Nanti Kita Cerita Tentang Pernikahan Ini
©Radiobodol-2020
❝Kau, memilih aku …
Sebagai rumah-tempat berteduh dari segala hingar-bingar dunia yang kejam. Pun aku, memilih kamu untuk bersandar dari segala pedihnya luka yang meradang.❞
***
"Kau baru saja melanggar peraturanku," kata lelaki itu parau, ia tidak dapat merasakan pedih pada tangannya yang tertusuk pecahan gelas kaca sebab, rasa sakit hatinya lebih mendominasi malam ini.
"Gue enggak peduli, hukumannya nanti saja," sahut Ziva yang terus memangkas jaraknya pada lelaki itu.
"Berhenti di sana dan berbaliklah! Apa kau tidak punya telinga, huh?"
"Seseorang yang sedang patah butuh teman," jawab Ziva sambil terus berjalan. Tak peduli berapa kali lelaki itu menyuruhnya pergi. Persetan dengan semua itu. Ia tak mau mengambil risiko atas segala macam tindakan bodoh yang lelaki itu lakukan di dalam ruangan kerjanya.
"Tidak usah sok tahu, pergilah!" Nadanya makin meninggi dan terdengar begitu menyeramkan di telinga Ziva. "Istirahat sebentar, supaya lo bisa bangun kebahagiaan versi lo," katanya tebal muka.
Lelaki itu memandang lamat-lamat wajah bulat Ziva di hadapannya. Alkohol dan memukul orang memang tidak membuat perasaannya membaik tapi Ziva, setiap kata-kata yang terlontar dari bibirnya membuat perasaannya membaik.
Tangan kanan lelaki itu beralih menangkup dagu Ziva yang duduk bersimpuh di depannya, menariknya untuk lebih dekat. Entah pengaruh alkohol atau pikiran dan hatinya yang memang sedang kacau. Ia mencium gadis itu tepat pada bibirnya.
***
"Hari ini hujan." Seorang lelaki dengan kemeja bergaris putih biru dan celana model cropped berujar di depan gadis manis dengan mata bulat dan pipi bervolume—Ziva.
"Hmm ...." gumam Ziva.
"Kau—"
"Ada di dekatmu, traumanya hilang," aku Ziva jujur dari lubuk hatinya.
Lelaki dengan mata sipit dan hidung mancung itu mengangkat alisnya tak percaya. Ia diam sejenak sebelum kembali berucap, "Kalau begitu teruslah di dekatku."
Ziva yang tadinya tertunduk langsung mengangkat kepalanya dan menatap mata hitam kelam milik lelaki itu—mencoba mencari sebuah kejujuran pada kata yang diucapkannya.
"Maksudmu?"
"Tetaplah bersamaku."
***
Ketakutannya benar-benar terjadi hari ini. Tentang kehilangan yang sekali lagi mendekapnya dalam-dalam. Ini adalah definisi dari hancur yang sebenarnya. Semesta menganggap ini semua lelucon. Tak ada yang lucu dari kehilangan tanpa sempat mengucapkan salam perpisahan.
Lagi-lagi Ziva dipaksa untuk mengerti dan menerima semua kehilangan ini sebagai bentuk dari takdir yang sudah digariskan Tuhan. Ia lelah, sakit, marah, benci, ingin memaki Tuhan atas jalan hidup yang disuguhkan ini. Kenapa semuanya terasa pahit dan semenyakitkan ini? Tidak bisakah ia menawar bahagia untuk menetap dalam durasi yang lama? kenapa semesta seolah bahu-membahu untuk membuatnya tercelup dalam luka tak berkesudahan?
***
"Aku tidak melakukannya." Ada getar dalam suara lelaki itu. Ada luka dalam sorot matanya. Mengetahui bahwa Ziva lebih memercayai omong kosong itu ketimbang dirinya membuat hatinya sakit.
Ziva menunduk, tak berani menatap wajah lelaki itu—yang akan membuatnya bimbang untuk pergi. "Aku tahu kau ragu,"
katanya parau.
Lelaki itu diam. Seperti ada benda tumpul yang memukul dadanya kuat-kuat. Kepalanya sulit berpikir apa pun sekarang. Yang ada hanyalah perasaan takut. Takut jika wanita itu akan benar-benar meninggalkannya.
"Kau, tidak percaya padaku," ucapnya melepaskan genggamannya.
Ziva semakin menangis. Bingung dengan perasaannya saat ini. Jujur, ia sangat tersiksa. Seharusnya cinta tidak semenderita ini. "Bisa lepaskan aku?" pintanya dengan sangat berat hati. Jika memang semesta menginginkan ini sekarang, maka ia akan mengiyakan.
***
❝Aku tidak menyerah. Hanya saja, aku tidak bisa membiarkan orang yang kucintai tersiksa karenaku. Semoga kau bahagia. Maafkan aku yang payah dan selalu mengecewakan ini.❞