Kala itu ulang tahun Ameera yang ke 14. Semua teman sekelas di SMP diundang, termasuk Laras. Ameera merayakan pesta ulang tahunnya di rumah. Laras datang sedikit terlambat sore itu, dia baru selesai les bahasa Inggris, tidak boleh bolos, kalau tidak pasti ibunya akan marah besar kalau tahu dia bolos.
Dengan langkah setengah berlari Laras menuju kompleks perumahan Amerta. Sampai disana, beruntung semua temannya masih ada di rumah Ameera. Mereka baru saja akan tiup lilin.
"Laras!" panggil Ameera, setengah berteriak. Gadis itu langsung batal meniup lilin ulang tahunnya.
"Sini" panggilnya.
Laras mempercepat langkahnya. Dia masih memakai seragam SMP nya. Peluh membasahi keningnya setelah berjalan cepat tadi.
"Sori,,telat," ucap Laras, sambil menyeka keningnya yang berpeluh.
"Enggak apa, seneng, akhirnya datang," balas Ameera, senyumnya mengembang saat melihat teman sebangkunya ini.
"Ini..selamat ulang tahun," ujar Laras, sambil menyerahkan bungkusan kado yang sudah disiapkannya. Laras berusaha merapihkan pinggiran bungkusan kado yang terlihat kusut karena dimasukkannya ke dalam tas.
"Sori, lecek ya," ucap Laras, tersenyum malu, sambil menggosok-gosok ujung bungkusan kado itu, berharap sedikit lebih baik.
"Enggak papa kali Ras,".
"Kita mulai acara potong kue nya yuk, Meer, nanti kemaleman ini teman-teman kamu pulangnya kalau kelamaan " potong Tante Asri.
"Iya Ma," balas Ameera.
Acara potong kue pun dilanjutkan, Laras mendapat potongan kue ke empat dari Ameera.
"Ras, main piano dong," ucap Ameera.
"Hmmm?" Laras melongo. Dia memang lumayan bisa memainkan piano, tapi main didepan teman-temannya, dia tidak terlalu percaya diri.
"Iya, buat hiburan, nanti gue yang nyanyi, setuju ga teman-teman?" tanya Ameera pada teman-temannya.
"Lagu apaan?" tanya Laras panik, setengah berbisik. Semua orang suka memandangi Laras.
"Hmmm..apa aja deh suka-suka lu," ucapnya cepat. Gadis itu segera berjalan menuju piano disudut ruangan, dan membuka tutup piano setelahnya Ameera langsung memandang ke arah Laras.
Laras melangkah dengan malas, kepalanya mencari-cari lagu apa yang akan dia mainkan.
"Meer, lagu Frank Sinatra yang fly me to the moon ya," bisik Laras. Itu lagu yang cukup mudah dimainkan, pikirnya.
"Ya ampun Ras, kagak ada yang lebih tuaan apa?" tanya Ameera setengah melongo.
"Udah, itu yang paling gampang," ucap Laras dengan serius.
"Bentar gue cari liriknya," Ameera dengan cepat langsung mencari liriknya dengan BlackBerry nya. Sambil menunggu Ameera, Laras terlebih dulu memainkan lagu intro untuk lagu itu, setelah itu dia melirik Ameera untuk melihat apa temannya itu sudah siap dengan liriknya. Ameera membalas dengan anggukan. Setelah itu mereka berdua pun memulai duet mereka.
Setelah selesai semua orang bertepuk tangan, termasuk Amar. Laras sedikit tersipu melihat respon semua orang. Lalu beberapa saat setelah itu beberapa temannya memintanya untuk kembali bermain lagu-lagu lain permintaan mereka.
Semua teman sekelas Laras dan Ameera sudah meninggalkan rumah Ameera, kecuali Laras. Saat ini Laras membantu Ameera dan Tante Asri untuk membereskan sisa peralatan makan di dapur.
"Ras, pulangnya setelah magrib aja ya, biar kamu enggak ketinggalan magrib," ucap Tante Asri sambil mengambil gelas-gelas kotor yang dibawa Laras.
"Iya Tante, " jawab Laras, patuh. Keluarga ini memang sudah seperti keluarganya sendiri.
"Nanti Amar aja yang anter Ma," sambung Amar, datang dari arah depan menuju dapur.
"Beneran enggak apa?" tanya Tante Asri kepada Amar.
Amar mengangguk.
"Enggak apa kan Ras?" tanya Amar sambil memamerkan senyum manisnya, yang membuat Laras berdebar-debar.
"Iya, enggak apa Tante," jawab Laras pelan.
Setelah membereskan peralatan makan dan sholat magrib, Laras pun pulang. Dia berpamitan kepada orang tua Laras. Sementara Amar sudah berada diatas motor.
"Yuk," ajak Amar. Memberikan jaket kepada Laras.
"Pakai ini, sweater kamu tipis banget itu," ucapnya.
"Iya," jawab Laras pelan, masih berusaha menenangkan debaran jantungnya. Jantungnya selalu berdebar tidak karuan setiap kali berada didekat Amar.
Setelah Laras naik, Amar melajukan motornya. Baru beberapa ratus meter mereka berkendara, Amar membelokkan motornya ke arah taman di kompleks perumahan itu.
"Berhenti disini bentar ya Ras, ada yang perlu aku bicarain," ucap Amar setelah mematikan motornya. Lalu mengajak Laras turun.
"Ada apa?" tanya Laras, ketika mereka berdua sudah duduk di bangku taman.
"Ras, aku mau nanya sesuatu," balasnya.
"Apa kak?" tanya Laras, perasaannya semakin tidak karuan.
"Emm.. mau nanya.. kamu mau enggak..kalau jadi pacar aku?" tanya Amar dengan ragu-ragu.
"Pa..pacar kak?" tanya Laras, perutnya mendadak terasa sedikit mulas karena gugup.
"Iya, Ras, aku.. aku ..aku suka sama kamu Ras, apa kamu mau jadi pacar aku?" tanya Amar lagi.
"Emm.. aku.." Laras terdiam sebentar.
Amar menunggu dengan sabar.
"Aku ..aku mau kak," jawabnya malu-malu.
"Makasih Ras," jawab Amar sambil memegang erat kedua telapak tangan Laras yang dingin.
"Dingin banget tangan kamu," Amar spontan menggosokkan tangannya ke tangan Laras.
Laras diam tidak berani menjawab. Jantungnya terasa sudah mau meledak.
"Kamu gugup ya?" tanya Amar lagi. Laras hanya menunduk, semakin malu.
"Ya udah, ayo pulang, pakai jaketnya yang bener ya," ucap Amar sambil merapatkan jaketnya yang dipakai Laras. Lalu mereka berdua kembali menaiki motor menuju rumah Laras.
Laras tersenyum pahit setiap kali mengingat hari itu. Kala itu dia merasa bahagia sekali. Itu pertama kalinya dia menyukai seorang lelaki, dan beruntung karena lelaki itu juga menyukainya. Mereka berpacaran sekitar tiga tahun. Sampai pada suatu hari, saat Laras juga baru menerima kabar kalau ibunya baru mendapat kabar kalau kemungkinan besar menderita kanker, saat itu juga Amar memutuskannya. Hari itu adalah hari terberat di hidup Laras yang saat itu bahkan belum genap 17 tahun.