Hari Senin pagi, West bersaudara bersiap-siap untuk aktivitas mereka. Si kembar akan bertemu dengan teman-teman mereka untuk bermain di dunia hiburan. Sedangkan Anna akan belajar berkelompok dengan teman-temannya lalu mengikuti kursus bahasa Prancis. Anna ingin terpilih menjadi siswi program petukaran pelajar di Prancis saat masuk kuliahnya nanti. Karena itu dia belajar dengan rajin dan mempersiapkan apapun yang dibutuhkan agar dia berhasil melanjutkan studinya di Prancis.
Setelah sarapan bersama, mereka berempat saling mencium pipi saudara-saudaranya dan berangkat ke tempat tujuannya masing-masing. Karena Cathy sudah tidak lagi bekerja, dia memutuskan pergi ke perpustakaan umum untuk memperluas wawasannya mengenai perhotelan.
Cathy pergi ke perpustakaan dengan naik bis seperti biasanya. Dia tahu, pamannya telah menyediakan mobil serta supir untuknya beserta adik-adiknya. Tapi dia sudah terbiasa naik bis dan sangat jarang menggunakan mobil.
Ditambah lagi, pamannya membelikannya mobil pribadi untuknya. Mobilnya cukup cantik dan sangat mewah.. itulah yang dikatakan saudari-saudarinya. Tapi dia tidak pernah menyetir mobil sebelumnya, dia bahkan belum mengambil sertifikat mengemudi. Jadi... mobil pribadinya juga menganggur di garasi rumah.
Cathy memasang earphone ipodnya dan mendengarkan lagu kesukaannya sambil memejamkan matanya. Tidak lama kemudian dia merasakan hape didalam tasnya bergetar sebentar.
Tanpa menghentikan mp3nya, Cathy mengambil ponsel dan membaca pesan baru.
'Hai Catherine.'
Kening Cathy mengerut membaca pesan dari pengirim yang tak dikenalnya. Kemudian muncul pesan yang lain.
'Apa yang sedang kau lakukan?'
'Maaf, ini siapa?' akhirnya Cathy membalas pesan tersebut.
Sedetik kemudian ponselnya berdering. Rupanya pengirim tadi menelponnya sekarang.
Tanpa curiga apapun, Cathy mengangkat panggilan tersebut setelah melepas kedua earphonenya.
"Halo?"
"Hai. Aku Vincent. Masih ingat?"
Cathy mengerjap beberapa kali dan tidak menyadari dia menahan napasnya. Vincent? Vincent yang itu? Vincent yang membuat sekumpulan foto Star Risen untuk diiklankan?
Padahal dia yakin mereka tidak akan berhubungan lagi. Padahal dia sudah berhasil melepaskan perasaan ketertarikannya pada pria itu. Tapi begitu mendengar suara pria itu, debaran jantungnya kembali berdebar tidak karuan.
"Uhm.. Vincent?"
"Ya?"
"Kau Vincent yang itu?"
Terdengar suara tawa renyah diseberang membuat kedua pipinya terasa panas.
"Memangnya berapa Vincent yang kau kenal?"
"Itu.. cuman satu."
"Jadi aku adalah Vincent yang itu." jelas sekali Vincent sedang menggodanya.
"Apa kau sedang menertawakanku?"
"Tidak." sayangnya Cathy masih mendengar suara tawa tertahan di telinganya. "Kau ada dimana?"
"Aku dalam perjalanan ke perustakaan."
"Kau tidak masuk kerja?"
"Ah, itu.." Cathy tidak tahu bagaimana menjelaskan situasinya tanpa membongkar identitasnya. Tidak. Sebenarnya dia tidak ingin Vincent memandang rendah dirinya saat dia bilang dia telah diberhentikan oleh CEO hotel. "Aku mengambil cuti panjang." jawabnya setelah menimbang-nimbang jawaban yang masuk akal.
Lagipula pamannya kan memang bilang dia boleh kembali bekerja setelah adik-adiknya masuk sekolah. Dengan kata lain, dia diberi cuti oleh pimpinannya tanpa diminta.
"Ooo.. Kalau begitu aku akan menyusulmu."
"Huh?"
"Kirimkan alamat perpustakaannya ya. Sampai ketemu disana."
Tut..tut..tut.. Cathy memandang ponselnya dengan bengong.
Astagaaaa... dia akan bertemu dengan Vincent?!
Setelah mengirimkan alamatnya pada Vincent, Cathy tidak berhenti tersenyum lebar selama perjalanan. Tentu saja kali ini dia memastikan untuk menyimpan nomor pemuda itu di ponselnya.
Waktu itu dia sengaja tidak menyimpannya karena dia yakin mereka berdua tidak akan bertemu lagi setelah keluar dari Pina. Siapa yang menyangka kalau pria itu yang lebih dulu menghubunginya. Karenanya kali ini dia menyimpan nomor pemuda itu dengan nama Vincent.
-
Cathy sedang membaca buku mengenai sistem hotel berbintang tujuh. Karena merasa ada beberapa kalimat yang penting, Cathy menyalinnya ke dalam buku catatannya.
Cathy terlalu terhanyut akan aktivitasnya tidak menyadari seseorang duduk di seberangnya. Dan juga karena terlalu fokus pada bukunya sehingga walau sadar ada orang yang duduk semeja dengan dirinya, dia tidak peduli.
Gedung ini adalah perpustakaan umum terbesar dan yang paling lengkap di kotanya. Tidak akan ada yang heran kalau ada orang yang tiba-tiba duduk semeja dengannya karena kehabisan bangku.
Yang dilupakan Cathy adalah karena hari ini merupakan hari kerja dan bukan musim ujian, perpustakaan tersebut bisa dibilang sepi. Hanya sedikit yang datang untuk membaca atau belajar. Dan dia sama sekali tidak menyadari sepasang mata memandanginya dengan terkagum-kagum.
Tidak terasa Cathy telah 'belajar' sekitar dua jam baru merasa puas dengan catatannya. Cathy meletakkan pulpennya dan merenggangkan tubuhnya yang agak kaku akibat duduk dengan posisi yang sama selama dua jam. Secara reflek pandangan matanya terangkat dari bukunya dan melihat seseorang yang duduk diseberang mejanya dengan senyuman lebar yang menawan.
Astagaaaa... sejak kapan Vincent tiba dan memandangnya seperti itu? Dia merasa seperti orang yang sangat berharga saat pemuda itu memandanginya.
Cathy berdehem beberapa kali menutupi rasa gugupnya dan bertanya dengan santai.
"Sejak kapan kau datang?"
"Entahlah. Kurasa tidak lama." jawab Vincent.
Cathy sudah tidak tahan menghadapi tatapan memukau pemuda didepannya. Entah kenapa dia merasa terlalu malu dipandangi seperti itu. Jadi dia bangkit berdiri dan mengembalikan buku di raknya.
"Apa kau sudah makan?" Vincent ikut berdiri dan menemaninya mengembalikan buku-buku yang diambilnya tadi.
"Belum." jawab Cathy sambil berusaha menaruh buku di rak yang lebih tinggi.
Padahal sewaktu mengambil buku ini tadi terasa mudah, kenapa sulit sekali mengembalikan bukunya? Cathy berencana melompat saat buku ditangannya telah diambil oleh Vincent.
"Disini?" dengan mudah Vincent menaruh buku tersebut di tengah-tengah buku di rak yang ditujunya.
"Iya disitu. Terima kasih."
Catherine teringat masa-masa di Pina setelah acara pembukaan selesai. Pria ini dengan ajaibnya selalu muncul dihadapannya dan membantunya bahkan tanpa diminta.
Seperti saat dia harus memindahkan barang berat, pria itu yang akan membawanya tanpa disuruh. Atau disaat dia mencari sesuatu, pria itu sudah datang kepadanya membawakan barang yang diinginkannya.
Cathy sudah mulai terbiasa dengan sikap perhatian pria itu.
Aneh sekali.. padahal sebelum ini dia memandang benci ke arah semua pria. Dia menganggap semua pria ini tidak bertanggung jawab seperti ayahnya dan dingin seperti pamannya.
Namun semenjak bertemu dengan Steve yang selalu memperlakukannya seperti adik serta pamannya yang mulai berubah menjadi peduli pada keluarga; pandangannya terhadap pria sedikit demi sedikit berubah.
Ditambah lagi entah kenapa dia merasa dimanja oleh pemuda bernama Vincent ini. Membuatnya merasa pria ini bisa diandalkan disaat dia membutuhkan bantuan. Padahal selama ini meskipun dia membutuhkan bantuan sekalipun, dia tidak akan pernah meminta bantuan pada siapapun... dalam bentuk apapun. Bahkan terhadap Steve ataupun Kitty, dia tidak pernah curhat pada kedua sahabatnya ataupun mengharapkan bantuan dari mereka.
Karena itu dia merasa dirinya telah berubah. Dia merasa sedikit berharap akan bantuan pria itu disaat bersamaan dia juga merasa pemuda ini suka menjahilinya atau menggodanya. Luar biasa anehnya... dia sama sekali tidak membencinya.
'Apakah mungkin.. Vincent menyukaimu?'
Teringatlah pertanyaan Helena di malam perpisahan mereka. Tanpa disadarinya Cathy memandang pria itu dengan bertanya-tanya... apakah pria itu memang menyukainya? Apakah pria itu memiliki perasaan khusus terhadapnya? Apakah pria itu juga berdebar-debar seperti dirinya tiap kali mereka bertemu?
"Ada apa?" kali ini mata hitam Vincent memandang lurus ke arah matanya membuatnya sulit bernapas.
Tidak mungkin! Apakah aku telah jatuh cinta pada orang ini?! serunya tak percaya dalam hatinya.
Tenang Cathy.. tenang.. Kau tidak mungkin jatuh cinta pada orang yang baru kau kenal sebulan yang lalu. Benar. Dia tidak mungkin jatuh cinta dengan mudah terhadap seorang pria. Kalau memang dirinya mudah jatuh cinta, maka sejak dulu dia sudah menerima pernyataan cinta seorang pria terhadapnya.
"Ayo kita cari makan. Aku sudah lapar." sahut pria itu membuatnya kembali ke meja untuk membereskan peralatan tulisnya.
"Baiklah. Kali ini aku akan mentraktirmu."
Vincent tertawa mendengar ini. "Biasanya orang yang mengajak makan bersamalah yang membayar. Kenapa kau malah langsung menawarkan diri di awal?"
"Aku hanya ingin berterima kasih."
"Untuk apa?"
"Aku sudah mendengarnya dari Helena. Dia bilang kau membantu kami di lobi melayani para tamu saat kami kekurangan orang."
"Ahh, yang itu. Itu bukanlah sesuatu yang besar." Vincent mengangkat kedua bahunya dengan cuek sambil berjalan keluar dari gedung perpustakaan. Dia bahkan menyamai langkahnya dengan gadis di sebelahnya.
"Makanan apa yang kau suka?" tanya Vincent.
"Uhm.. aku bisa makan apapun. Tidak ada makanan khusus yang kusukai."
"Oh? Kalau begitu antara masakan Asia dan Western, yang mana yang ingin kau makan saat ini?"
Cathy tersenyum saat menjawab pertanyaannya, "Bagaimana denganmu? Kau yang mengajakku, jadi aku akan mengikuti apapun pilihanmu."
Vincent mendesah. "Kenapa sulit sekali mengetahui makanan favoritmu?"
"Apa?" Cathy yakin pemuda yang berjalan disampingnya mengatakan sesuatu, tapi dia tidak bisa mendengarnya dengan jelas.
"Hm?"
"Tadi kau mengatakan sesuatu?"
"Tidak." jawab Vincent mengulas senyum tipis. "Apa kau pernah makan sup daging lemak?" tanya Vincent begitu mereka telah keluar dari gedung perpustakaan.
Mendengar jenis makanan yang belum pernah ia dengar, Cathy hanya menggelengkan kepalanya.
"Kalau begitu kita makan itu saja. Aku rasa kau akan menyukainya."
"Baiklah."
Kebetulan sekali rumah makan yang dituju Vincent hanya beberapa blok dari perpustakaan, sehingga mereka tidak perlu menggunakan transportasi umum untuk mencari kesana.
Cathy melihat suasana rumah makan yang asing tersebut dengan tatapan penuh penasaran. Dia tidak pernah masuk ke jenis rumah makan untuk kalangan menengah ke bawah. Bukannya dia tidak ingin, hanya saja.. Bibi Len selalu siap dengan hidangan masakan apapun untuk makanan sehari-hari West bersaudara. Jadi Cathy hampir tidak makan di luar rumah seperti restoran ataupun rumah makan biasa.
Satu-satunya tempat yang pernah dituju Cathy di jam makan siangnya hanyalah sebuah kantin. Entah itu kantin sekolah, kampus ataupun perusahaannya. Bahkan sewaktu dia bekerja di restoranpun dia akan membawa bekal dari rumah yang disiapkan oleh Anna setiap pagi. Karenanya dia tidak pernah merasakan rasanya masakan di sebuah restoran ataupun rumah makan yang menjual masakan spesial khas dari koki di tiap-tiap daerah.
Hanya baru-baru ini saja semenjak Ben kembali tinggal bersama mereka, West bersaudara memiliki kesempatan untuk makan di restoran yang mewah. Seminggu sekali, Ben akan mengajak mereka makan di luar untuk menghabiskan waktu keluarga yang berharga.
Sudah terhitung lebih dari lima restoran yang dikunjunginya dan matanya terbiasa dengan suasana yang sepi.. lebih tepatnya privasi dengan hiasan mewah yang menghiasi ruangan restoran.
Sementara tempat ini.. tidak ada hiasan apapun di rumah makan ini, bahkan suasana disana juga sangat ramai. Tempat memasak, tempat membayar makanan, dan meja makan berada di satu ruangan yang bisa dibilang sangat kecil bila dibandingkan restoran yang pernah ia kunjunginya.
Pandangan Vincent tidak pernah lepas dari ekspresi yang dibuat Cathy. Dia ingat gadis yang duduk dihadapannya bukanlah berasal dari keluarga miskin mengingat rumah gadis itu berada di perumahan yang paling elit dan mahal di kotanya. Jadi dia menduga, seumur hidupnya, gadis itu pasti hanya datang ke restoran mewah yang tidak kotor ataupun ramai seperti ini.
Vincent tidak akan terkejut jika seandainya kening Catherine akan mengernyit tidak suka atau merasa jijik dengan tempat ini. Dia sama sekali tidak keberatan dengan rasa ketidaksukaan gadis itu terhadap tempat ini.
Tapi.. Vincent tidak menemukan ekspresi jijik pada wajah gadis itu. Yang ada malahan gadis itu tampak penasaran dengan tempat ini. Cathy tidak bisa mengalihkan perhatiannya dari seseorang yang sedang memasak dengan menggunakan wajan besarnya.
Senyuman Vincent melebar tanpa disadarinya dia semakin jatuh hati pada gadis yang duduk dihadapannya.
Tidak lama kemudian dua mangkuk sup daging lemak datang tersajikan di meja makan mereka.
Cathy menatap penasaran ke arah sup itu membuat Vincent tersenyum.
"Coba cicip rasa kuahnya. Jika kau lebih suka asin.." Vincent mengambil sebuah botol mini berbentuk gelas berisi kecap dari pojok meja ke tengah-tengah meja, "tambahkan kecap asin ini.. yang ini saos pedas jika kau lebih suka rasa pedas." sambil mengambil botol lain berisi sambal. "Kau juga bisa mencampur keduanya kalau kau mau."
Cathy mengikuti saran Vincent dan mencicipi kuahnya terlebih dulu. Keningnya mengerut saat merasakan sesuatu yang sangat panas menyerang lidahnya.
"Hei, hati-hati. Supnya masih panas." Vincent segera mengambil segelas air putih dan menyerahkannya pada Cathy.
Cathy segera meneguk minumnya beberapa kali kemudian mengambil napas panjang. Kini langit-langit mulutnya terasa perih akibat kuah panas yang langsung saja masuk ke dalam mulutnya. Seharusnya dia sudah menduganya karena dia melihat uap tebal dari makanannya itu.
"Kau baik-baik saja?"
"Terlalu panas."
Vincent bangkit berdiri dan meminta sesuatu pada seorang pelayan. Kemudian kembali dengan membawa mangkuk kecil. Dengan cekatan, Vincent memindahkan kuah dengan sendoknya ke mangkuk yang lebih kecil. Dia menyendoknya sebanyak sepuluh kali kemudian memotong daging lemak tersebut menjadi potongan-potongan kecil. Potongan daging tersebut juga dipindahkannya ke mangkuk kecil.
Lalu dia mengaduk isi mangkuk kecil sambil meniupnya secara perlahan-lahan. Setelah dirasanya sudah tidak terlalu panas, Vincent menyerahkannya pada Cathy.
Melihat sikap pria itu membuat Cathy mengerjap matanya beberapa kali. Sepertinya ini pertama kalinya ada seseorang yang bisa mengerti dirinya. Kalau seandainya pria itu tidak meminta mangkuk kecil, Cathy sendirilah yang akan memintanya dan melakukan persis apa yang dilakukan pria itu.
Sekali lagi, jantungnya berdebar dengan kencang... hanya saja kali ini hatinya merasa hangat.. sehangat terbitnya matahari di pagi yang dingin. Tidak hanya itu dadanya terasa sesak seolah paru-parunya terikat oleh sesuatu yang melilit. Semakin lama lilitannya semakin erat hingga akhirnya.. Tus! lilitan tadi terputus dengan tiba-tiba saat pemuda didepannya menatapnya sambil tersenyum lembut.
Akhirnya..dia menyadari bahwa dirinya telah jatuh hati pada Vincent.