Suasana pembelajaran di atas balee itu terasa berbeda. Ada rasa ketenangan yang luar biasa ketika menyimak kata demi kata yang mengalir keluar dari bibir sang guru. Para santri yang semuanya laki-laki menyimak dibuku masing- masing yang bertuliskan huruf arab, dan mereka sesekali memberi catatan pada lembaran buku tersebut, yang belakangan Andika tahu buku tersebut dinamakan kitab oleh para santri di pondok.
Dalam keheningan kelas yang khidmad itu, sang guru berkata," Bagaimanakah kita memandang masa depan? Hal yang pasti dari sebab cinta pada dunia dan lebih mengutamakannya daripada Allah dan Rasulnya dan seruanNya, buah dari lemahnya iman dan lemahnya penghayatan terhadap tempat kembali baik ke surga atau ke neraka. Itulah masa depan terbesar, telah diutus para nabi dan rasul semuanya agar para mukallaf (orang beriman lagi berakal) bersiap-siap untuk memperbaiki masa depan tersebut.
Jadi apakah masa depan itu? Kita sering mendengar orang berkata, ini adalah jaminan masa depan kami, yaitu kesenangan yang sedikit dan waktu yang singkat masa di dunia. Masa kehidupan dunia yang pasti akan berakhir digantikan dengan masa kehidupan akhirat yang kekal abadi. Mengapa mereka hanya mempersiapkan masa di dunia saja?
Lalu apakah umur sampai ditiupnya terompet itu bukan masa depan?
Lalu apakah setelah masa ditiupnya terompet itu dan kiamat selama 50.000 tahun, itu bukan masa depan?
Sebenarnya manusia itu banyak yang mendapat nikmat dunia dan menjadi lalai.
Sesungguhnya masa depan terbesar adalah masa depan yang untuknya para nabi diutus agar bersiap-siap, agar anda jalankan.
Bukan sekedar untuk kehidupan singkat, untuk mengumpulkan harta atau pekerjaan atau semacamnya, mereka namakan itu masa depan.
Masa depan adalah keadaan engkau didalam kubur sampai datangnya hari kiamat. Apakah engkau dalam azab atau dalam nikmat. Wallahu a'lam bissawab."
Sang guru yang ternyata adalah Syeh Maulana sendiri mengakhiri pengajiannya. Ia mempersilahkan siapapun yang ingin bertanya.
Tanpa sadar Andika mengacungkan tangan yang disambut anggukan dan senyuman dari Syeh Maulana,
"Tapi kitakan wajib mencari rejeki di dunia ini, mengumpulkan uang untuk mendapatkan hidup layak dan berkecukupan? Barulah kita bisa beribadah dengan tenang tanpa memikirkan kesulitan hidup yang akan datang? " Syeh Maulana manggut-manggut mendengar penuturan Andika. Lalu ia bertanya," Menurut engkau kehidupan layak itu bagaimana? adakah batasannya? Apakah jika hidupmu tidak layak lantas engkau tidak bisa beribadah?"
Ketahuilah anakku, kehidupan layak itu adalah cukup makanmu dan anak istrimu untuk hari ini, sedangkan jika engkau mencukupkan untuk besok atau sebulan kedepan, itu sudah termasuk berlebih-lebihan. Dan perintah beribadah itu wajib hukumnya bagi muslim yang berakal. Tidak memandang apakah ia kaya atau miskin, bangsawan atau rakyat jelata, laki-laki atau perempuan. Jadi bukan menunggu kaya baru beribadah, tapi sejak engkau baligh, maka hukum ibadah itu wajib atas dirimu. Ini adalah perintah Allah bagi tiap-tiap muslim. Jadi berpahala jika dilakukan dan berdosa jika ditinggalkan. Jadi untuk beribadah, tidak disyaratkan harus kaya dulu. Tapi itu adalah bentuk ketaqwaanmu kepada Tuhan yang menciptakanmu.Dia memberikan rizki dan kehidupan bagimu, selayaknyalah engkau beribadah kepadanya sebai wujud penghambaan dan cinta kasihmu pada Khalikmu"
Sang Syeh menutup perkataannya dan menunggu sambutan Andika. Tapi Andika diam membisu, kata-kata sang guru berputar dan menghujam alam kesadarannya. Tiba-tiba dia merasa begitu kecil dan tidak berarti dengan segala kesombonganya selama ini. Ia ingin bertanya lagi, tapi Rudi menyikut tangannya dan menunjukkan para santri yang mulai beranjak untuk menyalami Syeh Maulana.
Mereka undur diri dengan teratur menyalami takzim Tengku Syeh yang amat disegani sekaligus sangat dihormati oleh seluruh penghuni pondok itu. Satu persatu para santri mencium tangan Syeh Maulana sebelum turun meninggalkan balee. Semua serba teratur, tertib dan sopan. Andika memandang dengan kagum. Tidak seperti diruang kuliah, mahasiswa akan bubar berhamburan ketika jam pelajaran usai, tidak ada yang menyalami sang dosen. Mereka akan langsung disibukkan dengan urusan atau rencana dan aktifitas masing-masing. Sungguh bertolak belakang dengan perilaku para santri ini. ------ ***
Setelah semua santri turun, Syeh Maulana memanggil Andika dan Rudi agar mendekat.
"Ada keperluan apa anak berdua mencari saya?" tanyanya pelan masih dengan senyuman.
"Begini Abi," jawab Rudi tapi di hentikan oleh Andika.
"Saya ingin belajar disini Pak." tukasny cepat, terus terang Andika tiba-tiba merasa ingin mendengar lagi penuturan ilmu agama dari bibir Syeh Maulana. Ia seperti lahan kering yang disiram air hujan gerimis, ia masih kekeringan. Tapi sangat mengharapkan turunnya hujan lagi. Hatinya begitu tenang mendengar penuturan Sang Syeh.
" Ya...ya...he he...boleh...boleh." senyumnya sambil mengangguk-nganggukkan kepalanya. Lalu lanjutnya..." Coba nak Rudi tunjukkan kamar Saidul. Biar Nak Andika sekamar dengan Saidul. Dan biar nanti Saidul yang menunjukkan jadwalnya. Lalu Syeh Maulana bangkit dan beranjak menuju Mesjid.
Andika menatap Rudi dengan bertanya-tanya. Rudi tertawa , " gue mantan santri di sini." ujarnya menjawab keheranan Andika. Melihat ia akrab dengan sang guru, apalagi tadi Syeh Maulana menyebut nama Andika, padahal ia belum memperkenalkan diri.
"Jadi Syah Maulana udah kenal ma elu? pantes dia tau nama gue, lo kan yang kasi tau?." tukas Andika. Rudi menggelengkan kepalanya, "Gue ni dulu sekamar tuh sama si Saidul bakal senior lu. Tiga taon gue mondok disini bro, Kalau pas lagi libur gua juga masih sering datang kesini, tapi soal nama lo, suer gua belum kasi tau sama Aba (panggiln santri untuk Syeh Maulana). Tapi nggak heran sih, jangankan nama lo, apa isi hati lo aja dia bisa tau. Aba itu keramat tau...?"
"Keramat? Sakti maksud lo?" Andika mengerutkan keningnya tak percaya.
'Percaya deh ma gua. Nanti lu bakal liat sendiri. Yok..kita cari Saidul dulu. Atur kamar dulu bos," tukas Rudi sambil menarik Andika turun menuju kamar Saidul.
"Jadi gua nggak jadi semedi di Goa? " tanya Andika bodoh.
"Goa apaan, emang lu si buta dari Goa hantu apa?" Rudi tergelak sambil menggeleng- gelengkan kepala. Adaaaa aja ni anak, batinnya. Tapi ia bersyukur Andika memilih jalan yang baik dalam mengatasi galau hatinya itu.-----+++
Andika dibawa lebih dalam masuk kedalam komplek pesantren. mereka menjumpai lebih banyak barak atau kamar - kamar berukuran kecil tempat mondoksn para santri. Luas kamar hanya beukuran 3x3 meter persegi untuk dua orang santri, dan ada juga kamar yang agak besar, tapi dihuni lebih dari dua orang santri. Benar-benar suatu kehidupan yang diluar bayangan Andika. Selama ini, ia tidur dikamarnya yang luas dan nyaman, lengkap dengan ac dan peralatan elektronik seperti tv dan stereo set. Juga ada seperangkat komputer pc dan printer dan juga lap top apel yang memudahkannya dalam urusan kuliah.
"Pfffthhhh...Andika menghela nafas berart. Kamarnya dirumah sangat jauh berbeda dengan kamar si Saidul ini.
Andika memperhatikan isi kamar, yang hanya berisikan dua rosbang sederhana dan satu lemari satu 2 pintu yang nampaknya harus berbagi untuk dua orang membuat penuh kamar sempit itu, tidak ada meja, apalagi tv. Tapi ia tidak ambil pusing, yang penting aku ingin menyendiri dulu dari di kota hiruk pikuk tempat ia tinggal selama ini.
" Tinggalan aja ransel lo disini, yok cari Saidul." ajak Rudi. Andika melihat salah satu rusbang terletak sehelai sarung, pasti itu rusbangnya Saidul. Maka, Andika menyenderkan ranselnya di samping rusbang yang satunya lagi.
"Yok.." sahutnya pada Rudi. Tapi ternyata Saidul sudah tiba ketika Andika dan Rudi baru hendak keluar mencapai pintu.
"Asalamualaikum, aih...dah lama sampai bang Rudi?." sambutnya dengan logat Tapak Tuan yang kental sambil menyalami Rudi dan Andika.
"Alun lai (belum lagi) Baru saja sampai do. Kenalin nih, Andika. Kawan kuliah ambo (ambo = saya), mau mondok. Tolong di bantu ya?
Saidul tersenyum," Insyaa Allah, iyolah pasti. Silahkan di pilih tempat tidurnya, mana yang bang Andika suka, ha ha...cuma ada dua ini.." Saidul tertawa sambil menunjuk kedua rusbang kecil itu.
Rudi ikut tersenyum. tak lama mereka berbincang, Rudi pamit pada Saidul dan Andika.
Ia harus segera menyusul rombongan ekspedisi Prof. Sugara. Tak lupa Rudi berpesan pada Saidul agar ia mengajari Andika tentang tata cara dan kebiasaan kehidupan di Dayah. Dia beharap Andika betah dan mampu bertahan tinggal ditempat super sederhana itu, mengingat selama ini, hidup Andika diliputi kenyamanan dan materi. Saidul manggut- manggut selama Rudi berbicara tanda mengerti. Memang tidak mudah beradaptasi hidup dipesantren bagi orang yang belum pernah mondok.------+++++
Andika merebahkan tubuhnya dirusbang kecil itu sambil berpikir bagaimana mungkin akhirnya ia terdampar disini dan menjadi santri pula. Ia ingat dulu waktu kecil pernah belajar mengaji. Tapi itu sudah ketika ia masih duduk di bangku SD. Belajar shalat, namun sekarang mana pernah dia shalat lagi. Andika larut dalam lamunannya sampai tertidur. Saidul sedang ada kelas, atau istilah mereka disini naik ngaji.
Sementara itu di balee besar, Saidul beserta Tengku Razak anak Syeh Maulana sekaligus pimpinan di dayah ini, sedang duduk menghadap Syeh Maulana.
" Apa kalian sudah memeriksa tanah longsor di belakang mesjid? Bagaimana kelihatannya, apakah berbahaya?
"Sudah Abba. lebarnya hanya lebih kurang lima meter, tapi amblasnya dalam sekali kira kira hampir sepuluh meter," jawab Tengku Razak.
"Nanti sehabis Ashar saya dan Saidul akan pergi memeriksa lagi, nampaknya gempa kemarin cukup kuat, takutnya longsoran tanah mengganggu fondasi mesjid ." sambungnya pula.
Memang pesantren mereka berada di daerah pegunungan putri. Gunung putri juga bersambung dengan gunung lainnya disekitar kota Tapak Tuan.
"Oh iyo Saidul. malam ini malam jumat, kita ada samadiah tareqat, bawa Andika biar di ikut dzikir." kata Syah Maulana pada Saidul. "Iyo Abba.." jawab Saidul takzim.
Malamnya sehabis sholat magrib dan makan, Saidul mengajak Andika kembali ke Mesjid.
"Bang malam ini hsbis isya kita samadiah tareqat. Abang pakai sarung ambo aja. Supaya lebih nyaman dan ini memang sudah peraturan disini."
Andika menerima sarung Saidul ragu-ragu. Sedari tadi, setiap waktu sholat di mesjid dia mengenakan jean wranglernya saja. Lagipula dia tidak pernah pakai sarung. Tiba- tiba dia teringan bingkisan sarung yang ada kain putuhnya dari pak Mur camat.
Lalu segera dikembalikannya sarung Saidul," Gua juga punya sarung, nih liat." Andika membuka bingkisan pak Mur.
"Tapi gua nggak ngerti, kok dikasi kain putih juga, maksudnya apa coba?" Andika menunjukkan bingkisannya pada Saidul. Sejenak Saidul terpana, lalu ia mengangguk tersenyum.
"Kalau begitu bawa juga kain putihnya sekalian. Mungkin abang mau di bai'at untuk ikut khalut." kata Saidul.
"Kalut..? memang gua lagi galau nih, tapi nggak sampe kalut gitu, gua masih waras bro.!" Andika menjawab setengah dongkol.
Saidul terkekeh mendengar Andika.
"Khalut baaaang..bukan kalut panik, pusing atau stress. Khalut itu berasal dari kata khalwat yang berarti bersunyi-sunyi. Disini seorang hamba akan berzikir selama beberapa waktu lamanya dalam suatu bilik sendirian. Ia bersunyi-sunyi diri dengan mengingat Allah setiap waktu. Biasanya ada amalan dzikir yang harus dibaca sebanyak bilangan tertentu, seperti surat Al Ikhlas sebangak 70.000 ribu kali, Dzikir asma Allah 100.000 kali dan beberapa yang lainnya." papar Saidul. Andika tercengang mendengar penjelasan Saidul.
" Maksud lu gua semedi?"
"Yaaah...kalau didalam film kelihatannya begitu...tapi ini di pondok, kita tidak boleh lupa dengan kewajiban shalat 5 waktu, berjamaah, makan dan minum serta buang air, tetap dilakukan." kata Saidul menjelaskan. Andika tercenung mendengar penuturan Saidul barusan. Ternyata banyak yang tidak ia ketahui mengenai agamanya sendiri.
---***