Chereads / Life in The Apocalypse / Chapter 2 - Rahasia Kakek Lu

Chapter 2 - Rahasia Kakek Lu

Xiao Jing sekarang tidak suka naik baby walker lagi. Tiap kali Mei Xin menaruhnya di sana, ia selalu berusaha memanjat keluar yang mana membuat hati Mei Xin tidak senang. soalnya, setelah memanjat baby walkernya, Xiao Jing -jika tidak ketahuan Mei Xin- selalu berakhir benjol dan luka memar di sana sini. Xiao Jing memang nakal. Tidak kapok, meski sudah sering terluka saat ia melakukan eksperimen atau sedang mengeksplor diri. Akhirnya -demi keamanan dan kesejahteraan Xiao Jing-, Mei Xin membiarkan Xiao Jing merangkak, berkeliaran ke setiap sudut rumah.

Pagi menjelang siang, Mei Xin sudah selesai mengurus usaha pertanian hidroponiknya. Setelah panen buah strowberry bulan lalu, Mei Xin menggantinya dengan tanaman sayur-sayuran yang cepat tumbuh seperti tomat dan selada. Pekerjaannya tidak terlalu banyak hanya memastikan tanaman tidak diserang penyakit, tidak layu ataupun kekurangan nutrisi. Ia juga memeriksa sirkulasi instalasi hidroponiknya berjalan lancar. Nutrisi untuk tanaman cukup.

Setelah mengurus pertanian hidroponiknya, Mei Xin tidak pergi ke sawah. Padi pada masa ini sudah muncul bulir-bulirnya dari helai tangkainya. Tinggal menunggu menguning dan siap panen. Tugas Mei Xin hanya mengawasinya sesekali untuk memastikan padi tidak diserang hama wereng, tikus, ataupun burung pipit. Itu biasanya ia kerjakan di sore hari saat matahari tidak terlalu bersinar terik di atas sana.

"Sip. Beres. Sekarang tinggal main bareng Xiao..." Mei Xin mengedip-kedipkan kelopak matanya. Tadi adiknya sedang main di sudut ruangan, tapi sekarang kok tidak ada. Kemana bocah itu?

"Xiao Jing!" Panggil Mei Xin dengan suara lembut. Ia mencari-cari balita gembul yang menggemaskan itu ke seluruh penjuru rumah, tapi tidak ketemu.

Setelah mencari-cari, akhirnya Mei Xin menemukan adiknya di sudut terpencil di dalam kamar mendiang ayah-ibunya. Kata ibu, kamar ini dulunya kamar kerja kakeknya sebelum diubah menjadi kamar pribadi. Sedangkan kamar yang ditempati Mei Xin, dulunya kamar pribadi kakek dan nenek. Kenapa Mei Xin tidak tinggal di kamar ibunya saat masih gadis, itu karena kakek terlanjur mengubah kamar ibunya dan menyatukannya dengan ruang keluarga agar lebih luas.

Mei Xin melihat adiknya sedang berdiri tegak dengan bantuan dinding. Tangan gemuknya sibuk mencakar dan mencukil ukiran kayu pada dinding. "Xiao Jing, kakak cari kemana-mana. Eh, tidak tahunya di sini. Xiao Jing sedang apa?" tanya Mei Xin sambil menghampiri adiknya secara perlahan.

Adiknya menoleh dan bergumam, "Aah mmm....." dengan bahasa bayi yang tidak bisa dimengerti oleh Mei Xin yang mana membuat keduanya sulit berkomunikasi.

Mata Mei Xin menangkap bercak darah di tangan adiknya. "Astaga! Xiao Jing. Kamu terluka?" Ia buru-buru meraih adiknya dalam pelukannya untuk memeriksa tangan adiknya.

Sibuk dengan adiknya membuat Mei Xin gagal memperhatikan perubahan pada ukiran naga di dinding.

Mata pada ukiran di dinding yang berada di tempat yang rendah yang bisa dicapai Xiao Jing tampak bersinar. Grakk.. Graakk...! Ukiran ular naga lalu bergerak berputar. Awalnya perlahan dan kemudian semakin cepat dan cepat. Pada saat itulah Mei Xin baru menyadari keganjilan ini. Wajahnya melongo menatap fenomena ganjil ini.

Ukiran naga berubah posisi. Sebelumnya posisinya ular bergelung dengan kepala rebahan menjulur ke bawah. Sekarang masih dengan posisi bergelung, akan tetapi kepala berdiri tegak menatap sangar keduanya. Diantara sisik berwarna keemasan milik sang naga ada satu bagian yang menonjol.

Mei Xin yang penasaran menekan sisik emas yang menonjol. Dinding kembali bergerak. Tubuh Mei Xin berguncang akibat pergerakan cepat pada dinding. Ia hampir saja limbung dan jatuh ke tanah kalau saja ia tidak dengan sigap menstabilkan keseimbangan tubuhnya. Ruangan masih berguncang seperti getaran gempa bumi sedang melanda. Setelah berguncang hebat, dinding membuka memperlihatkan sebuah ruangan nan gelap beserta anak tangga ke bawah.

"Ya Tuhan!" Seru Mei Xin. Ia memang sudah berharap dengan adanya kotak rahasia dibalik dinding, tapi ia masih tidak bisa mengantipasi adanya ruangan rahasia di sebuah rumah sederhana milik keluarga petani.

Mei Xin tidak begitu mengenal keluarga kakek dari pihak ibu selain informasi sekedarnya. Kakek dan nenek Lu sudah meninggal jauh sebelum Mei Xin lahir ke dunia ini. Ia mengenal kakek dan nenek Lu hanya berdasarkan pada foto tua dan sudah mulai pudar warnanya. Neneknya seorang petani murni, tapi kakeknya -Mei Xin curiga- tidak. Kakeknya memiliki wajah dan perawakan sederhana seorang petani turun temurun. Tapi, sorot matanya yang tegas dan berkilau cerdas memberi udara yang mulia yang tidak cocok dengan citranya sebagai petani.

Mei Xin dulu membayangkan jikalau kakeknya memiliki silsilah dari keluarga tua dan rahasia milik klan tua di Tiongkok yang terus bersembunyi karena satu dan lain hal. Akan tetapi setelah melalui serangkaian penyelidikan amatirnya soal silsilah kakek Lu, ia mendapati fakta bahwa kakek Lu murni seorang petani sederhana yang bisa ditelusuri hingga tujuh turunan. Jujur ia kecewa dan akhirnya menguburkan kecurigaannya ke dalam kotak waktu.

Sekarang dengan penemuan kamar rahasia ini, dugaan yang awalnya ia singkirkan menyeruak ke permukaan. Hatinya berdebar-debar mengantisipasi. Ia tak sabar untuk menyingkap rahasia besar kakek Lu. Siapa sebenarnya kakek Lu?

Sreet.. srett..

Suara lutut diseret menyentakkan lamunan Mei Xin. Ia menunduk melihat bagaimana tubuh embul di bawah sana dengan gembira merangkak menghampiri ruang rahasia. Ia pun buru-buru meraih Xiao Jing yang sudah merangkak siap menjelajah untuk menyingkap tabir rahasia dunia versi bayi.

Xiao Jing tentu saja tidak senang dengan ulah kakaknya yang mendekapnya erat, mencegah rencana penjelajahannya. "Aaah... aaah!" Raungnya tidak terima. Tubuh mungilnya meronta-ronta kuat. Kedua kaki dan dan tangannya menendang tubuh kakaknya yang mengurungnya berharap kakaknya membebaskannya.

"Xiao Jing, patuh!" Mei Xin mengatakannya dengan tegas.

Xiao Jing tidak memahami banyak kata, tapi ia cukup mengerti kata patuh. Saat kakaknya bilang patuh, berarti kakaknya ingin ia berperilaku baik. Jika tidak patuh...? Acara pendisiplinan ala keluarga Li berlaku. Xiao Jing bimbang, antara patuh ataukah menuntaskan rasa ingin tahunya.

Xiao Jing memasukkan tiga jarinya sambil merenung. Ia ingin patuh tapi... seperti godaan ingin tahunya lebih tinggi daripada rasa takutnya. Ia kembali meronta. "Aaah...."

"Xiao Jing, jangan! Kakak masih belum memastikan di sana aman. Bagaimana kalU di dalam kerajaan tikus?"

"Aaah .."

"Kamu tidak takut?"

"Ah, kakak juga. Jadi, karena tidak ada satupun dari kita yang takut, bagaimana kalau kita turun bersama?" Mata Mei Xin berkilat jahil.

Kelopak mata Xiao Jing bergerak, berkedip-kedip bingung. Kepalanya yang bulat seperti bola tampak seperti menempel langsung dengan tubuh karena pendeknya ukuran lehernya ditelengkan ke samping.

Mei Xin gemas dengan tingkah adiknya yang lucu. Tak tahan dengan dosis manis yang over dosis, Mei Xin mengulurkan cakar jahatnya untuk mencubit pipi tembem Xiao Jing yang menyerupai bakpao.

Xiao Jing marah karena rasa nyeri di pipinya. "Aaah...!" raungnya tidak terima.

Bukannya menjauhkan tangannya, Mei Xin justru lebih semangat melecehkan adiknya. Tangannya turun dan menggitiki adiknya hingga ia kegelian. Akhirnya ia mengakhiri pelecehannya dengan mencium pipi Xiao Jing. "Mumpung masih pagi, yuk kita selidiki bersama." katanya.

Mei Xin membuat persiapan sebelum mulai memasuki ruang rahasia di balik dinding. Ia menggendong Xiao Jing di bagian depan dengan gendongan tipe kodok sehingga kedua tangan dan kaki Xiao Jing bisa bergerak bebas. Ia menyalakan lampu portabel yang bersinar terang menyorot seluruh ruang rahasia.

Ruangan rahasia itu berbentuk kotak ukuran 2 x 3 meter dengan kedalaman 7 meter dari permukaan tanah. Sebuah anak tangga dari semen menjulur hingga ke lantai yang diamankan dengan pegangan. Tangganya dibuat agak miring sehingga mengurangi tekanan gaya gravitasi.

Mei Xin menapaki anak tangga. Selangkah demi selangkah dengan tempo lambat. Di ujung tangga, Mei Xin melompat dari anak tangga terakhir. Ia melihat sebuah pintu dari kayu yang menempel di dinding. Tangannya membuka pintu. Bau apak bercampur bau basah menyapa gendang telinganya. Ia melongokkan kepalanya melihat lorong panjang yang bersinar temaram setelah disorot lampu. Di ujung cahaya di pertengahan lorong ada tiga pintu menempel pada dinding.

Mei Xin membuka pintu yang pertama dari kiri. Ruangan pertama cukup luas. Ukurannya 10 x 10 meter. Isinya deretan rak berisi buku-buku yang jumlahnya mungkin mencapai 10 ribu. Isinya sebagian besar tentang ensikopedia tanaman di seluruh dunia, anatomi makhluk hidup, dan kedokteran.

Menimbang dari koleksi perpustakaan pribadi kakeknya, mungkinkah kakeknya seorang praktisi medis atau berminat di bidang kedokteran?

Mei Xin mengerutkan dahinya lalu menggelengkan kepalanya untuk menegasikan hipotesa awalnya. Menjadi seorang dokter bukanlah sebuah kejahatan. Sebaliknya, itu sebuah profesi yang terhormat yang dihargai setiap kalangan masyarakat. So tidak mungkin hanya karena kakeknya seorang dokter, ia harus menyembunyikannya di dalam tabir kegelapan yang pekat. Terkecuali kakeknya seorang dokter pribadi orang berpengaruh di negara ini yang tanpa beliau sengaja melihat sebuah konspirasi tingkat tinggi dalam pusaran kekuasaan. Lalu, keberadaan kakeknya dianggap sebuah ancaman. Makanya beliau dikejar untuk dibunuh?

Mei Xin melihat-lihat lagi seluruh isi ruangan yang pertama. Melihat tidak adanya petunjuk yang penting, ia pun pindah ke ruang selanjutnya yakni pintu di bagian tengah.

Berbeda dengan ruangan pertama yang dipenuhi oleh rak, ruangan kedua sangat lapang. Tidak banyak perabotan. Ruangan hanya diisi oleh satu rak berisi tiga buku. Buku yang pertama dan kedua sangat tebal dan juga besar, ukuran folio yakni 30,5 × 48 cm. Buku ketiga sebaliknya berukuran standard seukuran buku tulis bergaris yang digunakan para pelajar secara umum yang tidak menarik dan juga tipis.

Mei Xin mengambil buku yang pertama. Judul buku yang pertama dan kedua saling kompatible. Buku yang pertama tentang ensiklopedia ramuan herbal yang banyak diantaranya sudah punah alias tidak ada lagi di dunia ini atau mungkin ada hanya keberadaannya sangat langka sehingga tidak berlebihan jika disebut punah. Buku kedua berisi ramuan herbal untuk berbagai macam penyakit dari yang biasa hingga yang ajaib di luar dugaan manusia modern, dari yang ringan hingga yang terberat. Ada yang berupa ramuan cair, berbentuk pil, atau salep untuk penggunaan luar. Semuanya lengkap.

Mei Xin terkesiap dengan penemuan ini. Hatinya hampir tidak siap menerimanya. Ditilik dari buku ini, akhirnya teka teki soal identitas kakeknya terkuak. Kakek Lu bukan seorang praktisi medis biasa. Beliau seorang praktisi medis tradisional yang mendalami pengobatan tradisional China kuno. Warisannya lebih tua daripada umur negara RRC itu sendiri. Ini adalah pengetahuan leluhur yang sudah ada sejak zaman dinasti kerajaan masa lampau. Sangat tua dan juga sangat berharga yang tidak terbeli oleh tumpukan uang kertas dolar Amerika.

"Ini hebat," gumam Mei Xin dengan hati yang membuncah oleh rasa bangga karena dalam darahnya mengalir darah orang hebat.

Mei Xin pindah ke buku yang terakhir. Buku ketiga ternyata buku harian kakeknya. Tidak banyak halaman yang terisi, namun cukup informatif memberi tahunya alasan kenapa kakeknya bersembunyi sangat dalam.

5 Juli 20xx

Seumur hidupku aku hanya memiliki dua penyesalan. Penyesalan pertamaku adalah aku tergoda untuk mengulurkan tanganku pada mereka, meskipun aku tahu tak ada hal baik yang menungguku saat bersosialisasi dengan mereka. Tapi, godaan itu terlalu kuat hingga menghanguskan sisi rasionalku. Aku turun gunung dam berada diantara mereka untuk menyembuhkannya. Tak pernah ku sangka mereka lebih jahat dari perkiraanku yang semula. Mereka menyalah gunakan obatku untuk penelitian berbahaya mereka.

Untungnya aku berhasil mencuri data mereka dan menghancurkan sebagiannya. Aku berharap ini bisa membantu manusia agar peradabannya tidak hancur atau minimal memperlambatnya hingga kejahatan mereka bisa disingkap dan bencana kemanusiaan bisa dicegah.

Penyesalan keduaku tidak bisa menurunkan warisan pengetahuanku pada anak muridku atau bahkan keturunanku sendiri. Meski sangat ingin hingga darahku mengalir deras, aku tidak bisa melakukannya. Tidak bisa karena aku tahu itu akan memperingatkan mereka. Mereka yang memaksaku bersembunyi hingga ke lubang tikus.

Selesai.

Hanya itu yang ditulis oleh kakeknya. Rahasia besarnya.

Mei Xin berdiri kaku dengan mata terbelalak lebar karena syok. Ia sudah menebak-nebak rahasia kakeknya, option A, B, C, dan lain-lain akan tetapi ia tidak pernah menduga seberapa rahasianya rahasia kakeknya. Sangat dalam, gelap dan juga berlumpur.

Jika semua yang ditulis kakeknya benar maka bencana apocalypse seperti yang terjadi dalam mimpi panjangnya sangat mungkin terjadi. Itu berarti satu hal. Bencana. Ditulis dengan huruf kapital semua dan dibold. Yang lebih mengejutkannya, ia tidak menyangka kakeknya terkait dengan bencana tersebut.