Fajar menyingising menghangatkan dinginnya embun pagi, kehangatannya merayu kulitku. Udara yang sejuk ini memberikan semangat tak terbendung. Sambil mengelus bulu tanganku yang berdiri kueratkan jam tangan di tangan kiriku. Tepat menunjukkan waktu lima pagi. Naahh… apakah yang terjadi selanjutnya? Sebaiknya kalian memberikan pertunjukan yang meriah bagi penonton seperti kami.
Sinar surya benar-benar menenangkan hati, apalagi ditambah segelas coffe di pagi hari membuat pikiranku menjadi tenang. Seduhan terakhir kuminum, ini adalah kopi hitam—kini yang tersisa hanya ampas. Semua perlengkapan telah siap, lalu aku menutup tirai jendela menuju ke lantai atas untuk melihat pertarungan para predator. Kali ini jalan pulang akan lebih sulit daripada saat berangkat.
Bersamaan anak tangga terakhir kulihat paving yang sangat sepi. Kemanakah orang-orang? Apa mungkin lencana kelinci sudah diambil dan aku terlambat menyaksikan pertunjukkan? Kurasa tidak, lencana kelinci itu masih di tempat yang sama, apa mungkin seseorang membuat duplikatnya?
Aku berjalan ke salah satu tempat duduk yang tersedia, tak sampai satu menit beberapa orang sudah berdatangan, namun juga tak lekas mengambil lencana kelinci. Sama sepertiku mungkin mereka hanya datang sebagai penoton. Padahal kukira ini akan menjadi pertarungan yang meriah—ternyata hanya segorombolan pengecut yang datang ke sini.
Mereka semua sangat berhati-hati, jika sebagian besar orang menginginkan berada di situasi aman tanpa tergiur nilai lencana, maka akan selalu ada bagian lain yang sangat menginginkan lencana bernilai seratus juta. Memang aku agak sedikit kecewa, antusias orang-orang yang ingin memiliki lencana hanya segelintir orang. Karena semua orang tau akan konsekuensi saat mengambil lencana di podium. Sudah pasti orang lain takkan membiarkan memiliki lencana itu, bahkan bisa menjadi pertarungan sengit—lebih buruk jika ceroboh bisa kehilangan poin yang sudah dicapai saat ini.
Lihat saja lelaki yang bersandar di sudut, dari awal ia tak bergerak se-inchi pun. Matanya… ya lirik matanya bergerak cepat mengawasi setiap orang di paving, mungkin ia sudah mengihtung musuhnya, dan siap mengantisipasi serangan, atau mungkin dia yang akan menyerang terlebih dahulu—lalu menghabisi semua orang di sini? Aku masih belum bisa menebaknya secara pasti.
Kemudian empat orang yang bermain kartu di seberangku, kenapa mereka malah bermain kartu di saat seperti ini? Bukankah ada tempat lain yang lebih bagus untuk bermain daripada di arena?
Lalu dua orang perempuan di sana yang asyik membicarakan lelaki pujaannya, tampak gembira… tak menunjukkan sedikit pun nafsu untuk mengambil lencana. Sudah kuduga mereka sangat siap untuk bertempur, mereka bukanlah pengecut tapi seorang profesional. Mereka menunggu seseorang untuk melakukan kesalahan, dan menggunakan celah itu untuk meroket ke atas.
Di langit nan biru tampak seekor garuda terbang menembus awan, setelah cukup tinggi ia menukik tajam ke bawah menuju savana. Sayapnya yang kokoh menghempaskan rumput, cakar tajam terbuka lebar siap untuk mencengkram. Di tengah savana itu seekor kelinci berusaha berlari mencari perlindungan. Sungguh nahas si kelinci harus merelakan dirinya diterkam oleh sang elang sebagai sarapan paginya.
Begitupula dimulainya permainan ini—salah seorang penjudi menggebrak meja karena kalah taruhan. Makian-nya memanaskan hawa puncak tower, dengan itu hampir saja seluruh peserta mengalihkan perhatiannya. Kemarahan lelaki itu diiringi dengan lemparan kursi kayu ke arah podium. Padahal tak ada siapa-siapa di sana sebelumnya, hanya sepersekian detik tampak seseorang yang berdiri di podium menangkap lemparan kursi.
Seseorang berambut hitam yang dikuncir, tiba-tiba saja di sana. Begitu cepat gerakannya hingga tak ada yang menyadarinya sampai si penjudi melemparkan kursi ke podium—tidaaakk, bukan begitu si penjudilah yang menyadari orang yang berdiri di sudut telah tiada sehingga sang penjudi melemparkan kursi ke podium untuk menghentikan si rambut kuncir.
Segera ia mengambil lencana di podium, namun terhenti oleh sebuah pisau yang menancap pada wadah kaca pin. Satu dari dua gadis menyerangnya, memukul mundur pria kuncir. Pandangan pria kuncir sangat tajam, sepertinya dia bukan tipe orang yang memandang gender.
Sang pria berlari mengeratkan kepalannya, memukul telak tulang rusuk gadis yang mengambil pin. Lencana kelinci itu terjatuh ke dalam genggaman pria berkuncir. Siapapun yang mendapatkan lencana terlebih dahulu dialah pemenagnya. Kini semua pandangan tertuju pada pria berkuncir. Semua orang mengitari membuat lingkaran, tak ada jalan keluar baginya.
Sesuai dengan lencana yang dipegangnya, kini pria itu hanyalah seekor kelinci yang berhadapan dengan belasan pemangsa. Satu per satu pemangsa mulai menyergap kelinci, dengan gerakannya yang lihai ia berhasil mengatasinya.
Satu pemangsa menangkapnya dari belakang, mengunci lehernya. Satu lagi yang lainnya menghajarnya dari depan. Si kelinci mengelak dengan tendangan, alhasil kuncian tergoyah sehingga kelinci membanting predator di belakangnya.
Seorang lagi menyerang pria berkuncir, dan sekali lagi ia berhasil mengatasinya. Ia melompat dan berdiri di kepala seorang pria botak. Benar-benar sulap yang meriah telah dihadirkan oleh sang kelinci.
Lalu pria berkuncir melemparkan sesuatu keluar tower, benda yang mengkilap itu melayang di atas kepala orang-orang. Mereka hanya melongo dan mengira-ngira lokasi terjatuhnya benda itu, untungnya seseorang berhasil menangkapnya sebelum benda itu keluar dari puncak tower.
"Yeesss, aku dapat pin-nya" kata orang itu, seketika itu ia diserang oleh segorombolan orang. Nyatanya, yang dia pegang bukanlah pin, tetapi hanya aksesoris biasa. Dalam waktu yang sesingkat itu perhatian terpecah belah. Sang kelinci berhasil mengelabuhi pemangsa dengan wortelnya. Kini pria berkuncir berlari menuruni tangga untuk membawa lencana tersebut ke garis finish, larii… larii… dan larii… hanya itulah yang bisa dilakukan oleh sang kelinci untuk lepas dari para pemangsa.
Kurasa sudah bisa ditebak siapa pemenangnya. Sekarang waktunya aku kembali ke teman sekelasku, mungkin mereka sudah menunggu di lantai dasar. Itu tadi benar-benar tontonan yang menarik.
Menuruni anak tangga adalah jalan satu-satunya di tower ini yang menghubungkan setiap lantai. Padahal zaman sekarang orang-orang sudah memakai lift, tapi di sini masih saja konservatif seperti biasanya. Sekitar lima ratus anak tangga yang harus dituruni untuk mencapai lantai dasar dengan estimasi waktu sepuluh menit.
Aku penasaran dengan apa yang terjadi pada sepuluh menit ke depan, oleh karena itu aku mempercepat langkahku.
"heeeii… Alice di sini" suara Rose memanggilku
"haii Rose, apa semua sudah berkumpul?"
"yaa dengan dirimu di sini, semuanya sudah lengkap, kita bisa langsung kembali ke titik akhir dengan begitu ujian akan selesai. Apa dirimu dari puncak tadi?"
"emm… iyaa aku melihat tontonan yang bagus di sana"
"eeehh.. jadi siapa yang membawa lencana nya sekarang?"
"apa kau lihat pria berkuncir lewat sini?"
"ahh.. kurasa tidak, sejak tadi aku di sini masih belum ada yang keluar dari tower"
Apa maksudnya ini, kenapa si kelinci tak lekas menjemput garis finish dengan begitu dia akan menjadi pemenang. Apa yang dia rencanakan—malah bergulat di dalam tower begini?
Meski kelac C mengincar posisi aman tanpa ikut serta merebutkan lencana, tapi takkan ada jaminan jika perjalanan pulang kami berjalan dengan lancar. Dihantui dengan dugaan seperti itu aku memanggil Ringgo, Rose, dan Leo untuk rapat lepas dari kerumunan.
"ada apa Alice?" kata Rose
"apa kalian yakin kita akan baik-baik saja sampai pulang?" kataku
"tentu saja akan baik-baik saja, kita sudah mendapatkan seratus poin lhoo, dan tidak menggunakan poin sama sekali. Itu sudah lebih dari cukup untuk kita agar dinyatakan lulus dalam ujian ini" jawab Leo
"tidaakk—kemungkinan itu masih 50:50, mengingat kita di alam bebas sesuatu yang di luar dugaan bisa menjadi mungkin" sanggah Ringgo
"yaaa… apa yang dikatakan Ringgo benar, apa kau sudah memastikannya?" jawabku
"iyaa itu sudah pasti, perhitunganku takkan salah, apa kau lupa jika aku adalah orang yang penuh dengan logika" kata Ringgo
"baiklahh… jika kondisi memburuk aku akan menyerah"
"apa kau bilang? Aku takkan membiarkan dirimu menyerah, setelah sejauh ini apa kau mau dinyatakan gagal?" sentak Leo
"tenanglah Leo, kau malah membuat Alice semakin terbebani" kata Rose
"ya-ya-ya… baiklah aku akan sedikit berusaha. Puas kan?" jawabku
Tepat setelah kami selesai rapat, segerombol orang menyerang kami dari belakang. Sepertinya mereka sudah memata-matai kami cukup lama berbaur dengan kerumunan, hingga aku tak merasakan hawa keberadaannya.
Dari sergapannya, mereka adalah orang yang terlatih dalam hal ini. Langsung membungkam mulut kami berempat, sampai kami tak sempat memanggil teman-teman yang lain. Gawaatt…. Ini benar-benar gawat pasti nasib kelas C dalam bahaya sekarang.
Hantaman pada tengkuk membuat kami pingsan seketika. Tersadar kami sudah berada di rawa… tak bisa bergerak kami berempat terikat pada batang pohon. Di depan mata terlihat beberapa anak menertawakan kami. Salah satu dari mereka yang duduk di sebuah batu mulai berkata-kata,
"Ternyata rumor yang beredar tak sehebat yang kukira" kata anak yang duduk di batu
"Bukankah kalian anak kelas B? kenapa kalian menyerang kami?" kata Rose
Lalu anak itu berdiri menghampiri kami satu per satu memerhatikan wajah kami.
"yaaa… sebenarnya aku punya tugas yang harus kalian lakukan" sambil tersenyum
"jangan bercanda! Kami tak sudi… cepat lepaskan kami" bentak Leo
Tak segan anak itu memukul perut Leo hingga muntah, "heei bocah… jangan sok jago kau di sini! Gunakan otakmu apa kau tak bisa membaca situasi sekarang?"
"lalu… apa yang harus kami lakukan?" kata Ringgo menghela napas
"tentu saja merebut lencana kelinci yang ada di kelas A, lalu memberikannya kepadaku" jawabnya dengan sombong
"mohon maaf… tapi kelas kami sudah sepakat untuk tidak ikut campur dalam perebutan lencana kelinci" kataku
"apa katamu? Kau berani melawan sang raja?" kata pria itu seketika meremas pipiku.
"kau Alice bukan? Mataku ini bisa melihat semuanya… aku tau siapa dirimu, mataku ini tak pernah salah menilai seseorang. Menarilah untukku… ini adalah PERINTAH!"
"maaf… aku tak bisa menerima perintah dari siapapun. Sudahlah… gunakan orang lain saja, kami takkan melawanmu… aku menyerah" jawabku
"hmmm… membosankan! Perintah raja adalah mutlak kau tak bisa melawan kehendakku! Anak-anak cepat lucuti gelang mereka bertiga!"
BEDEBAH… gawaattt… ini benar-benar gawat. Gelang yang ada di tangan kami dilengkapi GPS dan tombol darurat. Jika kami menekan tombol darurat, maka saat itu juga kami dinyatakan menyerah, dan guru akan menjemput kami sesuai lokasi gelang berada. Gelang itu memang sengaja diberikan kepada peserta ujian, supaya bisa menghindari hal-hal yang tidak diinginkan selama berada di alam bebas.
Namun, dia begitu bengis! Anak itu sengaja mengambil gelang teman-teman sehingga kami tak bisa dideteksi. Otomatis bantuan takkan datang ke sini, kami akan dinyatakan hilang. Mungkin saja kami akan dijadikan makanan anaconda di rawa ini.
Sungguh tidak adil, kekejian dunia ini selalu menemukan cara untuk menyiksaku. Kurasa semuanya akan lebih mudah jika aku menyerah, bahkan aku tak diberikan pilihan untuk menyerah.
Memang benar jika manusia itu jahat, semua manusia memiliki sisi jahat di dalam dirinya, itu adalah dosa keturanan yang harus ditanggung karena melanggar perintah Tuhan. Bocu sialan! Aku tak bisa berpikir apapun selain menuruti kehendaknya. Gelang Rose, Leo, dan Ringgo telah diambil oleh Bocu, jaminan keselamatan mereka bertiga adalah syarat yang kutawarkan pada Bocu jika ingin menggunakanku, aku mengerti betapa liciknya orang macam Bocu, jika aku melawan lebih dari ini mungkin ia akan melemparkan teman-teman ke dalam lumpur hisap.
Sempat aku goyah untuk melaporkan kejadian ini kepada guru, dengan menekan tombol menyerah secara diam-diam. Tapi sepertinya itu takkan berjalan mudah, rekan-rekan Bocu sialan itu terus saja mengawasiku dari kejauhan hingga aku menyelesaikan misiku. Apalagi tampaknya mereka menggunakan poin untuk mendapatkan walkie-talkie. Meskipun aku bisa mengelabuhi pengawasan mereka, dan memanggil guru. Estimasi waktu untuk mencegah Bocu mencelakai teman-teman tidak akan sempat. Dalam selang waktu itu ia bisa melemparkan teman-teman ke dalam lumpur hisap.
Semua strategi telah aku perkirakan sejauh mungkin—layaknya papan catur yang meninggalkan dua raja. Satu-satunya harapan adalah membiarkan dirinya memanfaatkan diriku. Sungguh cara yang licik untuk menang, Bocu hanyalah seekor koala yang enggan turun ke bawah untuk minum air. Dia hanya pemalas, yang ingin menang tanpa mengotori tangannya sendiri.
Menurut informasi yang kudapat dari rekannya, salah satu anak kelas A telah membawa lencana kelinci. Sekarang dia menuju checkpoint keempat, aku harus merebutnya sebelum dia mencapai checkpoint. Jika anak itu sampai di chcekpoint maka dia akan bersembunyi dibalik teman-temannya akan lebih susah untuk merebut lencananya.
Perputaran informasi yang didapat kelas B sangat cepat, berkat walkie-talkie yang dimiliki ia mengetahui pergerakan lawan, dan menyebar seluruh isi kelas ke setiap titik. Aku menelan ludah—mengambil nafas panjang, hentakan pertama tanda aku mulai berlari mengejar si pembawa lencana kelinci.