Chereads / Nanti Kita Cerita Tentang Pernikahan Ini / Chapter 3 - Bagian 2 : Kedatangan Calon Mertua

Chapter 3 - Bagian 2 : Kedatangan Calon Mertua

Sesampainya di rumah, Ziva melihat banyak sandal dan sepatu berjajar di berandanya. Agaknya sedang ada tamu. Gadis itu melepaskan sepatu, menentengnya lalu masuk lewat pintu samping. Tak sopan jika lewat pintu depan, juga Ziva malu untuk membaur dengan tamu Bundanya.

"Adek." Bunda memanggil dari luar. Ziva yang baru hendak menanggalkan pakaian lantas mengurungkannya. Ia bergegas membuka pintu.

"Kenapa, Bun?" tanyanya sambil memerhatikan keadaan luar yang cukup bising.

"Cepat ganti baju, dandan yang cantik. Terus pakai gaun Kak Dea yang dikasih ke kamu tempo hari," suruh Bunda.

Ziva merapatkan bibir dengan alis yang bertaut. "Mau pergi ke mana?" tanyanya heran.

"Tidak pergi ke mana-mana."

"Lah, terus ngapain Bunda suruh Adek pake gaun?"

"Ada mertua kamu di luar, sana cepat ganti baju terus sapa."

Mertua? Sejak kapan Ziva punya mertua? Apa saat ini ia sedang bermimpi? Mimpi macam apa ini? Baru beberapa jam ia merayakan kelulusan SMA-nya dan Bundanya baru saja berkata ada mertuanya di rumah? Apakah Bundanya sedang bercanda? Apa ini ? Kenapa Ziva seperti orang linglung? Kenapa Ziva merasa kepalanya terbentur lalu ia amnesia? Gadis itu memejamkan matanya, berharap ini hanya mimipi tapi, saat ia buka kembali matanya, ternyata ini bukanlah mimpi. Ada Bundanya yang menatap Ziva dengan raut bingung.

"Hoii, Dek, cepet!" Dea—kakaknya, berseru dari luar. Gadis manis berambut panjang itu sedang membawa nampan berisi teh hangat untuk para tamu di ruang tamu. Suara lantangnya menyadarkan Ziva dari lamunan panjangnya.

"Bunda bercanda, 'kan?" Tanya Ziva memastikan. Bunda menggeleng mantap, dan mendorong Ziva masuk ke kamar, untuk segera mengganti pakaiannya. "Sana cepat ganti baju kamu."

"Ada apa ini, Bun?" tanya Ziva kalut.

"Kamu sebentar lagi akan menikah, kita lagi bahas pernikahan kamu."

Seperti dipukul benda tumpul kuat-kuat, dada Ziva terasa sakit. Napasnya tercekat. Cerita apa yang ia lewatkan? Perasaan tadi malam semua masih berjalan biasa-biasa saja. Ziva masih bercanda dengan Bundanya kemudian membahas masalah kuliahnya. Kenapa tiba-tiba detik ini Bunda memberitahu bahwa ia akan menikah? Kenyataan konyol macam apa ini? Bagaimana ia bisa mencerna semua ini dengan otaknya? Rasanya ini benar-benar konyol. Apakah ini masih jamannya Siti Nurbaya? Astaga Ziva kehilangan akalnya untuk berpikir.

"Bunda, Adek baru aja lulus SMA," ucap Ziva kelu.

"Menikah tidak harus menunggu tamat S3, Dek," balas Bunda enteng.

Ziva membelalakan matanya. Untuk menikah bukan soal acuan menamatkan pendidikkan tapi, ini adalah soal Ziva yang baru saja menamatkan SMA. Gadis itu masih ingin bergerak bebas menelusuri mimpinya yang sudah lama ia pupuk. Ia masih ingin bebas seperti remaja-remaja pada umumnya.

"Bun ...." Suara Ziva bergetar, entah harus berkata apa. Ziva memang lemah soal Bundanya. Ia bahkan tidak sampai hati untuk mengeluarkan kalimat penolakan. Apalagi melihat wajah Bundanya yang begitu bersemangat. Membuat kosa kata penolakan mendadak hilang dalam tempurung kepalanya.

"Ya sudah sana ganti baju, tidak enak, mereka sudah menunggu lama," suruh Bunda.

Tak dapat memilih kata untuk menolak Ziva menuruti suruhan Bundanya untuk mengganti pakaian. Sebetulnya ia hendak meminta penjelasan kepada Bundanya mengenai semua ini. Tapi wanita paruh baya itu sudah keluar dari kamarnya. Ini terlalu mendadak, Ziva ingin marah tapi tak bisa. Menangis saja sudah tidak mampu. Ia hanya diam membisu. Langit seolah runtuh tepat di atas kepalanya. Seolah semua mimpi dan semangatnya pecah berderai.

"Baru aja gue mupuk semangat masuk Veteran, apalagi ada kak Biel," gumam Ziva di tengah keheningan.

"Dek," panggil Dea masuk ke dalam kamar Ziva.

"Mendadak, yah?" tanya Dea yang paham akan apa yang dirasakan adiknya. Ziva tidak menjawab, ia sangat marah, takut salah kata.

"Keputusan bunda adalah yang terbaik," kata Dea menerangkan. Diusapnya punggung telapak tangan Ziva yang terasa dingin.

"Tanpa bicarain dulu sama Adek, mentang-mentang Adek selalu nurut," kesal Ziva, menyentak tangannya sampai tangan Dea terlepas dari sana. Sungguh ia kesal. Menikah bukanlah perihal yang mudah. Memasuki jenjang itu tentu butuh persiapan yang matang dan hati yang mantap. Kalau hanya sekadar diiya-iya-in saja, takutnya berjalan tak seirama dan berujung dengan perpisahan. Apalagi usia Ziva yang masih sangat belia.

"Lambat laun kamu akan tahu jawabannya, Dek," tutur Dea yang membuat Ziva mengernyit tak paham. Tahu jawaban apa maksud Dea?

"Tahu kalo bunda emang selalu semaunya, Adek nggak suka. Kak Dea juga nggak pernah pahami Adek!" seru Ziva dengan tingkat kekesalan yang semakin memuncak.

"Calon suamimu orang baik kok, Dek."

"Mau orang baik kek, apa kek. Nggak segampang ngupil nerima orang asing dalam hidup Adek!" Dea tahu betul perasaan adiknya. Ia membiarkan gadis malang itu mencari jawabannya seiring waktu berjalan.

***

Setelah berhasil mengumpulkan mood, Ziva keluar dari kamarnya dengan malas-malasan. Harus sebisa mungkin dirinya menampakkan wajah ramah dan bersahabat. Walau hatinya panas dengan keputusan Bundanya yang gila, ia tetap harus berlaku sopan pada para tamu di rumahnya ini. Tepatnya pada calon mertua sekaligus calon suami yang sudah duduk anteng di kursi ruang tamu.

Seperti disambar petir di siang bolong, Ziva masih tak percaya bahwa dirinya yang imut-imut ini akan segera menjadi istri orang.

"Duduk sini, Dek. Kamu belum kenalan sama calon suami kamu, 'kan?" Bunda menepuk sisi kosong sebelah ia duduk.

Percayalah, saat ini Ziva sedang menyembunyikan kegugupannya setengah mati. Rumahnya cukup ramai dan tak satu pun dari tamunya yang ia kenal.

Dengan memberanikan diri Ziva menyapa para tamunya, menguntal senyuman yang sebetulnya agak dipaksakan. Ia mengedarkan pandangan untuk melihat para tamunya terutama calon suaminya. Sungguh, ia bergidik. Mimpi buruk apa yang menderanya hari ini?

Apa Bundanya sudah buta? Masa iya calon suaminya itu. Pakaiannya sangat mencolok dengan warna jas kuning ngejreng. Rambutnya dipoles minyak rambut yang kelihatan seperti dilumuri minyak sayur. Astaga, tidak bisa dibayangkan seperti apa keturunannya kelak. Kenapa Bunda mau menikahkan Ziva dengan lelaki tua bangka berpenampilan aneh seperti itu?

"Ini sopir saya," ujar seorang wanita berpenampilan elegan yang adalah calon mertua Ziva. Seolah membaca bahwa Ziva mengira sopirnya adalah anaknya. Maklum, sopir pribadinya itu sudah dianggap seperti keluarga sendiri.

Ziva terkekeh renyah sembari menggaruk tengkuknya yang tidaklah gatal. Mendengar itu membuatnya bernapas lega.

Seseorang baru saja masuk dan mengucapkan salam. "Maaf, jalan macet sehingga agak telat," ucapnya. Langkahnya terhenti ketika dilihatnya seorang gadis dengan gaun putih yang terkesan imut sedang berdiri dengan wajah pelanga-pelongonya.

Untuk sesaat Ziva membeku, matanya mengamati penampilan lelaki yang baru saja masuk. Setelan jas hitam elegan membalut tubuh berisinya. Rambutnya klimis bahkan potongannya benar-benar pas dengan wajah lelaki itu. Hidungnya mancung, kulitnya putih bersih bersinar, satu lagi yang paling kontras, lelaki itu memiliki mata sipit lengkap dengan netra hitam kelam yang seolah menenggalamkan Ziva ke dalam sana.

"Itu anak saya. Calon suami kamu."

TBC