Tidur siang hanya sebuah ritual, pengantar netra menyambut senja. Meski hanya beberapa menit, tapi serasa berjam-jam. Waktu memang terkadang jauh lebih cepat berputar dibanding roda kehidupanku yang seakan jalan di tempat.
''Vivo ... apa kau sudah siap?''
''Sudah.''
Aku sudah tak sabar. Ingin belajar mengendarai sepeda motor. Bersama Bang Sam yang menjadi mentor.
''Ayo, kita cari tempat yang lapang!''
''Oke!''
Aku dan Bang Sam berkeliling wilayah pedesaan, hingga kami tiba di sebuah lapangan. Tempatnya agak sunyi. Hanya ada binatang ternak yang sibuk mencari makan, mengunyah reremputan yang menguning.
''Kita latihan di sini saja, ya, Vo.''
''Iya, kurasa tempat ini sangat cocok buat latihan.''
''Oke ... kalau gitu, kita ganti posisi.''
Aku mengambil alih kemudi. Bang Sam duduk di belakang mendampingi.
''Fokuskan pandanganmu, Vo ...''
''Baik!''
''Hal pertama yang harus kamu perhatikan, masukan kunci motor, lalu putar ke posisi netral. Lihat di layar monitor, lampunya akan menyala warna hijau!''
''Oke ...''
''Rilekskan posisi tubuhmu senyaman mungkin!'' Bang Sam mengatur tubuhku sedemikian sehingga tubuhku tidak tegang. Saat itu aku jadi merasa deg-degan. Bukan karena takut, tapi karena sentuhan tangan Bang Sam membuat tubuhku bergetar. Mendadak panas dingin seperti orang yang sedang meriang.
''Letakan kedua tanganmu pada stang!'' Bang Sam menuntun tanganku untuk berpegangan pada masing-masing stang. Duh ... arahan tangan kekar Bang Sam benar-benar membuat hatiku berdesir. Jadi salah fokus. Jantungku ketar-ketir. Seolah ada sambaran petir.
''Di stang kiri ada rem roda belakang. Di stang kanan terdapat rem roda depan dan juga handle gas.'' Bang Sam menunjukan posisi masing-masing nama bagian itu.
''Perhatikan handle gas. Ini bisa ditarik atau diputar kedepan dan kebelakang. Fungsinya untuk mengendalikan kecepatan laju kendaraan.''
''Oke ...''
''Lihat ke depan. Itu ada tombol start. Tekan tombol tersebut bersamaan dengan menarik rem roda depan jika kau hendak menyalakan mesin motor, paham?''
''Iya ... aku mengerti.'' __Aku hanya tidak mengerti mengapa ada perasaan aneh saat telapak tangan Bang Sam menyentuh tanganku.
''Setelah mesin motor menyala, tarik handle gas perlahan-lahan hingga kendaraan ini bergerak. Ingat pelan-pelan saja!''
''Baik ...'' Aku mengangguk-angguk.
''Oke, gampang 'kan? Karena untuk selanjutnya kamu bisa mengendalikan sepeda motor ini seperti kau naik sepeda biasa. Yang perlu kamu perhatikan hanya mengatur kecepatan gas dan rem saja.''
''Iya ... gampang!'' __Yang sulit mengusir perasaan ini dari dalam hatiku.
''Nah, sekarang kamu coba!''
Aku pun mengikuti semua prosedur yang diintruksikan Bang Sam. Dan tanpa kendala apa pun aku bisa langsung menggerakan sepeda motor ini.
''Pelan-pelan!'' komando Bang Sam saat motor ini mulai berjalan.
''Rasakan dan kenali permukaan jalan. Bila kau merasa jalanannya halus dan rata, kamu boleh menambah kecepatannya!''
''Ya, Bang ...'' __Tak ada jalanan yang halus dan rata, Bang ... aku merasa jalanan ini berkelok dan berliku-liku. Berlubang dan penuh rintangan.
''Tarik rem pelan-pelan. Jangan mendadak bila kau menjumpai jalanan bergelombang!''
''Siap!'' __Gelombang asmara yang terpancar dari tubuhmu lebih menghanyutkan, Bang. Sungguh, aku tak dapat mengendalikannya.
''Kau cepat sekali menyerap tutorial yang saya ajarkan, Vivo ... kamu memang anak yang cerdas!''
''Hehehe ...'' Aku hanya terkekeh mendapat sanjungan dari orang yang kukagumi. Hatiku gembira, riang tak terkira sambil memutari lapangan ini dengan sepeda motor. Merasa bangga. Karena sekarang aku bisa mengendarai kendaraan bermotor.
__Aku akan jadi idiot, ketika mengidolakan ayah tiriku yang perwujudannya seperti Bang Sam.

Ini adalah senja terindah yang pernah aku saksikan. Menghabiskan waktu bersama laki-laki yang penuh daya pesona. Tak hanya belajar mengendalikan sepeda motor. Akan tetapi juga belajar mengatur napas saat aku berdekatan dengan orang yang kusuka. Memusnahkan nafsu yang datang memburu. Memecah pikiran sempit yang menghimpit jiwa. Serta mengaburkan perasaan yang menghantui raga.
''Vivo ... apa warna favoritmu?'' ujar Bang Sam saat kami dalam perjalanan pulang karena hari menjelang waktu maghrib.
''Biru ...'' jawabku.
''O, ya? Sama dong, saya juga suka warna biru. Kenapa kamu suka warna biru, Vo?''
''Karena biru itu menenangkan. Seperti laut dan juga langit.''
''O, gitu.''
''Iya ... biru juga melambangkan harapan ...''
''Emang apa harapan kamu sekarang, Vo?''
__Aku mengharapkan hidup bersamamu, Bang!
Tidak! Itu bukan jawabanku, walaupun hati nuraniku ingin berkata seperti itu.
''Harapanku ... aku ingin membahagiakan Ibuku.''
''Sama dong! Saya juga ingin membahagiakan Ibumu.''
''Hehehe ...'' Aku dan Bang Sam tertawa bareng.
__Apa kau juga ingin membahagiakan anaknya?
Hahaha ... pertanyaan yang terlalu bodoh.
''Vivo ... saya rasa kita memiliki banyak persamaan, ya?''
''Ya, kurasa begitu.'' __Mungkin kita berjodoh. Jodoh yang tertunda.
Kami jadi terdiam beberapa saat.
''Bang, terima kasih, ya ...'' celetukku.
''Terima kasih untuk apa?''
''Karena kau sudah mengajarkan aku semua ...''
''Hahaha ... tidak perlu sungkan. Jika kau membutuhkan sesuatu, kau bisa mengandalkan saya!''
__Aku memang butuh kamu, Bang. Butuh kasih sayangmu. Butuh belaianmu. Butuh pelukanmu. Butuh nasihatmu. Butuh tubuhmu. Butuh semua yang ada pada dirimu.
Tanpa sadar aku menjatuhkan kepalaku di punggung Bang Sam. Aku memejamkan kedua mataku dan merasakan kenyamanannya.