''Vivo ... Vivo Noviandro!''
Suara berat Bang Sam terdengar lamat-lamat di kupingku. Aku langsung terperanjat dari keterpekuran. Memandang lalu lalang kendaraan di jalanan.
''Rupanya kau ada di sini, Vo ...'' ujar Bang Sam saat ia menemukanku.
Sejak keluar dari ruang ganti, aku memang sengaja pergi ke luar gedung pusat kebugaran itu. Duduk di sini. Di tepian jalan. Mencari angin segar. Menjernihkan pikiran dari pengaruh buruk tontonan yang keruh. Aku masih tak percaya, kalau aku habis menyaksikan hubungan seksual antara laki-laki dengan laki-laki. Hubungan cinta terlarang lewat liwat yang sesat.
''Iya ...'' Aku mendongak ke arah Bang Sam. Aku melihat ia sudah rapi. Mengenakan pakaian biasa. Kaos oblong polos putih yang dibalut jaket bomber warna biru. Mungkin ia sudah selesai memberikan arahan pelatihan pada klien-kliennya.

''Sorry, sepertinya kau kurang tertarik dengan kegiatan nge-gym ya, Vo?'' Bang Sam mendekati aku, dengan lembut ia menyentuh bahuku dan mengusapnya perlahan-lahan.
''Eh, bukan ... bukan begitu, Bang ...'' sanggahku buru-buru, ''aku suka melihat orang yang nge-gym ...'' lanjutku.
''Terus ... kenapa kamu keluar?''
''A-aku ... Cuma ingin menyegarkan pikiranku.''
''Apa ada yang membuatmu tidak nyaman?''
''Hehehe ... sedikit.''
''Ceritakanlah pada saya, Vo?''
''Ah, itu bukan suatu masalah yang besar, kok ... aku bisa mengatasinya.''
''Vivo ... jika kau mendapatkan suatu masalah, tak usah segan pada saya. Cerita saja, saya akan berusaha membantumu. Percayalah!''
''Iya ... aku percaya.''
Mataku dan mata Bang Sam saling berpandangan. Memberikan sinyal jeratan yang tak mampu kujelaskan terjemahannya. Di matanya seolah ada pelangi yang memberikan sejuta warna. Namun aku tak melihat ada warna biru di sana. Warna harapan.
''Kita pulang, yuk! Ibumu pasti sudah menunggu kita di rumah ...''
''Oke ...''
Bang Sang mengusap lembut pipiku, kemudian ia berjingkat menuju ke sebuah tempat di mana motornya terparkir. Sejurus berikutnya ia langsung menunggangi motornya tersebut. menyalakan mesinnya. Dan melajukannya.
''Vivo, come on, Beib!'' pekik Bang Sam memberikan kode dengan mengangkat tangannya tinggi-tinggi.
Aku pun berlari menghampirinya, lalu dengan sigap aku meletakan pantatku di jok belakang motornya. Berpegangan pada pinggang Bang Sam dan sedikit merapatkan tubuhku ke punggungnya. Dan tak lama kemudian, motor pun berjalan.
Selama kendaraan roda dua ini melaju di jalanan kami terdiam. Bang Sam fokus mengendalikan sepeda motornya, karena kondisi jalanan yang bergelombang serta pencahayaan lampu jalan yang terlalu remang-remang. Aku sendiri masih termangu, membayangkan kejadian di toilet ruang ganti pusat kebugaran tadi. Bagaimana mungkin ada orang yang memiliki nyali sebesar itu. Bermain api cinta di area yang masih dibilang tempat umum. Apakah mereka mengabaikan privasinya sendiri. Aku tak bisa membayangkan bila seandainya mereka terpegok sama orang yang jahil. Orang itu merekamnya dan menyebarkannya ke media sosial. Atau yang lebih parahnya ia mencyduk dan melaporkannya ke pihak yang berwajib? Mereka pasti akan malu, bukan? Karena aibnya akan terbongkar dan jadi konsumsi publik.
JEDERRRRRRR!!!
Tiba-tiba terdengar suara guntur yang diiringi dengan cahaya kilat yang menyilaukan. Aku dan Bang Sam tersentak kaget. Tanpa aku sadari aku memeluk tubuh Bang Sam dengan sangat erat. Erat sekali. Aku mendadak ketakutan. Jantungku berdegup sangat kencang. Bagai bunyian gendang.
Selang tak seberapa lama, hujan pun turun dengan derasnya. Karena perjalanan masih jauh, aku dan Bang Sam terpaksa berteduh di sebuah gubuk yang terdapat di pinggir jalan di area perkebunan bunga melati.

''Kenapa hujan datang tiba-tiba ... padahal tak diundang,'' gerutu Bang Sam sambil menyanggahkan sepeda motornya.
''Daritadi langit sudah mendung, Bang ...'' timpalku.
''O, ya ...''
JEDERRRRRRRRRR!!!
Terdengar suara guntur lagi. Keras sekali. Mengiringi titik-titik air hujan yang semakin deras. Seperti air bah yang tumpah dari langit. Angin pun turut berhembus kencang. Meniupkan udara dingin hingga menusuk tulang. Aku jadi menggigil. Tubuhku gemetaran. Gigiku gelatukan. Seperti suara angklung yang digoyangkan. Napasku juga mendadak sesak seakan terserang asma.
''Vivo ... kamu kedinginan?''
Aku mengangguk pelan.
Bang Sam melepaskan jaket bomber-nya, ''Pakai ini!'' ujarnya sembari melingkarkan jaket tersebut ke punggungku.
''Terima kasih, Bang.''
''Semoga kau lebih nyaman memakai jaket itu.''
''Iya, Bang ... bagaimana dengan kau sendiri?''
''Tidak apa-apa, saya sudah terbiasa terbuka ... kau tidak perlu memikirkannya!''
Aku jadi terdiam. Merasa terharu dengan pengertiannya. Namun sayangnya jaket ini tak cukup menghalau rasa dingin di tubuhku. Aku masih saja terserang hawa dingin yang menggigilkan sekujur ragaku.
''Ya, Tuhan ... kau masih saja menggigil begitu, Vo?''
''I-iya ... Ba-Bang ....''
Bang Sam memandangku dengan tatapan yang penuh dengan kecemasan. Kemudian dengan tangkas dia mendekati aku, lalu tanpa ragu laki-laki bertubuh kekar ini memelukku dengan sangat erat. Hingga hawa panas yang terpancar dari tubuhnya menjalar ke permukaan sekujur kulit tubuhku. Beberapa saat kemudian rasa dingin itu berangsur-angsur menghilang dan berganti dengan kehangatan yang begitu nyaman.

"Bagaimana, Vo ... Apa kau masih merasa dingin?"
"Tidak, ini terasa lebih hangat."