Chereads / Sehangat Pagi / Chapter 3 - SEHANGAT PAGI

Chapter 3 - SEHANGAT PAGI

Di dalam bis kota itu banyak penjual mainan yang lucu-lucu dan permen yang unik-unik. Aku selalu ingat ucapan Silvi yang membuatku penasaran. Ia sangat beruntung berangkat dan pulang sekolah naik bis, jadi pasti banyak petualangan yang ia dapatkan. Tidak seperti aku yang kemana-mana diantar sopir, jadi pulang sekolah langsung ke rumah atau les. Sangat membosankan. Apa lagi rasa penasaran itu sangat mustahil akan terjawab, karena Mama tak akan pernah mengijinkan aku naik bis kota.

Seperti hari-hari sebelumnya, siang ini begitu cerah. meski mendung tebal menyelimuti angkasa, tapi semangatku sama sekali tidak berubah. Masih sama seperti tadi pagi. Penuh rencana, penuh harapan, penuh semangat dan semangat.

Aku masih berdiri di luar gerbang sekolahku. Namaku Diva. Usiaku 9 tahun, aku kelas 4 di SD Tri Murti Kediri. Setiap hari sepulang sekolah aku harus mengikuti beberapa les yang diwajibkan oleh Mamaku, termasuk hari ini. Sepulang sekolah aku berdiri di depan gerbang sekolahku menanti Mama menjemputku.

Sebuah taksi berwarna putih melintas dan berhenti di depanku. Seseorang di bangku belakang membuka pintu dengan wajah suntuk seperti biasa.

"Cepat masuk atau kita akan telat." perintah Mama cepat. Aku segera masuk dan duduk di sebelahnya.

"Mobil Mama masih di bengkel ya? Mama jadi terlambat menjemputku."

"Jangan mulai lagi. Kau tahu Mama ini sibuk kan? Ini saja Mama minta ijin Pak Manager untuk mengantarmu les."

"Besok Mama nggak usah menjemputku. Aku bisa cari alamat tempat les itu sendiri." ucapku sambil menekuri tas ransel merah jambu yang tergeletak di pangkuanku.

"Kau pikir Mama akan membiarkanmu tersesat, seperti saat mencari alamat toko buku yang dibilang temanmu kemarin? Jangan sok jadi orang dewasa."

"Aku nggak tersesat Ma!" aku melotot ke arah Mama. "Aku hampir menemukannya. Tempatnya tak jauh. Kalau saja Mama tak terlalu khawatir dan menjemputku saat masih di..."

"Stop!" bentak Mama. Seketika sopir taksi itu terkejut dan menghentikan taksinya.

"Maksudku bukan kau, tapi anak kecil ini." Mama berkata pada sopir yang kebingungan.

"Baik nyonya." sopir taksi itu langsung melajukan taksinya dengan cepat. Tampaknya ia sedikit takut dengan kegalakan Mama. Aku hanya tersenyum melihat ekspresi wajahnya yang lucu.

Aku menatap langit dari jendela taksi. Warnanya kelabu. Seperti menyampaikan kabar bahwa sebentar lagi akan turun hujan. Hujan! Pasti seru! Aku masih bersemangat seperti tadi pagi.

Aku mendengar desahan Mama disampingku. Tampaknya ia sedang menahan amarahnya. Kasihan, Mama pasti capek harus mengurus keluarga sambil bekerja.

Kami sampai di tempatku les. Ini adalah hari ketigaku latihan vocal. Segalanya berjalan menyenangkan. Aku suka menyanyi. Karena saat menyanyi aku bisa mencurahkan segala perasaanku pada orang yang mendengarkan nyanyianku.

Mama menungguiku sampai selesai latihan. Sebelum kami pulang Mama sempat menginterogasi pelatih les ku.

"Bagaimana prestasi Diva Bu Camila? Maaf kalau Ibu kerepotan mengurusnya. Dia ini bandel, keras kepala dan susah sekali diatur."

Bu Camila tersenyum sebelum menjawab. "Tadinya saya juga berpikir begitu, tapi ternyata saya salah mengenalinya. Saat pertama kali mengajarnya, saya juga sempat jengkel dibuatnya. Bagaimana tidak? Saya menyuruhnya berhenti mempelajari sebuah lagu yang baru saya ajarkan dan saya menyuruhnya mencoba lagu yang berikutnya, tapi dia membantah dan masih mempelajari lagu itu. Saya sampai jengkel waktu itu. Tapi dia malah makin bersemangat. Saya sampai lelah membujuknya untuk berhenti dan mencoba lagu lainnya. Sampai ia berkata, kenapa ibu menyuruh saya menyerah? Padahal saya sudah sampai separuh jalan, dan ibu bilang saya harus mengulang dari nol lagi dengan mempelajari lagu lain? Setelah saya menguasai lagu ini, saya baru akan mempelajari lagu yang berikutnya Bu. Dia memang sangat keras kepala. Tapi ia selalu mengajarkan pada saya bahwa tak akan pernah ada kata menyerah dalam kamusnya."

Mama menatapku dan tersenyum bangga. Aku berpaling dan menggerutu dalam hati, kalau saja Mama nggak ada, aku akan mendamprat bu Camila karena terlalu sering memujiku. Papa bilang pujian itu akan mendatangkan kesombongan. Aku sangat benci mendengar pujian, karena pujian selalu membuatku merasa sudah hebat dan menghilangkan semangatku untuk belajar.

Mama keluar tempat les berdampingan denganku, dengan senyuman bangga masih melekat dibibirnya. Inilah kesempatanku untuk meminta sesuatu darinya. Ia tidak akan menolak jika sedang bahagia.

"Mama bolehkah aku meminta sesuatu?" pintaku dengan memasang tampang semanis madu.

"Apa sayang?" ah, suasana hatinya cepat sekali berubah.

"Aku ingin naik bis kota."

"Apa!?" mama langsung melotot padaku. Seolah petir baru saja menyengat kepalanya. Aku suka sekali melihat ekspresi wajahnya seperti itu.

"Teman-teman sering cerita serunya saat mereka naik bis kota. Banyak penjual mainan yang unik-unik dan penjual permen yang lucu-lucu. Mereka pernah membawanya ke sekolah."

Mama masih melotot kearahku. "Dengar! Di bis kota tak ada mainan, tak ada permen, yang ada hanya pencopet, perampok dan kumpulan orang-orang kotor. Mengerti? Jadi lupakan saja."

"Kumohon Ma… sekali ini saja dan aku tak akan memintanya lagi." Mama terdiam. Aku ingin berkata kalau Mama tidak mau, aku akan pergi sendiri, tapi aku mengurungkan niatku. Itu hanya akan membuat Mama semakin marah. Diluar dugaanku Mama malah mengangguk.

"Baiklah sekali ini saja. Mungkin tak terlalu buruk."

"Ye…!" aku melompat girang. Kami berdiri agak lama menunggu. Sebuah bis kota yang kusam melintas dan mama menghentikannya dengan melambaikan tangannya.

Aku deg-deg'an dan gembira saat naik bis kusam itu. Rasanya seperti sedang naik jet coaster saja. Mungkin ini akan menjadi pengalaman paling menakjubkan seumur hidupku.

Semua tempat duduk telah terisi, jadi kami terpaksa berdiri. Hampir semua orang didalam bis menatap mama yang berpenampilan elegan dan terlalu mencolok dibanding mereka. Mungkin mereka berpikir apakah orang ini baru saja kehilangan dompetnya dan terpaksa naik bis butut ini? "Sudah kubilang tak ada mainan dan permen. Kau ini mau saja dibohongi teman-temanmu itu. Bagaimana? Kau menyukainya?" bisik mama mengejek. Tampaknya ia berharap aku akan kecewa.

Aku mengangguk penuh semangat.

"Aku melihat orang-orang yang belum pernah kulihat." bisikku pada mama sambil tersenyum.

"Kau ini memang aneh, persis seperti papamu."

Tiba-tiba seorang gadis kecil kira-kira seusia denganku masuk dan berdiri disebelahku. Aku menatapnya dengan seksama. Ia sangat kurus, sampai tampak tak ada daging sedikitpun yang menempel ditulangnya yang bertojolan keluar. Pakaiannya sangat kotor, kulitnya menghitam terbakar matahari. Tangannya membawa balok kayu kecil yang diujungnya terdapat banyak tutup botol yang dipipihkan dan dipaku. Ia menggerakkan alat itu sehingga berbunyi gemerincing dan ia mulai menyanyi. Aku jadi teringat ucapan bu Camila bahwa menyanyi adalah mengungkapkan perasaan dengan keindahan nada yang ditangkap dengan indra pendengaran semua orang. Tapi suara yang terdengar ditelingaku ini bukan suara nyanyian seperti yang diajarkan bu Camila. Tapi lebih mirip suara rintihan anak kecil yang sedang merengek minta makan. Gadis itu tidak sedang menyanyi, tapi sedang memaki-maki nasibnya. Tatapan matanya kosong namun tajam, tampak tak peduli dengan dunia disekitarnya, seperti dunia yang juga tak peduli padanya.

"Kruuk..." tiba-tiba aku mendengar suara dari perutnya. Ah, dia pasti kelaparan. Nyanyiannya pun terdengar semakin melemah. Kuperhatikan orang-orang sama sekali tak mempedulikannya. Mereka asyik ngobrol dengan yang lain, membaca koran, dan yang lain tidur dengan nyenyaknya. Aku benar-benar tak tega melihatnya. Spontan aku mengeluarkan kotak makanku yang masih penuh makanan. Untung saja aku tadi malas makan, jadi di tasku masih ada beberapa kue kecil jajanku tadi. Aku menyerahkan semua padanya.

"Jangan menyanyi kalau sedang kelaparan. Suaramu sangat menyedihkan." ucapku. "Makanlah dulu. Aku akan membantumu." aku meraih kayu balok kecil yang dipegangnya dan menggerak-gerakkannya seperti yang dilakukan gadis kecil tadi. Aku mulai mengalunkan lagu yang aku pelajari tadi dengan merdu. Gadis pengamen itu melongo dan ternyata bukan cuma dia, tapi semua orang didalam bis seketika memperhatikan aku dengan terheran-heran. Sampai orang-orang yang duduk didepan, berdiri dan melongok kebelakang demi melihatku menyanyi.

Ternyata keasyikan itu tidak berlangsung lama. Sampai seseorang merampas balok kayu yang kupegang lalu menatapku dangan garang.

"Mama…" ucapku lirih sambil berkerut ketakutan dihadapannya. Wajahnya merah padam. Ia sangat marah.

"Apa yang kau lakukan!?" bentaknya begitu keras. Ia membanting balok kayu itu. Ia menarik lenganku dan melangkah cepat kedepan. "Cukup sudah kau mempermainkan aku!" ia menyeretku keluar pintu bus didekat sopir. Seketika semua orang didalam bus tertawa terpingkal-pingkal melihat wajah mama yang malu gara-gara aku. "Kiri pak!" teriak mama pada sopir. Sopirpun tersentak dan segera menghentikan bisnya ditepi jalan. Mama menyerahkan uang 20 ribu rupiah dengan kesal kepada kernet didepan pintu dan melompat keluar. Aku teratatih-tatih mengikutinya.

"Kembaliannya bu…" teriak kernet. Mama tak menghiraukannya. Ia berjalan cepat meninggalkanku yang berlari mengejarnya. Aku menoleh kembali melihat bus yang masih berhenti menunggu beberapa peumpang lain yang naik bus. Aku melihat gadis kecil itu menatapku dari jendela. Ia memeluk kotak makanku. Matanya berkaca-kaca. Apa ia sedang berterimakasih? Atau sedang kasihan padaku? Entahlah. Aku melanjutkan berlari mengejar mama yang meninggalkanku.

Hujan turun seketika. Aku menangis memohon maaf pada mama, tapi ia sama sekali tak menghiraukanku. Mama masih berjalan cepat dan aku masih berlari menuju rumah kami yang tak jauh lagi dari sini. Aku menangis meringik-ringik sampai aku tiba dirumah.

Mama membanting pintu saat aku masih berada diluar. Aku terisak-isak sambil menggigil kedinginan. Aku mendengar suara papa bertanya pada mama apa yang terjadi sambil berlari dan membuka pintu. Tapi mama tak berucap sepatah katapun dan langsung masuk kedalam kamar. Papa menelangkupkan handuk ke tubuhku.

"Diva, apa yang terjadi?"

"Hiks hiks..." aku tergagap-gagap mencoba menjelaskan pada papa. "A-aku menyuruh anak kecil di bis tadi m-makan bekalku t-tadi pagi. Karena dia lapar. Lalu aku membantunya menyanyi."

Papa segera memahami yang terjadi. Ia memelukku yang basah kuyup. Papa mencium keningku.

"Papa suka dengan sikapmu Diva. Tapi cara itu kurang tepat dan justru jadi mempermalukan mama. Kita harus mengajaknya kerumah singgah untuk anak jalanan. Disana dia bisa dididik dan diasuh dengan lebih baik."

Aku ingin menanyakan banyak hal pada papa tapi tak ada kata-kata yang sanggup keluar dari bibirku yang bergetar menggigil kedinginan dan terisak-isak yang semakin menjadi-jadi. Aku mendengar suara langkah kaki mama mendekatiku dan memelukku erat dengan tubuhya yang masih basah. Tapi anehnya yang terasa ditubuhku justru rasa hangat. Seperti roti bakar dan susu hangat buatan mama untuk sarapanku setiap pagi.

"Maafkan aku ma..." ucapku disela-sela tangisku. Mama juga menangis.

"Mama juga minta maaf sudah keterlaluan pada Diva." Aku memeluk erat mama dan papa. Aliran hangat itu datang lagi di hatiku. Rasanya sangat menenteramkan. Lain kali aku akan membawakan gadis kecil di bus itu susu hangat dan roti panggang agar dia juga bisa merasakan hangatnya pagi sepertiku.