Di depan gerbang tower Davinci bersama anak kelas C yang lainnya mbernagkat menuju garis finish. Suatu hal menghambat mereka karena menunggu semua anggota kelas C berkumpul.
"apa semuanya sudah lengkap? Kita harus segera menuju garis finish, kelas yang lain sudah berangkat lhoo…" tanya Dav
"sepertinya kurang empat orang—Alice, Mawar, Ringgo, dan Leo belum ada" jawab yang lainnya
"Sepertinya tadi aku melihat Mawar sudah di sini, apa mungkin mereka sudah berangkat lebih dulu?" seorang lagi menimpali
"Dasar mereka sejak awal suka seenaknya saja!" tanggap gadis yang menyilangkan tangan
"Kita tak bisa menunggu lebih lama lagi, karena waktu yang diberikan terbatas, jika melewati waktu yang ditentukan bisa gagal"
"baiklah ayo kita berangkat" ajak Dav.
Anak-anak kelas C langsung menuju checkpoint tanpa memedulikan keberadaan lencana kelinci yang hangat diperebutkan oleh kelas lain. Dav sebagi ketua kelas yang baik, memahami keterbatasan kelas C yang tak mampu bersaing dengan kelas yang memiliki kemampuan di atas rata-rata. Kami hanya harus menjadi murid yang taat, dengan begitu orang lain akan segan kepada kami.
Sejak pertama kali Dav masuk dalam kelas C ia sangat kecewa terhadap dirinya, ia menganggap dirinya begitu istimewa—nyatanya ia hanya mampu berada di kelas C. Namun semangatnya belum hilang untuk meraih posisi yang lebih tinggi, karena itu dia menjadi ketua kelas untuk mendapatkan popularitas di kelas C.
Sebenarnya Dav pun juga menginginkan lencana kelinci sebagai reward dalam ujian kali ini, mengingat kompetisi yang dilakukan antar kelas ia mengurungkan niatnya, Dav mengerti ada beberapa hal yang meski dilakukan dengan sekuat tenaga takkan pernah dicapai layaknya memanjak tembok besar. Berbeda jika ini adalah kompetisi yang dilakukan secara individu, ia akan mati-matian untuk mengejar lencana tersebut. Satu hal lagi yang Dav sadari, karena setiap orang memiliki kemampuan yang berbeda-beda ia tak bisa memaksakan kehendaknya supaya orang lain bisa se-istimewa dirinya.
Dav memimpin kelas C menuju checkpoint keempat dengan cepat, kemampuannya soal navigasi tak perlu diragukan lagi. Berbekal peta dan kommpas, ia dapat mengenali rute dengan mudah. Setelah beberapa jam mereka hampir sampai di pada tempat yang dituju, tapi tak semudah itu. Tiba-tiba saja mereka terjatuh pada sebuah lubang yang cukup dalam sekitar lima meter. Itu adalah jebakan yang dibuat oleh seseorang yang telah menanti kedatangan mereka, dengan bahu-membahu mereka bisa saja kembali naik ke permukaan.
"Rogeeerrrr! Apa maksudnya ini? bukankah sudah kubilang pada kelas A, kami tak berniat mengikuti kompetisi ini!" teriak Dav dari dalam lubang
"Pembohong! Salah satu dari kalian pasti yang mengambil lencana kelinci dari kami. Cepat serahkan kembali pinnya!"
"itu tidak benar! Kami sama sekali tak mengambilnya!" bantah Dav.
"sudah kuduga pembicaraan ini takkan selesai, mungkin para ular ini bisa membuat kalian menyerah!"
Anak-anak kelas C dalam kondisi terhimpit begitu Roger anak kelas A melemparkan ular ke dalam lubang jebakan itu, selain itu mereka juga tidak bisa memanjat keluar lubang karena Roger menghadang mereka. Pilihan mereka hanya satu yaitu, menekan tombol darurat pada gelang di tangan kanan mereka. Sesegera mungkin Roger mendesak kelas C untuk menyerah, supaya nyawa mereka bisa terselamatkan.
Roger tak bisa membiarkan anak kelas C lolos begitu saja sebelum mendapatkan kembali lencana kelinci pada kelas C. Namun, kenyataannya hingga titik akhir tak ada yang berbohong pada Roger bahwa di antara mereka tak ada yang membawa lencana kelinci. Dari sisi belakang seseorang yang memakai tudung kepala memukul tengkuk Roger sampai pingsan. Dia adalah Oki dari kelas D, segera ia menolong para anak-anak yang terjebak dalam lubang sebelum dililit oleh para ular.
"Terima kasih Oki" sapa Dav
"bagaimana bisa kelas A menyerang kami? Padahal pada pertemuan kemarin aku sudah melakukan perjanjian sebagai pihak netral"
"yaa… mungkin semua ini ulah kelas B yang telah memprovokasi kelas A untuk menyerang kita"
Rintangan yang dihadapi Dav dan lainnya tak berhenti di situ, tepat setelah keluar dari lubang jebakan yang dibantu oleh Oki, mereka semua dikepung oleh semua anak kelas A dan kelas B. Kini mereka seperti domba yang dikepung oleh kawanan serigala. Sudah tak ada jalan keluar lagi selain bertarung.
Semua anak bertarung saling pukul, hingga mendapatkan gelang dari tangan lawan mereka. Dengan jumlah yang sangat sedikit dibandingkan gabungan kelas A dan B, Dav dan Oki tak mungkin bisa menang, walaupun mereka bisa mengalahkan beberapa lawan. Kenyataan kawan mereka juga telah dikalahkan oleh lawan.
Bukti bahwa Dav dan Oki adalah seseorang yang tangguh yaitu mereka sudah mampu mengalahkan masing-masing empat orang musuh. Kemampuan fisik mereka sangat tangguh, namun bedanya Dav lebih bisa menggunakan otaknya daripada Oki. Di tengah kepungan itu, hanya tinggal mereka berdua yang tersisa, dan si ketua kelas C sudah tak mau menyerah lagi melihat apa yang telah ia lindungi selama ini telah hancur berantakkan—ia akan terus melawan berapa pun musuh yang datang. Dav memantapkan kuda-kuda dan mengepalkan kedua tangannya kepada Bocu.
"Hooii… Dav untuk apa kau melindungi si pencuri itu?" kata Bocu
"apa maksudmu? Bukankah kalian yang menyerang kami?" jawab Dav
"dia telah mencuri lencana kelinci saat aku melawan Bocu tadi, kami sama sekali tak ada urusan denganmu Dav!" seru Hani
Dav baru sadar bahwa dia dan teman-temannya telah dimanfaatkan Oki sebagai tameng pelindung dari kejaran Bocu dan Hani. Lantas ia melirikkan matanya kepada Oki yang membelakangi punggunya
"apa yang dikatakan mereka itu benar Oki?" tanya Dav
Bertepatan dengan situasi itu, seseorang melemparkan botol cat semprot yang disertai sulutan api sehingga menimbulkan efek ledakan di arena memporak-porankan mereka. Di balik ledakan itu terlihat tiga orang yang memakai tudung kepala berlari menjauh dari arena. Dua orang yang lain adalah bantuan dari kelas D yang masih tersisa untuk menyelamatkan Oki.
Mereka bertiga terus berlari untuk lepas dari kejaran semua kelas, strategi yang bagus dilakukan oleh kelas D dengan memakai tudung kepala takkan bisa mendeteksi Oki di antara dua orang lainnya. Inilah kekuatan kelas D yang sesungguhnya, walaupun dengan jumlah murid yang paling sedikit ternyata mereka mampu mengalahkan kelas lain dengan strategi yang luar biasa. Sekarang tinggal masalah waktu sampai mereka sampai di garis finish.
Ketiga orang lainnya yang masih bertahan dari ledakan itu jelas tak membiarkan kelas D keluar sebagai pemenang. Hani, Bocu, dan Dav sekuat tenaga mengejar mereka. Cerdiknya kelas D yang menyadari hal itu langsung berpencar untuk mengecoh ketiga orang tersebut.
Tak ada waktu untuk berhenti masing-masing murid kelas D serasa dikejar oleh seorang psikopat. Batu kerikil, ranting, atau apapun itu melayang ke arah mereka, hasrat membunuh sangat kental demi meraih kemenangan. Bahkan berjalan saja pun tak bisa, harus tetap berlari—sekarang hanya tinggal tekad yang bisa membuat mereka menuju kemenangan. Sayangnya para psikopat itu lebih tangguh daripada murid kelas D, dalam waktu yang hampir bersamaan ketiga orang yang memakai kerudung telah berhasil ditangkap tepat sebelum garis finish.
"KENA KAU"
Di garis finish tepatnya di pinggir pantai nan biru dengan ombak yang bergejolak para guru telah menyambut kedatangan mereka. Dari arah yang berbeda bersamaan Dav, Hani, dan Bocu yang terlihat kelelahan dan kehabisan napas menghampiri guru.
"Baiklah siapakah yang berhasil membawa lencana kelinci?" tanya Bu Silvi
"SAYA" mereka bertiga menjawab serentak sambil menunjukkan lencananya
Bagaimana bisa ketiga orang itu masing-masing mendapatkan lencana kelinci? Kemudian Pak Rey mencoba melihat dengan seksama lencana yang mereka bawa adalah sebuah tiruan dari kayu yang dicat metalic.
"SIAALLL… bagaimana bisa?"
"itu adalah hasil karyaku!" seru Oki dari belakang
Mendengar hal itu Bocu sangat marah, hampir melepaskan tinjunya kepada Oki yang berhasil dihentikan oleh Pak Rey.
"Pertandingan telah berakhir!" jawab Pak Rey yang menangkap tangan Bocu
"lantas dimana lencana yang asli Oki?" tanya Bu Silvi
"Maya dari kelasku yang membawanya, mari kita tunggu saja" jawab Oki yang mengambil tempat duduk
Beberapa jam telah berlalu, hampir keseluruhan murid telah berkumpul di tepi pantai, menunggu kehadiran Maya si pembawa lencana kelinci. Hari kian sore, langit menjadi kemerahan, namun Maya tak kunjung datang. Kekasihnya mulai khawatir, apa mungkin Maya tersesat di hutan? Sehingga ia meminta kepada guru untuk melacak keberadaan Maya, karena malam hari sangatlah berbahaya.
Perhatian orang-orang yang berkumpul di pantai teralihkan oleh tiga orang yang muncul dari jalan bebatuan. Orang-orang mulai bertepuk tangan dan bersorak menyambut sang pemenang. Salah satu orang tersebut mengenakan tudung kepala, sedang memapah seseorang—tak merasakan nikmatnya kemenangan, begitu pula dengan gadis yang di belakangnya juga tak mengindahkan sambutan dari para kerumunan yang sangat antusias menanti kedatangan mereka.
"Mayaaa!"
"Maayyaaa… Mayaaa…"
"hiduuuppp Mayaa… sang juara!"
Begitulah sorak-sorai yang dikumandangkan orang-orang terhadap si pembawa lencana kelinci. Namun, tetap saja gadis itu tak bereaksi sama sekali dan langsung menaiki tangga menuju kapal pesiar.
Empat jam yang lalu…
"Alice bertahanlah!" teriak Leo
"siaaalll lumpur ini semakin menghisapku ke dalam!" aku tak bisa lepas dari lumpur hisap ini, seseorang harus menarikku dari luar, tapi teman-teman terikat pada pohon. Kuingat masih membawa pisau di kantongku, segera kulemparkan pisau ke dekat Ringgo. Dengan begitu mereka dapat memotong tali yang mengikatnya, tak hanya itu—sisa potongan tali tersebut sangat berguna untuk menarikku keluar dari lumpur.
Dengan susah payah akhirnya aku berhasil keluar dari lumpur hisap ini, walaupun penampilanku sangat menjijikkan sekarang. Oleh karena itu, kami memutuskan untuk berpencar. Ringgo dan Leo pergi menuju checkpoint untuk berkumpul dengan murid kelas C yang lain, sendangkan aku dan Mawar mencari sungai untuk membersihkan diriku.
Aku ingat rute ini, yaaa… ini adalah rute yang pernah kujalani sebelum sampai ke tower, tetapi saat itu hanya ada sungai kering. Batu yang terkena corak cat ini menandakan bahwa aku pernah kemari, mungkin sedikit lagi aku bisa menemukan sungai yang ada airnya. Kupikir seperti itu, tapi ternyata tidak karena hujan telah mengisi sungai kering itu. Begitu pula ia telah membersihkan diriku dari lumpur yang lengket ini.
Kami terus mengikuti rute ini, karena sepertinya pernah dilalui oleh seseorang. Jejak kaki membuat kami semakin yakin untuk melangkah lebih jauh, daripada kami harus mencari rute baru malah bisa membuat kami tersesat lebih dalam ke hutan. Di tengah hujan itu tiba-tiba seseorang menyerang kami, dia mendaratkan tendangan kepada Mawar yang berada di belakangku.
Siapa orang ini? kenapa tiba-tiba menyerang kami? Beruntungnya serangan itu tak terkena bagian vital Mawar, sehingga dia mampu bertahan. Namun, musuh tak menghentikan serangannya terus-menerus menyerang Mawar dan mengunci leher Mawar menggunakan lengannya.
"hentikan! apa maumu?" tanyaku
"kalian mengincarku kan—ingin merebut lencana ini?" jawab gadis itu.
Setelah mendengar ucapannya, dan melihat gelang pada tangannya yang mengunci leher Mawar aku jadi mengerti.
"dengar kami tak akan merebut lencana itu darimu! Tolong lepaskan Mawar"
"Bohong! Setelah aku melepaskan Mawar pasti kalian langsung menyerangku!" dia lebih mengeratkan kunciannya membuat Mawar kesusahan bernapas
"tidak! Percayalah padaku! Lihatlah Mawar kesusahan bernapas, apa kau mau membunuhnya? Bukankah kau bisa menekan tombol menyerah pada lengan Mawar—apa itu belum cukup?" tegasku
"Boohooonngg—tetap saja setelah itu kau akan menyerangku. Aku tak boleh gagal kali ini, aku tak ingin di Drop Out dari sekolah. Aku adalah satu-satunya harapan keluargaku, kau takkan mengerti!" teriak gadis di hadapanku yang berlinang air mata
Wajah Mawar mulai membiru, matanya melotot akibat tercekik oleh lengan Maya, aku harus melakukan sesuatu.
"aku bilang lepaskan Mawar!"
"TIIDAAAKKK!"
Apa kau pernah berpikir bahwa bakat yang kau miliki, suatu saat bisa menjerumuskanmu? Sebenarnya itu bakat atau kutukan?
Aku tertegun di hadapan Maya, gadis ini benar-benar tak memberiku pilihan. Ia mungkin sudah kehilangan akal, sampai tak menyadari bahwa cekikannya sedikit lagi bisa mematahkan leher Mawar. Sebegitu inginnyakah kau mendapatkan kehidupan mewah yang dijanjikan sekolah, sampai kau kehilangan hati nuranimu?
Suasana menjadi sangat tegang, hanya suara air hujan yang semakin deras menemani kami di tengah hutan. Aku merogoh pisau di kantongku, berharap Maya menjadi takut dan melepaskan Mawar. Kenyataannya, ketakutan Maya menjadi-jadi mempererat cekikannya pada Mawar.
Mengingat latihanku selama tiga tahun di Amerika, telah membuatku menjadi penembak jitu yang handal. Aku tak pernah meleset saat serius menghadapi targetku, apalagi dalam jarak sedekat ini. Dengan cepat aku melemparkan pisau di tangan kananmu, membelah butiran air hujan. Hanya sepersekian detik pisau itu telah menancap pada dahi Maya—saat itu juga ia tergeletak di rerumputan memandangi rintik-rintik hujan yang menimpa wajahnya.
"Lencana kelinci ini tidak cocok untuk orang lemah sepertimu!"