Tak seorang pun tega melihat gadis yang bersusah payah menggendong pria besar. Aku berjalan menuju pintu masuk tepat dua puluh meter dari tugu. Seseorang menyapaku di sana, pastilah seorang penjaga, lantas aku meminta bantuan kepada mereka.
Membiarkan orang asing masuk ke dalam markas jelas diliputi rasa kecurigaan. Sebab itu, penjaga yang lain melapor kepada bos. Aku hanya bisa melihat, dan mengedipkan mata—memasang muka melas berharap pertolongan mereka. Awalnya mereka tak mau menolongku, sedikit kesal aku melakukan hal ini—terpaksa berpura-pura menangis ketakutan jika pria yang kugendong tewas di depan mataku.
Setelah mencari seribu alasan, akhirnya aku berhasil masuk, beruntungnya aku tak perlu menggendong pria busuk itu lagi, karena para penjaga mau menawarkan diri untuk menggendongnya. Aku masuk lebih jauh ke dalam markas para mafia, tak sedikit pun detail yang terlewatkan, aku terus menyelidiki untuk mendapatkan celah.
Tak lama—bos besar mereka menampilkan wujudnya. Seorang pria botak berjenggot yang cukup tebal nampak garang bagiku.
"apa maksud kedatanganmu gadis muda?"
"Seperti yang anda lihat bos… saya membawa orang yang menentang anda"
"hmmm… ternyata kau gadis yang cerdik yaa, kukira kau akan berkata apa yang dikatakan pengawal padaku"
Tiba-tiba saja pria di yang digotong pengawal tersadar, remang-remang dia melihat situasi sekitar.
"sudah kuduga! Kau bagian dari mafia ini gadis tengik! Kau menjebakku… dasar laknat! Akan kuingat ini… tapi jangan lupa nyawa teman-temanmu ada di tanganku!"
Sekali lagi aku menendang wajahnya untuk mendiamkan mulut kotornya itu.
"Seperti yang kau lihat bos, dia dan komplotannya berusaha menyerang markas anda, dan sekarang dia telah menyandera teman-temanku. Kiranya jika bos berkenan, membantuku menyelamatkan teman-temanku maka akan kuberitahu tempat persembunyian mereka."
"aku suka dengan pemikiran cepatmu, tanpa basa-basi to the point. Selama itu menguntungkanku aku tak akan menolak. Baiklah pengawal bawa laki-laki itu ke penjara, aku ada urusan dengan gadis ini."
Maafkan aku yaa mulut kotor, anggap saja itu balasan yang kau terima atas mulut kotormu
Usai pengawal keluar, ruangan menjadi sepi—tersisa aku dan bos mereka saja. berdua saja di ruangan ini membuatku deg-deg-an, akalku mulai berpikiran yang tidak-tidak. Namun, pria botak itu begitu tenang lalu membalikkan badannya ke arah jendela.
"siapa sebenarnya kau gadis muda?" tanya bos
"nama saya adalah Alice—saya bersama teman-teman melakukan ujian di pulau ini"
"lalu mengapa kau menyerahkan pria itu kepadaku?"
"karena menurut saya, tak ada jaminan jika menuruti perintahnya, teman-teman saya bisa terselamatkan"
"bukankah, aku juga belum tentu setuju untuk membantumu, sama saja tak ada jaminan selamat jika kau berpihak padaku—bahkan aku bisa membunuhmu di tempat ini!"
"sudah kuduga anda akan berkata seperti itu, sungguh naif jika saya berpikiran bahwa anda akan menolong saya. Sebenarnya saya hanya ingin menyelamatkan diri saya sendiri"
"ha-ha-ha… begitukah? Memang benar jika seseorang dalam bahaya akan memprioritaskan dirinya sendiri… sepertinya aku kenal orang macam dirimu"
Tepat ia menyelesaikan ucapannya, seseorang dari belakang menyerangku. Aku langsung mengetahui keberadaanya dari suara pintu yang terbuka. Seorang gadis berdiri di depanku memasang kuda-kuda nan kokoh. Sepertinya bos, mengujiku dengan gadis ini.
"baiklah Hani… aku serahkan gadis ini padamu—jangan sampai membuatku kecewa!"
"siaap mengerti bozz" jawab Hani
Aku memerhatikan Hani dengan seksama, dia sangat familiar dengan seragam yang dipakainya… jelas dia adalah salah satu murid Singhasari High School, pantas saja pria mulut kotor menuduh kami adalah bagian dari mafia yang menculik kekasihnya. Ternyata karena dia—aku yang ketiban sial.
"apa tujuanmu bekerja sama dengan mafia ini?" tanyaku dengan tegas
"bukankah sudah jelas! Sama seperti dirimu bukan?"
Apa? Mungkinkah dia juga terancam, dan terpaksa bekerjasama dengan mafia
Dua-tiga loncatan Hina menyerangku dengan brutal, aku masih butuh penjelasan darinya, tapi dia sepertinya tak mau bicara lebih banyak. Aku berusaha menghindari dari tinju mautnya sampai mundur beberapa langkah.
Kecepatan dan kekuatannya sungguh hebat, anak ini mungkin sudah berlatih lama. Gerakannya begitu rapi dan cantik seperti parasnya, namun yang lebih menakjubkan adalah aura-nya yang pekat mengeluarkan pesona yang luar biasa.
"heei.. apa ada anak lain yang tertangkap di sini?" tanyaku bersamaan menganalisis lekuk tubuhnya
"hmmm… boleh juga kau! Dari kelas mana kau? Aku belum pernah melihatmu di sekolah?"
Begitu dia menjawab, aku langsung maju dengan satu pukulan "aku Alice dari kelas C"
Sayangnya dia berhasil menangkisnya membalas dengan upper cut, "ha-ha-ha… kelas C? berani-beraninya kau melawanku?"
"sebenarnya aku tidak melawan-mu, bukannya kau yang menyerangku duluan?"
Tiga serangan beruntun ia luncurkan—aku menjawabnya dengan menyilangkan kedua lenganku. Balasan untuknya adalah tendangan kaki untuk menjatuhkannya, jelas sekali dia melompat menghindar.
Aku yang pendiam ini terpaksa banyak bicara untuk mengorek informasi dari Hani, "udara di sini menjadi panas—biarkan aku menguncir rambutku" kemudian aku merogoh saku dan mengeluarkan dua kuncir rambut… satu lagi untuknya.
"terima kasih atas kepedulian-mu, tapi ini takkan membuatku mengalah"
Mulai dari sini pertarungan akan menjadi lebih serius, pemanasan tadi sudah lebih cukup untuk merenggangkan otot badan. Kulihat jam pada tangan kiri, ini adalah jam tangan touch screen dengan edisi spesial water-proof. Saat kudengar ujian di luar sekolah, aku langsung memtuskan untuk membelinya. Meski di alam bebas aku harus tetap tau waktu—karena itu sangat penting, dan bisa membuatku gelisah. Sekarang jam 12:50… lalu aku mengganti jam ini ke mode timer menjadi sepuluh menit. Ini adalah waktuku, lebih dari ini fisikku takkan mampu untuk melawan Hani.
"12:51" kami memulai serangan masing-masing
"12:52" Hani pukulan Hani berhasil mengenaiku, pertahanku lemah karena aku memusatkan pada serangan, inilah yang akibatnya.
"12:53" aku menggunakan dinding sebagai tumpuan untuk menyerang kepalanya, kuharap dia langsung pingsan dengan kepalanku ini.
"12:54" kedua tangan kami bencengkrama, mendorong satu sama lain. Dia berinsiatif menendangku. Kakiku terkena sampai aku harus berlutut sekarang.
"12:55" aku melepaskan genggaman Hani—meraih kerahnya lalu membantingnya
Sesuatu keluar dari saku rok milik-nya, karena penasaran aku segera memungutnya. Bukankah ini lencana kera? Sudah kuduga dia bukan orang biasa, hanya orang-orang pilihan yang mampu mendapatkan lencana berbentuk kepala binatang.
"12:56" Hani bangkit—berlari menyerang diriku dari sudut belakang, dengan waspada aku berhasil menangkisnya. Ia menyerangku bertubi-tubi, amarah menyulut hatinya, ini kesempatanku untuk memancingnya.
"12:57" siaal… tinggal tiga menit lagi, aku harus cepat menyelesaikannya. "hebat juga kau memiliki lencana ini, apa kau anggota organisasi?"
"anak kelas C sepertimu tak berhak tau rahasia kami!"
Rahasia? Apa maksudnya? Memang benar jika lencana ini sangat berharga karena terbuat dari emas, jika dijual pun pasti akan dapat ratusan juta—apa rahasia itu yang dia maksud?
"semua orang juga sudah tau rahasia lencana ini yang berharga diincar para pencuri emas" aku memancingnya dengan penggiringan opini. Dia menertawaiku dengan hina, sepertinya aku harus memancingnya lebih lagi.
"12:58" tangan arogan Hani mulai menyilang di bawah payudara-nya yang montok, yaaa itu berhasil membuatku sedikit minder. "baiklah akan kukatakan sedikit rahasia ini padamu, sebagai penghargaan bisa melawanku dengan seimbang. Senyawa biji emas yang terkandung di dalam lencana tersebut, adalah salah satu kunci membuka brankas"
"12:59" aduuhh mepet sekali waktunya, aku melirik pada jam tanganku "lantas apa yang ada di dalam brankas itu?"
"rakyat jelata seperti dirimu tak berhak mengetahui apa yang ada di dalamnya! Yang jelas di sana tersimpan sebuah benda yang lebih berharga daripada emas atau uang"
"13:00" tepat saat dia mengambil nafas, aku melempar lencana ini ke wajahnya dengan sekuat tenaga. Ia takkan mungkin menghindar-sudah pasti akan menangkap pin pemberianku. Bergegas aku berlari mengambil loncatan menendang sekuat tenaga dengan kedua kaki ini hingga menembus pertahanannya
"sebaiknya hentikan omong kosongmu itu! mana ada di dunia ini yang lebih berharga daripada uang!"
Serangan pamungkas itu telah menguras seluruh tenagaku, kini aku hanya bisa bersandar pada dinding. Sedangkan Hani, dia sudah terkapar lemas terbaring di lantai.
"baiklah… aku akui kau memang kuat—anak kelas C!" usai menelan ludah, Hani merentangkan tangan untuk menahan tubuhnya… lantas ia bangkit berjalan menuju jendela.
"lihatlah—Alice. Di bawah sana terdapat sebuah coloseum yang dibangun oleh mafia, di sana lah aku dan teman-temanku diadu saling bertarung menjadi seorang gladiator"
"jika kau adalah gladiator di coloseum itu, kenapa kau bisa lepas?"
"itu sudah jelas kan? Aku memenangkan pertarungan dan akhirnya bos merekrutku untuk menjadi bawahannya"
Akhirnya, Hani mulai menceritakan situasi yang terjadi. Sebenarnya dia juga berniat kabur dari markas mafia ini, mungkin dia sudah membuat rute pelarian. Namun permasalahannya, bagaimana nasib para sandera di sini apa mereka masih hidup atau bahkan sudah dijual dalam pasar gelap?
Setelah mendengar rencana Hani, aku berniat membantunya untuk menyelamatkan semuanya. Kuharap rencana ini bisa berhasil, jika tidak sudah tamat riwayatku—akan dikirim pula ke blackmarket. Sejenak aku teringat desa sepi yang kukunjungi, mungkin saja semua penduduk di sana sudah dijual oleh bos mafia. Yang mengherankan adalah di jaman seperti sekarang ini, masih ada perdagangan manusia. Padahal HAM sudah ditegakkan dimana-mana, pejuang kebebasan juga sudah tersebar di seluruh penjuru dunia, bahkan seorang feminis pun sudah sampai di negari ini. Lantas kenapa bisa hal ini terjadi? Dugaanku adalah terdapat ognum pemerintahan yang sekarang sudah bobrok, tak sanggup lagi menegakkan keadialan
Alasanku membantu penyelamatan ini adalah bukan untuk bersikap sok pahlawan, yang paling tau 'aku' adalah diriku sendiri. Meski apatis begini, dan tak suka mencampuri urusan orang lain, aku masih memiliki rasa kemanusiaan. Aku memang tak suka orang lain mencampuri urusanku, bahkan bicara dengan orang lain saja aku sudah malas. Tapi ketika melihat orang lain kebebasannya telah direnggut maka mereka akan menjadi musuhku—karena aku ini adalah pejuang kebebasan.