Ziva duduk menunggu Ainun dan Keisya sambil menyeruput kopi yang ia pesan. Dua sahabatnya itu memang selalu ngaret soal waktu. Apalagi Ainun, untuk memoleskan make up saja butuh waktu setengah jam bahkan bisa lebih dari itu. Belum lagi memilih pakaian yang cocok. Kalau Keisya itu sama seperti Ziva, simple dalam berpenampilan. Tapi yang bikin ngaret adalah keleletannya yang luar biasa. Jika ada perlombaan lari siput, Keisyalah juara bertahannya.
Karena gabut dan bosan Ziva memutar ponselnya. Terlintas perihal pernikahannya yang akan segera dilaksanakan minggu depan. Hari ini, hari terakhir ia bisa berkeliaran sebelum dikurung dengan alasan calon pengantin tidak boleh keluar rumah. Otaknya kusut, dadanya sesak memikirkan pernikahan konyol ini.
"Ziv." Sebuah suara menginterupsi lamunan Ziva, spontan ia menoleh ke arah sumber suara. Ternyata Nuca, sahabatnya yang sedikit 'sengklek' saat bersamanya.
"Lah, Nuc, ngapain ke sini?"
"Mulung sampah buat mamam ntar malam, yah minum kopilah, Jigong!" seru Nuca heboh.
"Kirain mau poop," ucap Ziva meladeni candaan Nuca.
"Ngapain jauh-jauh poop, empang deket rumah mang Sabeni ada," balas Nuca masih berlanjut.
"Mang Sabeni?" tanya Ziva mengernyitkan alisnya, selalu ada-ada saja nama baru yang Nuca ucapkan saat sedang bercanda dengannya.
"Iya, tukang mandiin anjing Bambang."
Ziva memutar bola matanya malas "Serah lo deh, Nuc," katanya pasrah.
"Gue boleh duduk di sini?" Nuca menunjuk kursi di depan Ziva yang kosong dengan matanya. Ziva mengangguk, kebetulan ada yang ingin Ziva ceritakan.
***
"APA!!!! NIKAH?!" teriak Nuca tak terkontrol saat usai mendengarkan cerita Ziva. Gadis itu dengan cepat membekap mulut Nuca yang mengundang delikan tajam dari para pengunjung coffee shop langganannya.
"Itu mulut apa toa?" geram Ziva. Respon Nuca membuatnya malu sekaligus jengkel.
"Serius, Ziv? Apa jangan-jangan MBA?!" tebak Nuca asal yang langsung dihadiahi toyoran sedap dari Ziva di bahunya.
"Anjir ... yah enggaklah! Itu mulut kaga ada filternya apa?!" umpat Ziva, mana mungkin ia menikah karena kecelakaan. Pacaran saja tidak pernah. Nuca ini kalau bicara terkadang tidak difilter lebih dulu, membuatnya sebal.
"Lah, terus kenapa buru-buru?"
"Bunda," jawab Ziva pelan.
"Yah kan lo bisa nolak Ziv, gila yah lo! Baru juga tamat SMA. Perjalanan masih panjang, job lagi banjir. Intinya usia lo sekarang itu belum matang buat ngejalani pernikahan," omel Nuca yang sudah macam mengomeli anaknya.
"Mau gimana lagi, kalo bunda udah nyuruh, gue bisa apa selain ngeiyain," balas Ziva seraya mengesah berat.
"Masalahnya lo itu masih muda banget Ziv, dan selama ini kan lo selalu nurutin kemauan Bunda lo."
"Ya sudahlah nggak usah dibahas lagi, rasanya pengen pecah kepala gue."
"Terus manggung minggu depan gimana?" singgung Nuca soal job mereka.
"Nah itu dia! kayaknya terpaksa dibatalin deh ... masalahnya bertepatan banget sama hari pernikahan gue," jelas Ziva tak enak hati sedang Nuca, ia lebih memikirkan keadaan hati gadis itu ketimbang manggungnya yang dibatalkan.
"Lo serius nggak apa-apa nikah, Ziv?" tanya Nuca dengan volume suara yang memelan. Ziva mengangguk, semua mimpinya soal sekolah musik sudah kandas lalu kenyataan ini makin membuatnya jatuh sampai ke dasar.
"Sekali-sekali nolak nggak apa-apa Ziv, lo butuh jadi diri sendiri," nasihat Nuca, ia yakin Ziva pasti tertekan. Secara yang Nuca tahu, semenjak insinden yang menimpa Ziva kelas 3 SMP, gadis itu jadi sangat penurut dan takut mengecewakan.
"Tapi, Bunda nggak pernah ngelarang gue bermusik," tukas Ziva menghibur diri.
"Pas bagian bermusiknya aja Ziv, pas bagian lainnya?" tanya Nuca memberi jeda. "Sama aja lo ngejalani kehidupan bunda lo, bukan lo sendiri," lanjutnya. Ziva mengesah berat, lagi.
"Asal bunda bahagia, itu udah cukup kok Nuc," gumam Ziva.
"Ziv kejadian pas SMP nggak sepenuhnya salah lo. Lo nggak seharusnya merasa bersalah sampe rela jadi orang lain."
"Bisa nggak kita bahas yang lain aja? Kak Biel misalnya," suruh Ziva yang mulai merasa tidak enak hati membahas masalahnya lebih jauh.
"Yeu!" Nuca menoyor kepala Ziva pelan. "Kalo Biel aja cepet banget."
"KAK NUCA!!" teriak seseorang yang Ziva hapal betul siapa orangnya. Dan benar, teriakan itu milik gadis yang khas dengan ke-medokan-nya siapa lagi kalau bukan Keisya.
"Kita terlambat banget, yah, Ziv?" tanya Ainun tidak keenakan.
"Udah beruban nih rambut gue," balas Ziva hiperbola.
"Mana?" tanya Keisya sambil mengacak rambut Ziva mencari uban yang Ziva katakan barusan. Kontan Ziva menyingkirkan tangan Keisya dengan geram. "Cuma perumpamaan Kei. Haish, itu otak sering disiram mecin plus royko makanya ciut!" omel Ziva, yang membuat Keisya mencebikkan bibirnya.
"Yah maaf," ucap Keisya sambil mengambil posisi duduk di samping Nuca. Gadis itu senyam-senyum tidak jelas saat melihat sang pujaan hati.
"Ziv gue duluan yah, si Wisnu ngajakin mabar nih. Eh Nun, Kei, gue duluan yah," pamit Nuca yang membuat Keisya sebal.
"Baru kusadari ... cintaku bertepuk sebelah tangan...." Ziva bernyanyi dengan maksud memperolok Keisya.
"Masuk pak Ekoo!!!" seru Ainun yang makin memperkeruh rasa nelangsa di dalam dada Keisya.
Ainun pergi memesankan kopi sedangkan Keisya masih dalam mode sebal.
"Tenang Kei, seiring berjalannya waktu dia pasti tahu."
"Tahu apa?" tanya Keisya serius. Gadis itu mendekatkan telinganya ke arah Ziva.
"Tahu kalo cinta lo bertepuk sebelah tangan!" ucap Ziva lalu tertawa terbahak-bahak. Kontan tawa yang menyembur dari bibir Ziva membuat Keisya semakin sebal.
"Aku pulang nih!" ancam Keisya.
"Silakan ..., lagian lo cuma nambahin beban aja pas ngumpul. Udah minta traktir, main cacing mulu," sahut Ziva santai.
Keisya cengengesan. "Hehe, jangan gitu dong," katanya.
Ainun kembali dengan 2 cup ice mochachinno di tangannya. Ia duduk di sebelah Ziva dan siap mendengarkan cerita Ziva yang menggantung tadi malam.
"Jadi gimana ceritanya, Ziv?" tanya Ainun yang sudah mati penasaran. Keisya pun memasang telinganya baik-baik dan siap mendengarkan.
"Gue nikah minggu depan," jelas Ziva nelangsa.
"APA!!! JADI BENERAN?!" teriak Ainun dan Keisya berbarengan. Bedanya adalah entah ditiup angin puting beliung dari mana, Keisya terjatuh dari duduknya sangking syoknya mendengar pernyataan Ziva.
"Lo nggak apa-apa Kei?" tanya Ainun sambil membantu gadis itu berdiri. Semua pengunjung menjadikan mereka pusat perhatian sedangkan Ziva, menutup matanya karena malu punya teman macam Keisya yang memiliki tingkat ke-lebay-an di ambang batas normal.
"Lo nggak bercanda kan, Ziv?" tanya Ainun memastikan.
"Menurut lo?" Ziva balik bertanya.
Keisya dan Ainun menyapu penampilan Ziva dari ujung kepala ke ujung kaki. Lingkaran hitam di mata gadis itu di tambah dengan wajah lesunya membuat mereka percaya bahwa ucapan Ziva bukanlah candaan. Gadis itu pasti tidak bisa tidur dan pernikahan ini pasti bukanlah kemauannya.
"Ziv, please jadi diri lo sendiri. Lo bisa nolak, kok. Dan gue yakin bunda lo bakal dengerin," kata Ainun yang ikut merasakan perasaan Ziva saat ini.
"Iya Kak," sahut Keisya.
"Minggu depan gue udah jadi istri orang, entah gimana nasib gue."
"Tenang Ziv, usia lo masih muda. Lo emang menikah, tapi tidak menutup kemungkinan buat lo seneng-seneng jadi diri lo sendiri. Lo masih bisa nge-band, nongkrong, jalan-jalan sama kita. Kapan pun lo mau kita siap," ucap Ainun yang membuat Ziva terharu. Ainun dan Keisya bergerak merangkul Ziva.
"Mumpung masih ada waktu sebelum lo dipingit, kuy lah kita keliling mall, karaokean, gila-gilaan," ajak Ainun.
***
Sore yang menyenangkan. Ziva, Ainun dan Keisya mengelilingi mall, mencuci mata dan membeli beberapa barang. Setelahnya mereka menggila di fun city. Menghabiskan uang untuk membeli koin dan mencicipi semua permainan sampai puas. Setelah itu mereka ke tempat karaoke.
Ziva bernyanyi dengan semangat, lompat-lompat tidak jelas bahkan saat lagu sedih pun gadis itu masih melompat-lompat. Awalnya Ainun dan Keisya ikut serta menemani gadis itu bernyanyi namun, lama-kelamaan mereka menyadari sesuatu, bahwa sejak tadi Ziva menangis. Betapa air mata itu terasa sangat menyakitkan untuk mereka.
"Ziv," panggil Ainun pelan, namun tak ada jawaban dari Ziva. Gadis itu masih sibuk bernyanyi sambil berjoget. Jelas membuat Ainun dan Keisya makin merasa iba.
"Ziv!" Ainun menaikan volume suaranya, ia menarik Ziva lalu memeluknya. Keisya pun ikut menghambur ke pelukan Ziva dan Ainun dengan air mata yang ikut jatuh.
"Gue harus gimana Nun, Kei? Gue kangen Papa. Papa pasti belain gue dan nggak akan setuju sama pernikahan konyol ini."
TBC