Unedited
Brayden 3 Bulan ~
Belum hampir tiga jam Sarah memejamkan mata, suara tangisan kecil kembali terdengar memenuhi kamar Sarah dan Brandon.
Meskipun masih mengantuk, Sarah terkesiap dan sontak membuka matanya. Reflex, tubuh Sarah yang sedang berbaring, bergerak ingin bangun. Tapi, baru saja Sarah mengangkat tubuhnya, tangan Brandon dengan cepat mencegah Sarah.
"Biar aku aja. Kamu tidur gih" ujarnya pelan.
"Kamu yakin? Kamu kan juga belum lama sampai. Kamu gak capek?" tanya Sarah bimbang.
"Gak papa, kamu tidur lagi sana" jawab Brandon tersenyum meyakinkan Sarah.
Sekalipun capek, Brandon tidak menunjukan rasa capeknya itu di depan Sarah.
Bagaimana mungkin ia menunjukan rasa lelahnya itu. Sedangkan Sarah, setelah habis melahirkan, jangankan satu atau dua hari, dalam tiga bulan ini, Brandon yakin tidur Sarah tidak pernah nyenyak dan kurang. Sarah terlalu khawatir dengan Brayden.
Melihat wajah istrinya yang tampak kelelahan, Brandon merasa bersalah. Ia baru tahu kalau mengurus bayi itu ternyata tidak semudah yang ia bayangkan. Salut bagi perempuan-perempuan hebat yang adalah seorang ibu.
Dalam hati, Brandon berjanji ke depannya akan memperlakukan mami-nya lebih baik lagi.
"Bener?"
"Iya, yang. Beneran. Kamu tidur lagi aja. Biar aku yang urus Brayden. Lagian kantuk aku juga udah hilang gara-gara ulah anak kita ini" ujar Brandon tersenyum kecil lebih meyakinkan Sarah.
"Tapi kalo ada apa-apa dengan Brayden, kamu langsung bangunin aku, ya, yang" Sarah masih merasa sedikit khawatir.
"Iya, iya, yang. Nanti aku bangunin kamu kalo Brayden kenapa-napa"
Sarah akhirnya mengangguk setuju dan kembali membaringkan tubuhnya di kasur. Tidur.
Brandon kemudian mengecup dahi Sarah. Tanda terima-kasih Brandon karena Sarah sudah menjadi seorang ibu yang luar biasa bagi anak-anak mereka.
Hati Brandon menghangat saat menatap istrinya yang sudah tertidur. Tiba-tiba suara tangisan Brayden semakin mengeras. Dengan cepat di sibakan-nya selimut abu-abu tebal yang menutupi setengah tubuhnya dan bangkit berdiri.
Dengan hanya memakai celana pajama kotak-kotak berwarna merah dan hitam, Brandon berjalan cepat ke arah box bayi berbentuk keranjang yang letaknya di samping Sarah tidur.
Diangkatnya Brayden dari box bayi yang terbuat dari rotan itu, dan mulai mengendus pampers yang di pakai Brayden.
Brandon tidak mencium bau tidak enak yang biasa berasal dari kotoran bayi. Hanya bau minyak telon saja. Sambil berhati-hati, Brandon pun menggendong putra bungsunya yang baru berusia tiga bulan itu.
"Shhh... Cup.. Cup.. Cup" bujuk Brandon menenangkan Brayden yang masih menangis.
Takut mengganggu Sarah yang sudah terlelap, Brandon memilih keluar dari kamar mereka dan masuk ke dalam kamar Brayden.
Ya, Brayden memang memiliki kamar sendiri khusus untuknya. Tapi, berhubung Brayden masih tiga bulan, dan masih suka terbangun tengah malam. Sarah dan Brandon memutuskan bahwa Brayden lebih baik tidur di kamar mereka. Bersama dengan Sarah dan Brandon.
Alasannya, agar lebih praktis dan lebih memudahkan mereka mengawasi Brayden jika anak mereka itu menangis.
Mungkin setelah Brayden masuk empat, lima atau enam bulan, sudah tidak lagi sesering ini menangis, Brayden mungkin akan tidur di kamarnya sendiri.
Sembari menepuk-nepuk lembut punggung Brayden, Brandon mulai menina-bobokan Brayden dengan menyanyikan lagu favorit Brayson. Twinkle-twinkle little star.
Twinkle, twinkle, little star
How I wonder what you are
Up above the world so high
Like a diamond in the sky
Twinkle, twinkle little star
How I wonder what you are
Sepuluh menit kemudian. Brayden masih juga tidak berhenti menangis. Brandon jadi bingung. Tidak mungkin ia membangunkan Sarah.
"Brayden laper? Iya?" tanya Brandon memperhatikan wajah Brayden yang mirip ibunya.
Entah anaknya itu mengerti atau tidak dengan apa yang baru saja diucapkan Brandon, Brayden tiba-tiba diam dan mulai berbicara dengan bahasa bayinya.
"Aaa. Uu.. Aa.. Uu"
"Laper? Iya?" tanya Brandon sekali lagi memastikan.
"Aaa... Uu.. Aa.. Uu"
"Laper, nak? Jadi jagoan daddy, laper?" ujung bibir Brandon terangkat membentuk senyuman kecil.
Ternyata anaknya itu sedang kelaparan.
"Uu. Aa. Aa. Uu" Sekali lagi Brayden menjawabnya dengan bahasa bayinya.
"Pinter ya, anak daddy." Brandon mengangkat Brayden lalu mendekatkan wajahnya ke arah wajah anaknya itu dan menciumnya sayang.
"Daddy akan segera kembali. Brayden jangan nakal" ucap Brandon meletakan Brayden di baby–crib–nya.
"Jangan, nakal. Jangan nangis. Yang sabar. Jagoan daddy harus kuat seperti ayahnya" tambah Brandon menepuk bangga dadanya di depan Brayden.
Anaknya itu malah tersenyum dan menggerak-gerakan kedua kakinya, senang.
******