pun menjadi petang, burung-burung di udara kembali ke sarangnya. Kurasa sudah terlambat bagiku untuk melanjutkan perjalanan ini. Malam hari sangat berbahaya apalagi aku tak membawa penerangan apapun, sebaiknya aku menyalakan api. Sejenak aku duduk di batu yang cukup besar untuk mengambil napas, sesuatu bergerak dari balik semak-semak. Aku tetap bersiaga menanti apa yang muncul dari balik semak, lalu kukeluarkan pisau dan menggenggamnya erat.

Ternyata seekor kucing hitam hitam keluar dari balik semak, sepertinya dia juga mencari makanan seperti diriku. Tapi maafkan aku, yang kupunya hanyalah buah-buahan kau pasti tidak menyukainya. Sifat kucing memang selalu menggemaskan, padahal kami baru saja bertemu dia sudah menggeliat di kakiku. Hal ini membuatku tak sabaran untuk mengelus bulunya nan hitam.

Suara auman mengagetkan diriku serasa aku sudah tak memiliki jantung. Refleks aku melompat ke belakang hingga terjungkal beberapa meter. Sungguh naif diriku, mana ada kucing di tengah hutan begini apalagi kucing hitam, yang ada adalah macan kumbang. Sang induk telah menargetkan diriku sebagai makan malamnya kali ini. Lebih sialnya aku susah melakukan perlawanan, bulunya yang hitam dengan mudah berkamflase di malam hari. Aku tak memiliki kesempatan untuk menang satu persen pun. Kuputuskan untuk memanjat pohon, sebelum macan kumbang itu menyerangku lagi. Satu hal yang kusadari macan kumbang adalah pemanjat yang handal, dia dengan mudah mengikuti diriku. Aku mencoba melakukan pertahanan, mencobat menyayat mukanya dengan pisau. Untungnya pohon ini tak memiliki banyak dahan, sehingga ia tak bisa melompat ke sana kemari.

Aku memanjat semakin tinggi hingga di pucuk, semuanya baik-baik saja selama aku berada di sini. Untuk sesaat aku sudah bisa merasakan napasku lagi, kejadian tadi benar-benar membuatku tak memiliki waktu untuk bernapas. Sisanya aku harus menunggu matahari menjemput dan berharap macan kumbang itu menemukan mangsa yang lain.

Fajar menyising sinarnya telah menyilaukan mataku yang semula terpejam. Kupangdang ke bawah berharap si macan kumbang sudah pergi, ternyata menunggu setia di bawah. Insting hewan buas takkan begitu saja menyerah pada mangsanya, dia akan menungguku lengah dan terjatuh untuk bisa makan. Kemungkinan di dekat sini sudah sedikit sekali mangsa yang bisa ditemukan olehnya sehingga ia begitu gigih menungguku.

Jelas aku tak bisa kabur begitu saja, aku hanya memiliki dua pilihan bertarung melawannya atau menekan tombol pada gelangku ini supaya bantuan datang menjemputku. Namun ini adalah hutan, seleksi alam berlaku di sini siapa yang lebih kuat dialah yang jadi penguasa, maafkan aku harus melawanmu meski kau adalah hewan langka yang dilindungi pemerintah—tapi aku harus tetap hidup untuk menemukan seseorang yang sangat ingin kutemui.

Perlahan aku memerosoti batang pohon, sekarang wajahnya terlihat jelas. Sepertinya mata kanannya terluka akibat tusukan pisauku kemarin malam. Aku mengeluarkan beberapa ranting yang sudah kuasah tajam dan dahan pohon yang cukup kuat untuk melawannya. Macan kumbang mengaum dan mulai memanjat pohon, aku tak membiarkannya lebih dekat, kulemparkan ranting-ranting tajam untuk menghadangnya. Memang luka pada bagian tubuh luar tak seberapa fatal, namun salah satu ranting itu menancap pada lidahnya—sekarang kau takkan bisa memakanku dengan mudah.

Serangan lanjutanku meleset, dia lebih dulu melompat ke dahan lain. Posisi kami sejajar dan berseberangan, serangan selanjutnya akan menentukan siapa yang lebih kuat. Lompatan kuat dilancarkannya, sendangkan aku tak memiliki ruang untuk menghindar malah keadaannya bisa semakin buruk jika aku terjatuh. Keeratkan genggamanku pada kayu yang kupegang memukul muka si macan sangat kuat hingga ia kembali menggeliat ke tanah.

Inilah kesempatanku, segera aku melompat ke tanah untuk memukul tengkuknya dari atas. Sebagai predator yang handal dia berhasil menghindarinya, dia berhasil memancingku sehingga jarak kami lebih dekat. Ini sangat berbahaya, jika dia berhasil menggigitku selesai sudah kehidupanku—lari pun sudah terlambat dengan jarak saat ini bahkan dengan keempat kakinya dia bisa lebih cepat daripada aku.

Aku mengacungkan kayu runcing dengan tangannku berharap dia fokus pada kayu ini sebagai senjataku. Sang macan hitam tak gentar sama sekali mungkin itulah caranya menunjukkan siapa penguasa di hutan ini dengan terus-menerus mengaum padaku. Mungkin dia mengancamku untuk segera menyerah, dan menjadi santapannya. Akhirnya dia menerima tantanganku, melompat tepat ke arahku mengigit kayu yang kugenggam hingga remuk. Bayangkan saja jika itu adalah tanganku mungkin sudah patah saat ini. Tubuhnya masih melayang di udara, hanya tinggal beberapa detik saja keseluruhannya akan menimpaku lalu mengoyak dagingku.

Tamat sudah, puluhan kilo badannya itu berhasil mencengkram tubuhku, kini aku pun terbaring di tanah memandang langit biru. Darah mulai tumpah ke permukaan tanah, cipratan-cipratan merah panas membasahi wajahku. Hanya tinggal menunggu waktu saja sampai tak bisa bergerak sama sekali. Dia sama sekali tak mengaum lagi, dari dekat wajahnya terlihat sangat imut dasar kucing nakal! Sang macan kumbang tersedak beberapa kali hingga akhirnya dia tak lagi bernafas. Pisau di tangan kiriku tepat menancap pada lehernya sangat layak untuk mencabut nyawanya.

Aku berusaha bangkit berdiri lepas dari tubuhnya yang berat. Bau darah yang menyengat memancing hewan lain datang keluar dari semak-semak. Aku siap untuk pertandingan kedua dengan memasang kuda-kuda. Faktanya yang keluar adalah anak dari macan kumbang. Dia pun mengendus-endus induknya, lantas aku memandang tajam dirinya, sambil membersihkan sisa darah dari pisau yang kupegang. Kemudian aku menggendong anak macan hitam itu, jika kubiarkan di sini ia akan mati kelaparan, karena tak ada lagi yang menyuplai makanan pada dirinya. Lantas aku menggendongnya dan membawanya pergi, lagipula ini juga salahku karena membunuh induknya—mulai sekarang akulah yang menjadi ibumu.