Chereads / Sehangat Pagi / Chapter 2 - COKELAT DI HATI LUCA

Chapter 2 - COKELAT DI HATI LUCA

Bola berwarna oranye itu seperti memiliki sebuah sensor yang menjadikan kepalaku sebagai target yang harus dibinasakan. Berkali-kali ia mencoba menghantam kepalaku, dan berkali-kali aku berhasil menangkisnya. Aku celingukan mencari darimana datangnya bola basket sialan itu. Aku melihat Luca menatapku dengan garang. Tak salah lagi, ia memang sengaja melempar bola itu berkali-kali untuk mencelakai aku. Ia tersenyum sinis padaku.

"Maaf nggak sengaja." ia melirik pak Rudi, guru olahraga kami yang ternyata memperhatikan kami.

Aku mendekati Luca dan mengembalikan bola itu padanya.

"Fokus Luca! Jangan ngelamun aja." ejekku sambil menempelkan telunjuk pada pelipisku dengan nada sok pintar. Aku harap ini cukup untuk membalas perlakuan buruknya padaku. Luca menarik lenganku. Tampaknya ia semakin marah.

"Aku benar-benar akan memecahkan kepalamu. Tunggu saja." geram Luca.

"Tapi kenapa? Apa aku menyakitimu?" tanyaku heran.

Luca tak menjawab. Ia berpaling lalu kembali menggiring bola. Lemparannya tepat masuk kedalam keranjang.

Satu hal yang tak pernah aku mengerti, Luca seperti memiliki dendam membabi buta padaku. Entah karena alasan apa? Apakah mungkin laki-laki yang ditaksirnya menyukaiku? Tapi kurasa tak ada satupun laki-laki ganteng yang mencoba mendekatiku.

Jadi Apa?

Sebisa mungkin Luca melakukan apa saja untuk membuatku menderita. Ia merobek dan membakar buku tugasku. Mencoreti baju seragamku. Memasukkan ulat bulu dan kecoa yang sangat menjijikkan kedalam tasku. Mengunciku didalam kamar mandi, dan beberapa teror mengerikan lainnya. Aku selalu mencari cara untuk mengakhiri semua ini, tapi aku tak tahu bagimana caranya.

Aku pernah melaporkan semua perbuatan Luca pada guru BP. Tapi guru BP malah menganggapku terlalu berlebihan menuduh temanku yang sebenarnya baik itu. Aku tahu sebenarnya guru BP dan guru-guru yang lain tak ada yang berani menegur Luca, karena orang tuanya adalah pemilik sekolah kami. SD Tri Murti di kota Kediri, yang terkenal bagus prestasinya. Kalau ada satu saja guru yang berani menegur Luca, tak perlu menunggu tempo satu minggu untuk mengeluarkannya dari sekolah.

* * *

TOK TOK TOK!!

Aku mengetuk pintu ruang kerja Papa dan tanpa menunggu jawaban, aku langsung masuk. Aku menemukan Papa sedang sibuk mengetik didepan komputer. Ia menatapku, wajahnya yang serius berubah cerah. Ia tersenyum padaku.

"Hi Diva!" sapa Papa padaku.

"Papa punya waktu?" tanyaku. Papa membenahi kacamatanya dan menatap jam di komputernya sebelum menjawab. Ia terlihat sangat sibuk.

"Tiga puluh menit? Apakah cukup?" Papa bertanya sambil tetap tersenyum. Aku mengangguk dan duduk disebelahnya. Papa memperhatikanku dengan seksama.

"Ada teman yang selalu mengganggu dan menerorku." ujarku. Selanjutnya aku menceritakan semua yang dilakukan Luca padaku. Papa mendengarkan ceritaku dengan sangat serius. Sepertinya ia benar-benar mengerti perasaanku. Aku tahu ia selalu bisa kuandalkan.

"Apa makanan kesukaannya?" tanya Papa setelah aku selesai bercerita.

Aku tersentak. "Hah?!! Jangan sampai meracuninya, Pa! Itu berlebihan. Terlalu berbahaya."

Papa malah tertawa mendengar perkataanku.

"Aku serius Pa!" seruku sambil cemberut. Disaat aku panik seperti ini Papa malah bercanda.

"Maksud Papa bukan meracuninya. Apa makanan kesukaannya?"

"Hmm ... kurasa, cokelat. Aku sering melihatnya makan cokelat. Malah terlalu sering."

Papa merogoh saku celananya dan menyodorkan satu lembar uang lima puluh ribu padaku. "Ini untuk membeli cokelat. Kau yang tahu jenis cokelat kesukaan temanmu itu. Jangan lupa, bungkus dengan cantik. Seperti ketika kau membungkus hadiah untuk sahabatmu yang berulang tahun. Oh ya, dan yang terakhir, katakan bahwa kau sangat menyayanginya ketika memberikan cokelat itu."

Aku kaget mendengar ide Papa. Ini tidak seperti dugaanku. "Aku rasa Papa tidak mengerti ceritaku. Mungkin Papa terlalu letih."

Papa mengulum senyum. Ia memelankan suaranya agar aku dapat mendengarnya dengan jelas. "Ucapkan aku sangat menyayangimu dengan tulus. Kau bisa menyembunyikan rasa kesalmu sebentar saja kan?"

"Tapi Pa? ...." aku mengangkat bahu tanda tidak mengerti. "Seharusnya kita memberinya pelajaran agar jera, bukan memberinya cokelat!"

"Kalau kau tulus melakukannya, Papa yakin, ia tidak akan mengganggumu lagi. Berani bertaruh?" Papa masih tersenyum penuh percaya diri. "Jika Papa kalah, Papa akan menaikkan uang jajanmu dua kali lipat selama sebulan. Tapi jika kamu yang kalah, kamu harus memijit pundak Papa setiap pulang kerja selama satu bulan. Setuju?"

"Uang jajan dua kali lipat selama sebulan!!" sorakku. "Ok!"

Aku mulai bersemangat dengan tantangan Papa. Memberi cokelat kepada musuhmu bukan hal yang mudah.

* * *

Hari ini aku mengikuti lomba lari di sekolah. Ada beberapa lomba yang diadakan dalam rangka memperingati HUT RI tanggal 17 Agustus 2009. Sepuluh peserta lomba lari telah siap dan berjajar rapi di garis start. Celakanya Luca berdiri disebelahku. Aku meliriknya, dan ia masih tersenyum sinis seperti kemarin. Seolah ia sedang berkata, "Tunggu saja apa yang akan aku lakukan padamu sebentar lagi."

Senyumnya begitu mengerikan bagiku.

Pak Rudi memberi aba-aba untuk bersiap. "Bersedia ... siap ... yak!"

Kami semua lari sekuat tenaga. Aku berlari diurutan paling depan, namun tak lama kemudian Luca yang berlari lebih cepat dan mendahuluiku. Ketika ia berada didepanku, tiba-tiba mendadak ia mengurangi kecepatan dan tanpa kusadari kakinya menjegalku.

Aku terjerembab ke lantai lapangan dengan keras. Lututku terjatuh lebih dulu. Sekuat tenaga aku kembali mengangkat tubuhku. "Aku tidak boleh menyerah sekarang!!" jeritku. Namun lututku kram, tubuhku kembali terjatuh. Kali ini wajahku mencium lantai. Cairan kental berwarna merah menyembur dari hidungku. Kepalaku terasa pusing. Semua peserta lomba seketika berhenti. Mereka mendekatiku.

"AAA...!!" teriakku kesakitan. Aku merasakan perih yang luar biasa dari lutut dan sikutku yang lecet. Darah mengalir dari hidungku. Aku menangis tanpa peduli dengan orang-orang disekitarku. Aku menyentuh darah kental yang mengalir dari hidungku.

Luca berjongkok didepanku. Aku memandangnya dengan tajam. Semua ini akibat perbuatannya. Aku kira ia akan mengejekku. Namun, dugaanku salah. Ia menunjukkan wajah bersalah padaku.

"Maaf, aku tak sengaja." tangannya berusaha menyentuh hidungku, namun aku segera menepisnya. Mataku masih menatapnya dengan tajam. Aku bergetar bukan karena marah tapi karena ketakutan. Ia benar-benar seperti iblis yang berusaha mencabut nyawaku. Aku tak tahu apa yang akan terjadi padaku jika ia menyentuhku. Aku selalu sial jika berada didekatnya.

Beberapa saat kemudian, aku tidak menyangka ketika tiba-tiba Papa datang. Ia membawa sekantung cokelat di tangannya. Cokelat yang aku bungkus dengan plastik kado dan telah aku hias dengan pita pink semalam.

"Astaga! Kau terluka parah Diva!" ucap Papa tampak panik. Ia terdiam sesaat. "Oh, ya. Kau meninggalkan ini di rumah. Papa harus meninggalkan kantor untuk mengantarkan ini."

Astaga! Ah, aku lupa membawanya!!

Aku menangis semakin menjadi-jadi, lengkap sudah penderitaanku. Karena ternyata Papa kesini bukan karena mengkhawatirkanku, tapi karena bungkusan cokelat untuk Luca yang sangat kubenci itu tertinggal di rumah.

Lebih baik aku tidak membeli cokelat itu!!

Papa mendekatkan wajahnya ke telingaku dan berbisik, "Sekarang Diva! Jangan lupa ucapannya, aku menyayangimu." aku melotot semakin kesal kepada Papa. Ia seperti tidak mengerti luka yang aku rasa. Papa mengelus kepalaku seperti mengerti apa yang aku rasa.

Aku menatap Luca agak lama sambil sesekali meringis menahan sakit. Beberapa anak PMR mulai membersihkan lukaku dengan alkohol. Air mataku terus mengalir menahan rasa sakit disekujur tubuhku, dan juga sakit di hatiku. Aku menyeka kembali darah yang keluar dari hidungku dengan jari telunjukku.

"Maaf aku menyesal. Aku tak bermaksud ...," ucap Luca.

"Aku menyayangimu..." tiba-tiba aku memotong ucapannya. Aku terkejut mendengar suara yang keluar begitu saja dari bibirku. Aku mengulurkan tanganku, menyerahkan sekantung cokelat kesukaan Luca. "Ya, a-aku menyayangimu..."

Aku merasa aneh dengan bibirku sendiri. Entah mengapa, seperti ada sihir aneh yang menggerakkan bibirku. Kata-kata itu terus menggema ditelingaku.

"Kau..." suara Luca bergetar. Tiba-tiba butir air mata jatuh dari kedua matanya. Ia meraih cokelat dari tanganku dan tiba-tiba berlari meninggalkan lapangan. Aku hanya terbengong-bengong melihatnya lalu beralih memandang Papa yang hanya tersenyum. Senyum Papa lebih ceria dari biasanya.

Papa meminta ijin kepada guru olahraga Pak Rudi untuk membawaku ke rumah sakit terdekat.

"Papa sudah puas?" gerutuku pada Papa ketika sampai di rumah sakit. Ia hanya tersenyum sambil menyerahkan sekantong makanan kesukaanku untuk makan siang.

"Sandwich dan susu hangat kesukaanmu." ucap Papa. Aku meraihnya dengan cepat. Ia duduk disebelahku sambil mempehatikanku yang makan dengan lahap. "Jika taruhan Papa kalah, kau akan mendapat uang saku dua kali lipat bulan depan. Tapi, jika ..."

Sebelum Papa menyelesaikan kata-katanya, tiba-tiba dua orang laki-laki masuk dengan membawa buklet bunga Lily yang sangat cantik. Tingginya kurang lebih dua meter. Kami sangat terkejut.

"Mungkin bunga itu untuk salah satu pasien di rumah sakit ini." ujarku.

Kemudian seorang wanita paruh baya yang berbadan agak gemuk masuk dengan membawa satu kotak kue besar. Kebetulan atau tidak, kue itu kesukaanku.

"Permisi. Ini hadiah sebagai tanda permohonan maaf dari keluarga Danuarta. Mohon diterima. Kami juga sudah membereskan administrasi kepihak Rumah Sakit. Semoga nona Diva lekas sembuh." ucap wanita itu dengan senyum ramah.

"Keluarga Danuarta?" gumam Papa.

"I-itu keluarga Luca." jawabku kaget. Aku tidak percaya hadiah itu untukku.

"Terima kasih banyak Bu." ujar Papaku.

"Sama-sama. Kami mohon diri dulu. Permisi." ucap wanita itu. Lalu ia bergegas pergi.

"Oh, sayang, kau harus memijat Papa setiap pulang kerja." ucap Papa setelah pemberi hadiah itu pergi.

Tidak jauh dari tempat duduk, aku melihat seorang gadis berdiri diambang pintu kamar rumah sakit.

"Luca!?" seruku masih tak percaya.

Luca melangkah mendekatiku. Ia membawa sekeranjang buah-buahan. Ia melangkah mendekatiku lalu meletakkan keranjang itu di atas meja disebelahku.

"Maaf, aku benar-benar menyesal." ujar Luca datar. "Aku tak menyangka kau akan cedera separah ini."

"Ternyata kau tidak sejahat seperti yang aku duga." dadaku sesak. Aku tidak menyadari butir air mata jatuh ke pipiku. "Ta-tapi, kenapa sebelumnya kau sangat membenciku?"

"Karena..., karena kau sangat mirip kakakku."

"Ha? Hanya itu?" tanyaku heran. "Sebuah alasan untuk kebencianmu padaku selama ini?"

Luca mengangguk.

"Sejak kecil orang tuaku selalu membanding-bandingkan kami. Kakakku cantik, pintar, ramah, dan berprestasi. Sekarang ia kuliah di Paris. Dia selalu membuat orang tuaku bangga. Sedangkan aku? Ah, kau bisa lihat sendiri. Aku tak mungkin bisa membalas sakit hatiku pada kakakku. Karena itulah kemudian aku melampiaskannya padamu." wajah Luca terlihat sangat menyesal. "Maaf."

"Kau salah Luca. Tak ada orang sempurna atau orang bodoh didunia ini. Tiap orang punya kelemahan dan kelebihan masing-masing. Kesalahanmu adalah selalu memikirkan kelemahanmu. Padahal kau memiliki kelebihan yang tidak dimiliki semua orang, termasuk kakakmu. Kau pandai bermain basket, lari, berenang, dan orang tuamu kaya. Seharusnya kau bisa melakukan apapun untuk mengembangkan segala hal yang membuatmu istimewa dibanding orang lain. Jangan pernah berpikir untuk menjadi orang orang lain. Karena setiap orang dilahirkan dengan keistimewaan yang berbeda-beda Luca."

"Kau benar Diva. Aku tak menyangka, meski sudah berkali-kali kusakiti, namun kau tetap tegar. Kau lebih kuat dariku."

"Jangan berlebihan. Ini karena Papaku. Dia yang telah menguatkanku." Aku menoleh kepada Papa. Luca mengikuti pandanganku. "Setelah ini, aku harus memijit pundaknya setiap pulang kerja selama sebulan!!"

Luca melongo heran. "Kenapa? Apa itu sebagai ungkapan terimakasih?"

Aku dan Papa hanya tersenyum.