Perjalanan menuju kota Tapak Tuan memakan waktu hampir dua belas jam. Disamping itu mereka juga melakukan beberapa persinggahan dibeberapa situs bersejarah dan makam Ulama, laju kendaraan juga tidak bisa maksimal karena medan yang berbukit dan gunung-gunung. Perjalanan menuju daerah Aceh Selatan merupakan perjalanan yang meliputi gunung, jurang dan pinggir pantai. Pemandangan yang di suguhkan sejak mulai dari kota Banda Aceh sampai Meulaboh adalah pantai-pantai yang indah dengan panorama desa nelayan yang khas. Selanjutnya dari Meulaboh menuju Aceh Selatan, pegununungan dan pantai serta jurang silih berganti bagaikan cinema suguhan alam yang sangat indah. Tapi sayangnya karena sebagian perjalanan dilakukan pada waktu malam, mereka tidak dapat sepenuhnya menikmati keindahan alam yang mempesona tersebut.
Setelah penat berkutat di dalam mini bus lebih kurang 12 jam, akhirnya mereka memasuki kota Tapak Tuan, mobil terus melaju mengikuti Kijang innova Prof. Sugara menuju sebuah komplek perumahan pegawai kecamatan. Ternyata mereka telah ditunggu oleh pak Mursalin camat kota setempat yang ternyata sahabat Prof. Sugara, dosen geologi mereka yang menjadi penanggung jawab expedisi kali ini. Setibanya didepan rumah pak Camat, anak-anak para kru ekspedisi itu berebutan turun dan berhamburan keluar mencari kamar kecil, Handoko sang ketua rombongan segera sibuk mengatur para kru expedisi yang terdiri dari sembilan orang itu termasuk Andika, untuk beristirahat sampai besok pagi. Karena perjalanan akan dilanjutkan ke lokasi Goa Naga adalah besok pagi.
Andika ikut menurunkan barangnya yang hanya sebuah ransel besar untuk dijadikan sandaran. Mereka memilih berbaring santai sambil melepas penat diteras samping rumah dinas pak camat yang tak seberapa besar itu, Daripada kamar dan ruang tamu yang disediakan pemilik rumah. Hanya mahasiswi saja yaitu Malikah dan Nurliza yang menempati kamar yang sudah disediakan.
Di ruang tamu, prof Sugara dan Pak Mursalin sedang duduk berbincang bincang ditemani kopi panas dan pisang goreng dari buk camat, buk Salamah.
Andika ikut duduk berselonjor di teras samping sambil mengutak atik hp nya.
Rudi yang tadi sibuk membantu Handoko kini datang dan ikut bergabung dengan Andika dengan membawa dua gelas kopi panas.
" Besok pagi habis subuh, gua akan antar elo ke tempat semedi lo. Gua udah ijin ke Prof. " Rudi menyodorkan satu gelas kopi pada Andika.
Andika menganggukkan kepalanya, "Eh tapi Elu gimana? ntar lu ketinggalan rombongan dong?" Tanya Andika heran.
"Santai bro. Nggak akan gua ketinggalan." Tukas Rudi.
"Lokasinya searah dengan tujuan ekspedisi, hanya berjarak 3 kilo dari simpang yang menuju Goa Naga, habis nganter elu, gua bisa nyusul langsung mereka, lagian mereka akan sibuk seharian bikin camp di mulut goa Naga, gua udah tau lokasinya waktu survey dengan Handoko, dan jangan lupa, gua kan anak sini, putra daerah sini."
Rudi menepuk dadanya dengan gaya Benyamin biang kerok, Andika cuma menaikkan alisnya acuh sambil geleng-geleng kepala. Ia tersenyum masam, " Semedi? batinnya, apakah Rudi akan membawanya kesalah satu goa tempat pendekar bersemedi seperti di film2 silat yang di tv? ...Aaargh!" Andika cepat2 menggelengkan kepalanya. Ah...masa bodo pikirnya lagi, mau di goa kek, digunung atau disumur tua sekalipun nggak masalah dimana. ia hanya ingin menjauh dari dunia yang selama ini dia jalani. Rumah yang panas, kampus yang gelisah, jalanan yang penuh hiruk pikuk, dia hanya ingin menyendiri...titik.
Lalu tak lama Handoko datang menghampiri Andika.
"Ndik....dipanggil profesor tuh..." katanya sambil duduk disamping Rudi. Andika memandang Rudi minta jawaban. tapi si Rudi cuma angkat bahu acuh tak acuh.
"Ya udah gua kedalam dulu jumpai babe (istilah anak mahasiswa untuk Prof. Sugara)."
Andika bangun dan berjalan menuju ruang tamu. Diteras ia berpapasan dengan Malikah, " Eh...Andika...liat Rudi nggak?" tanyanya dengan senyum. Andika sejenak terpana melihat senyum itu, begitu teduh seperti danau yang luas. Lalu dengan dagunya ia menunjuk teras samping.
" Di samping tuh..." lalu beranjak masuk kerumah tempat sang prof dan pak Mur menunggu.
" Oh...trims ya.." jawab Malikah senang.
Menjumpai profesor Sugara, Andika mengira akan ditanya mengenai misi semedinya, namun ternyata bukan profesor yang telah memanggilnya, tapi pak Mursalin yang ingin bertemu. Ia langsung mempersilahkan Andika untuk duduk disampingnya.
"Mari nak Andika, duduk disini." katanya ramah sambil menunjuk tempat didepannya dan si Babe. Profesor Sugara ikut mengangguk sambil tersenyum.
Andika duduk dengan tenang, sebisa mungkin kelihatan santai walaupun hatinya galau dan bertanya tanya.
"Jadi benar nak Andika akan pergi bersuluk? " tanya pak Mur dengan senyum yang sama teduhnya dengan Malikah tadi, untuk sesaat Andika terperangah lagi. Mengapa hatinya berdetak setiap kali melihat senyum seperti ini? Senyuman itu telah dia lihat pada Rudi, Malikah dan sekarang pak Mur juga memiliki senyum teduh tapi menenggelamkan itu. Apakah mereka kerabat? Tapi cepat ia tersadar dan bertanya agak bingung.
"Bersuluk? saya tidak mengerti, saya hanya ingin menyendiri beberapa waktu pak. " jawab Andika bingung. Pak Mur dan profesor Sugara terkekeh pelan.
"Oh iya, maaf saya mengerti. Besok nak Andika akan diantar nak Rudi kesana. Ini ada bingkisan untuk nak Andika. mungkin akan berguna buat dipakai disana." Pak Mur menyodorkan sebuah bingkisan plastik yang tadi terletak di pangkuannya. Dengan heran Andika membuka bungkusan dari pak Mur tersebut. Dan ia langsung mendelik melihat isinya. Sehelai sarung, sebuah peci dan selembar kain putih.
"A..apa maksudnya ini pak? " tanya Andika bingung. Namun sebelum pak Mursalin menjawab, prof Sugara menepuk bahu Andika, " Sudah ....terima saja. itukan hadiah. siapa tahu disana nanti berguna." ujarnya lembut. Lalu pak Mursalin juga ikut menepuk- nepuk punggung Andika. Seketika Andika merasa dari kedua tangan mereka yang menepuk punggungnya mengalir hawa sejuk yang merambat masuk kedalam urat-uratnya dan merembes ke jantungnya, membuat perasaannya sangat nyaman dan tenang. Tanpa sadar bibirnya mengucap, "Astaghfirullah...". Seketika Andika membuka kedua matanya lebar-lebar. Takjub akan kalimat yang keluar dari mulutnya sendiri. Pak Mursalin dan prof. Sugara terkekeh pelan. Setelah mengucapkan terima kasih, Andika menyalami kedua orang tersebut dengan hati terharu, sekilas tadi ia merindukan ayahnya yang sudah lama tidak pernah menyentuh kepala atau pundaknya seperti tadi. Untuk sesaat ia tadi sempat mengalami de javu. Ketika ia beranjak pamit untuk kembali bergabung dengan teman-temannya di luar, prof. Sugara berkata, " Oh ya Andika. jika nanti sudah selesai dengan semedi kamu, jangan lupa bergabung di expedisi yang ke dua bulan depan. Kali ini hanya pengenalan medan dan explorasi keadaan tanah retakan, nanti Saya membutuhkan asisten yang konpeten dibidangnya. Okey?," Andika mengangguk pelan sambil berkata,
" baik pak." lalu ia meninggalkan kedua orang tersebut setelah membungkukkan sedikit badannya.
Sepeninggalnya Andika, prof. Sugara menarik nafas panjang.
"Mudah-mudahan Allah memberi hidayah pada dirinya, otak jenius begitu jangan sampai tersia-sia karena tidak memahami ilmu agama. Semoga disana nanti, rohaninya bisa tenang," kata Prof. Sugara pelan.
"Yah...semoga saja ini jalan yang ditunjuk Allah untuk dia, dan semoga dia mendapatkan hidayah disana nanti. " timpal pak Mursalin. Kemudian merekapun larut dalam percakapan masa muda dulu sebelum akhirnya tidur menjelang pukul 3 dini hari.
--------------- ++++++
Paginya, seperti janji Rudi, pukul 6 pagi Andika dibonceng Rudi naik motornya pak Mursalin menuju lokasi semedi Andika.
Mereka berkendara menyusuri pinggir pantai lalu berbelok kearah gunung-gunung selama kurang lebih 40 menit. Suasana desa yang kental begitu terasa dengan sederhananya rumah penduduk. Semakin lama mereka masuk jalan desa, semakin sejuk udara yang dirasakan. Maklum daerah pegunungan, sebagian kabut bahkan masih terperangkap di pinggir jurang ketika mereka menyeberangi jembatan gantung dengan air terjun disisi tebingnya. Pemandangan yang luar biasa, batin Andika.
Tak lama mereka memasuki sebuah desa yang sangat kental budaya Islamnya. Para wanita nya berkerudung panjang, berwarna hitam atau berwarna natural agak gelap dan wajah mereka ditutupi cadar seperti di negeri Arab. Demikian juga kaum laki-lakinya. Mereka berjubah atau baju koko, celana cingkrang atau sarung dan tak lupa peci atau lobe khas aceh selatan ikut nemplok dikepala mereka. Dan lucunya anak anak kecilnya juga demikian. Rudi mengangkat tangan setiap berpapasan dengan laki-laki dan dibalas dengan hal serupa pula. Rudi berkata kalau mereka sudah sampai kedesa yang dituju. Dengan keheranan Andika menepuk bahu Rudi, " Rud! Lu bawa gua semedi di kampung teroris? Apa nggak ada tempat yang lebih seram lagi apa?"
Rudi tergelak, " Apa lu bilang? Kampung Teroris...teroris apaan? Elu tu ya, kebanyakan nonton film perang sih lu. Ini ni namanya kampung Fajar Madinah, inget tuuh, disini memang begini suasananya, karena mereka hampir semua murid atau lulusan dayah (ponpes) Baitul Hidayah pimpinannya Syeh Maulana Labuh atau Tengku Pante Raja. Kalau kita bilangnya pondok pesantren. Sekarang ini yang mengepalai pendidikan dayah adalah anak beliau sendiri Tengku Abu Razak, sedangkan Syeh Maulana sendiri tidak mudah bertemu Beliau, karena Beliau sering melakukan perjalanan sampai ke Jazirah Arab dan daerah timur Tengah.Syek ini yang palung disegani dan karomahnya terkenal sampai ke Mesir. Mereka bukan teroris bro!, tapi orang2 salik. Ibadah adalah nomor satu disini. Kehidupan mereka sesuai ajaran Islam, dan jauh dari maksiat. Lu jangan coba coba bergaul dengan cewek2 sini tanpa aturan, mereka sangat terjaga dari pandangan." terang Rudi panjang lebar.
"Maksud lo? gua nggak boleh bicara ma cewek?" timpal Andika.
"Bukan gak boleh, tapi terbatas. selama ada maksud yang jelas dan tidak bersunyi-sunyi atau berdua duaan...aaah...ntar lu ngerti sendiri dah," Rudi menyudahi perkataannya karena mereka telah berhenti disebuah komplek bangunan seperti Mesjid yang dikiri kanannya berjejer pondok- pondok kecil menyerupai barak.
Andika celingak celinguk bingung. Sementara Rudi menariknya ke salah satu rumah di samping mesjid yang memiliki bangunan agak besar dan disampingnya terdapat pondok panggung separuh dinding (balee) yang nampak sejuk dinaungi pepohonan. Didalamnya nampak belasan anak lelaki usia remaja dan ada beberapa yang sekitar dua puluh tahunan sedang duduk mengelilingi seorang kiyai yang rambut, kulit dan janggutnya putih semua, wajahnya sangat sejuk dan pandangannya begitu dalam dan sangat tajam. Benar benar memancarkan kewibawaan yang besar, sampai - sampai Andika tidak sanggup menatap langsung ke matanya.
Rudi berdiri dianak tangga balee. tidak berani mengganggu belajar para santri. Andika maklum kalau itu pastilah sang kiyai yang di panggil Abu oleh Rudi tadi.
Selang lima menit, seorang murid turun menjumpai Rudi dengan mengucap salam,
" Asalamualaikum, Silahkan bang, Syeh meminta abang berdua untuk naik ke balee."
Rudi dan Andika tersenyum dan menjawab salam, lalu mengikuti si murid naik ke atas balee, dan mereka dipersilahkan duduk di samping sang Guru.****